Status Update : ‘Saya Berpikir Tentang Cyber Land.’

Thursday, June 25, 2009


Cyber land telah menjadi fenomena yang menggemparkan abad ini. Bagaimana tidak? Siapa yang tidak tahu facebook, twitter, my space dan berbagai laman jejaring pertemanan di dunia maya saat ini. Berbagai jejaring pertemanan itu bagai telah menyihir jutaan manusia tanpa pandang umur. Orang tua sampai anak-anak Sekolah Dasar yang baru melek internet pun ikut dalam fenomena cyber tersebut. Dan tentu saja, kelompok masyarakat paling vital yang menjadi mayoritas penduduk komunitas cyber land itu adalah remaja dan pemuda.

Kebiasaan-kebiasaan konvensional seperti membaca koran pagi ditemani kopi, kini tak lagi asing digeser oleh aktifitas ‘update status’ ditemani kopi. Rata-rata dari remaja dan pemuda, dalam hal ini tidak menutup kemungkinan pada rentang umur yang lebih tua, menghabiskan sekitar 30 menit setiap hari dalam 24 jam yang berharga untuk singgah dan bermain-main di ranah cyber itu.Bahkan bagi beberapa orang yang di luar kebiasaan, mereka dapat menghabiskan waktu lebih lama dari 3 jam untuk sekedar berjalan-jalan di cyber land tercinta. Entah sekedar mengubah status yang akan menjadi konsumsi seluruh tetangga cyber land sedang apa-dimana kita, mengunggah foto-foto terbaru si Ini yang baru dari situ, atau pun bagi yang rajin menulis puisi atau jurnal harian untuk dikomentari para penduduk cyber land. Belum lagi fenomena smart phone yang memudahkan akses internet cepat dan fasilitas ‘berkunjung’ ke cyber land secara lebih ringkas.

Fenomena jejaring sosial yang dianggap beberapa orang malah meng-asosialkan ini memang menuai banyak pro dan kontra. Bagi beberapa orang, fenomena ini bahkan dianggap mengarah pada fenomena sosial yang mengacu pada perubahan tingkah laku masyarakat dunia. Sebagian beranggapan bahwa ini hanyalah salah satu dampak dari globalisasi yang memang begini adanya, tanpa batas ruang, jarak dan waktu. Jadi jangan diambil begitu serius, toh ini hanya dunia maya dimana siapapun dapat menjadi apapun dalam ‘negara’ dengan penduduk terbanyak nomor 3 di dunia itu.

Justru disini yang menarik, akhirnya fenomena ini bukan hanya berakhir pada perubahan tingkah laku saja. Tapi lebih dari itu, masyarakat kita, khususnya remaja dan pemuda diajak bersembunyi di balik pribadi-pribadi berfoto yang terpampang berbagai macam rupa di negri Facebook sana. Siapa yang ada di balik foto-foto tersenyum itu? Tidak ada yang tahu. Karena Facebook bisa jadi adalah representasi mimpi dari pengguna Facebook tersebut. Bagaimana di dalam Facebook, penduduk-penduduknya seakan memiki rutinitas yang dibangun dengan pola seolah mereka semua hidup dalam kehidupan nyata.

Hal ini pernah disinggung seorang filsuf post-modern asal Prancis, Jean Baudrillard dalam bukunya berjudul Simulacra And Simulation. Merasa pernah dengar? Tentu saja anda akan ingat film The Matrix, dimana Neo menyembunyikan illicit software-nya dalam buku berjudul sama. Dalam bukunya,Baudrillard menyatakan bahwa masyarakat modern telah mengganti realitas dengan makna, simbo dan tanda-tanda, dan bahwa pengalaman manusia adalah sebuah simulasi kenyataan daripada kenyataan itu sendiri. Baudrillard merujuk bahwa simularca adalah tanda-tanda budaya dan media yang membuat kenyataan itu seolah-olah dirasakan. Baudrillard percaya bahwa masyarakat telah menjadi begitu percaya pada simulacra yang telah kehilangan kontak dengan dunia nyata di mana simulacra berasal.

Lalu apa hubungannya simulacra dan fenomena sosial remaja saat ini? Tentu saja ini menjadi sesuatu untuk direnungkan, bagaimana remaja dan pemuda saat ini terjebak dalam sebuah samudera simulacra yang entah dimana tepiannya. Sesuatu yang buruk kah? Mungkin saja iya atau mungkin juga tidak. Mungkin saja akhirnya ini hanya menjadi sebuah bagian dari alur novel. Seperti yang ramai di suarakan para penduduk cyber land sendiri bahwa Facebook dan jejaring sosial lainnya adalah novel paling polifonis yang ada di dunia cyber saat ini. Dimana tokoh-tokohnya memiliki cerita sendiri yang berkembang mengikuti alurnya masing-masing tanpa siapapun yang mengarangnya.

Atau mungkin pula akhirnya Facebook hanya menjadi salah satu bukti yang membenarkan anggapan bahwa masyarakat kita telah begitu kehilangan identitas dalam realitas yang sesungguhnya. Banyak dari kita yang merasa lebih leluasa dan menjadi dirinya sendiri dalam topeng atau bisa dibilang dalam sebuah selubung identitas lain yang dianggap seolah-olah nyata. Ingat karya Shakespeare ‘As You Like It’, dimana Rosalind dalam penyamarannya sebagai laki-laki dapat lebih leluasa menyatakan cintanya pada Orlando. Seperti itu lah fenomena selubung identitas begitu menjadi tren dalam masyarakat sosial kita. Manusia bertopeng yang hidup antara simbol dan pengalaman yang dianggap nyata, lebih dari realitas itu sendiri. Dan semua ini benar-benar terjadi dalam cyber land tercinta.

Jadi mungkin Peterpan benar menciptakan lagu “Buka dulu topengmu.. biar kulihat wajahmu...”. Mungkin terlalu banyak orang dan yang menyedihkan adalah orang-orang itu adalah pemuda yang harusnya menjadi pegangan untuk masa depan, yang terjebak dalam lautan simulacra, antara realitas dan teks yang diciptakan. Jadi sebenarnya siapa kita? Bukankah pertanyaan ini memberikan tanda tanya sekaligus pembenaran besar. Bahwa yang kita hadapi bukanlah sekedar dampak dari globalisasi besar-besaran dan postmodernisasi. Melainkan sebuah krisis identitas sosial dalam fenomena cyber ini, dimana sekali lagi, seperti banyak masalah lainnya, pemuda dan remaja dibebani tanda tanya dan tanggung jawab paling besar sebagai ujung tombak perubahan dan masa depan.


0 komentar:

Posting Komentar