Pulangnya Sang Penguasa


Monday, January 28, 2008



Merah dan Putih. Photo by Ivy -Flotilla, Benoa '07


Dan bendera setengah tiang pun dikibarkan, menandakan rasa duka atas kehilangannya beliau, seorang mantan Bapak Negara selama 32 tahun, Bapak Pembangunan yang menghancurkan....

Mungkin sebagian besar rakyat bersorak, sebagian lagi mencoba untuk berkabung sekedarnya, sebagian menghela napas, sebagian sibuk menjilat dengan tanda bela sungkawa berlebihan dan sebagian... bahkan mungkin tidak mendengar berita kematiannya.

Indonesia, The Blessing Land. Yang dari tanahnya yang mengeluarkan emas, permata, dan... air mata. Ingat lagu Kolam Susu? gambaran Koes akan tanah airnya. 10 tahun sudah ketika pemuda-pemudi negri berhasil melengserkan tirani kekuasaan yang dituding sebagai biang keladi kejatuhan bumi hijau ini. Jatuh... ketika kita jatuh karena sebuah batu, maka kita akan menyingkirkan batu tersebut, dan lalu BANGKIT. Nyatanya, batu yang dituding telah menjatuhkan bangsa telah lama disingkirkan, namun kita pun BELUM juga BANGKIT.

10 tahun bagi kita belum cukup untuk berhasil bangkit. Pemuda-pemudi yang dulu berteriak lantang, meneriakkan hak-hak rakyatnya, kini beberapa menjadi pekerja muda yang tenggelam dalam kehidupannya sendiri, beberapa lagi bahkan masuk menjadi bagian dari kebusukan yang dulu mereka gugat.

Baru saja kubaca tentang mereka yang turun memenuhi jalan-jalan kota, mengibarkan merah-putih, mereka yang tak gentar pada pagar batalyon yang menghadang, tidak pada gas yang membakar mata, bahkan tidak pula pada peluru yang merobek daging. Mereka kakak-kakakku, pahlawan.. Seandainya aku lahir beberapa tahun lebih awal dan menjadi bagian dari mereka, mungkinkah aku dapat berada di barisan terdepan, memimpin pasukanku sendiri. Berteriak bukan hanya atas nama rakyat, atas nama hati dan tanah. Bangsa yang berhati, yang menginjak tanah ini.

Kini, musuh mereka telah pergi. Kembali dengan sulit. Bapak pembangunan, 32 tahun beliau memerintah, membangun dan menghancurkan. Ingin aku ikut menghujat dan memakinya. Namun kuingat nasihat salah satu manusia tua yang darinya telah lahir berpuluh karya yang membangkitkan bangsa. Bangsa yang baik adalah bangsa yang menghargai asal-usulnya, mencintai sejarahnya, baik ataupun buruk, sebuah bangsa tak akan pernah menjadi sebuah bangsa tanpa tempaan, tanpa darah dan air mata.
Maka melihat wajah beliau yang telah tua, kerut diwajahnya seakan ingin menceritakan peristiwa apa saja yang telah dilaluinya. Mungkin juga ingin mengadu, berapa banyak mayat yang dilangkahinya.

Kuceritakan nanti kepada anakku, cucuku... bahwa bangsanya terbangun di atas darah pendahulunya. Kokoh dengan air mata. Merebut kemerdekaan yang dibayar lunas oleh pejuang-pejuangnya dengan nyawa. Walau kemudian tetap dijajah, dijajah moral bangsanya sendiri yang bobrok, namun tetap bangsaku. Akan kuceritakan, bangsa ini pernah dipimpim oleh seorang bapak dengan mata yang cerdas, yang dari acungan tongkatnya kami dapat tersungkur agung, dan dengan kemampuan diplomatisnya, dunia dapat menoleh.
Juga bangsa ini pernah dikuasai oleh orang yang kuat, cukup sehat untuk 32 tahun memimpin tanpa rehat. Warisan pembangunannya, masih kita rasakan sampai sekarang. Warisannya yang terkuat, sekaligus yang disayangkan.. adalah telah membesarkan dan mendidik bangsa ini, Dari lapis terbawah rakyatnya sampai tingkat pemerintahannya untuk bermoral budak, bermoral pembual, bermoral perampok dan sekaligus penjajah, penjajah atas bangsanya sendiri.

Ntah siapa lagi kini yang akan dituding atas hancurnya bangsa ini. Satu sumber sejarah telah pergi kemarin siang, mungkin saja dia kini tengah menghadapi persidangannya atas apa yang telah ia perbuat. Biarlah pengadilan langit yang menghakiminya, kita harus tetap menghargainya. 32 tahun ia telah memerintah kita, 'membesarkan' dan mendampingi kita. Biar kita tetap menjadi bangsa yang baik dengan menghargai sejarahnya. Biar mereka menghujat, "Dia yang menghancurkan bangsa ini, Dia dan kroni-kroninya yang menggerogoti bangsa ini". Aku hanya berpikir, bukankah darinya juga kamu menikmati subsidi selama 32 tahun, dan kroni-kroninya tetap kamu pilih pemilu kemarin.

Mereka berteriak tentang keadilan. Jadi ingat perbincanganku dengan teman dari hukum. Dia menggugatku dengan arti keadilan. Menurutnya keadilan adalah sesuatu yang semu. Apa puncak dari keadilan? Apa yang terjadi bila semua yang ada di muka bumi ini adil? jawabannya : KETIDAKADILAN. Merenungkan itu, aku jadi berpikir.
Ini saat kita belajar tentang arti kemanusiaan (yang adil dan BERADAB), mungkin memang ia bersalah, tangannya mungkin berlumuran darah. Tapi menghujat dia, bahkan sampai ketika ia sudah pergi adalah tindakan yang TIDAK BERADAB. Waktunya kita belajar menjadi bangsa yang berhati... Ketika kemanusiaan bersanding dengan keadilan. Manakah yang lebih tinggi? Keadilan untuk kesejehteraan manusia atau manusia untuk keadilan?

Menindak lanjuti kasusnya untuk terus digugat memang harus. Kroni-kroninya harus dituntut, kembalikan uang rampasan. Pangkas habis akar-akarnya. Walau untuk itu perlu waktu yang lama untuk menghabisi generasi busuk ini, namun akan lebih baik memulai terlambat, dibanding tidak sama sekali.

Kini waktunya untuk bercermin. Warisan kebobrokan memang sudah menurun, diturunkan oleh mereka kaum orde baru. Tapi lihatlah kita sekarang. Dimana kakak-kakakku yang 10 tahun lalu bersuara lantang menyerukan reformasi? Bukankah, setelah reformasi tercapai, seharusnya mereka berhenti berteriak dan berpikir... bagaimana membenarkan hal-hal yang sudah terlanjur salah? bukankah lebih baik kita mengkritik dengan solusi, daripada hanya mengkritik kosong.

PERUBAHAN! kata yang mereka usung. Namun apa yang berubah dari kita? Apa yang dapat kita lakukan supaya bangsa ini berubah? Berubah dari segala bentuk moral yang busuk. Seperti yang JFK pernah katakan "Dont ask want your country can give for you... ask, want you can give for you country". Kata yang menampar kita. Sebuah makna tentang perenungan... bukan lagi waktunya mencari siapa yang salah... waktunya kita mencari, jalan keluar dari persoalan bangsa ini... Karena masih ribuan jiwa di pelosok negri ini yang menunggu perubahan tanpa mengeluh, masih sekian ribu anak tanah ini yang tidak menunggu untuk tumbuh. Tumbuh menjadi generasi berikutnya, yang akan tetap tumbuh layu dalam bayang-bayang bangsa yang jatuh... bila kita memilih untuk tidak segera bangkit...

QUOTE TODAY:
Selamat jalan Pak, semoga tenang jalannya... biar kami disini tetap berteriak-teriak "PERUBAHAN = (AKSI - DEMO) x TUTUP MULUT + PEMIMPIN - (KORUPTOR + GENERASI ORBA)"

SOEKARNO pernah berkata "Bangsa yang memiliki pemuda-pemudi yang suka bertualang, negrinya tidak akan kekurangan pempimpin

0 komentar:

Posting Komentar