Perasaan


Sunday, December 14, 2008


Perasaan...
Mungkin perasaan adalah hal paling absurd yang ada di muka bumi. Perasaan menjadi kamuflase, atau mungkin topeng bagi orang-orang. Atau mungkin perasaan ditutup-tutupi dan dibungkam sehingga mati. Banyak orang hidup tanpa mengerti perasaannya sendiri. Tapi bagaimanapun juga, kita tau perasaan itu ada di sana. Seperti roh yang melayang-layang di dalam tubuh kita, tanpa tahu sesungguhnya di bagian tubuh yang mana yang kita rasakan perasaan itu.

Kadang perasaan itu dituduh pengecut, dituduh tanda kelemahan. Seperti kebanyakan dari kita yang mengganggap perasaan adalah kelemahan. Dan tahukah kawan, aku termasuk orang-orang picik itu. Yang mengganggap bahwa perasaan adalah sumber kelemahan.
Seperti sekarang ini. Yang aku tau, aku sedih. Sedih sekali. Tapi tidak bisa diungkap, tidak boleh. Perasaan itu tidak bisa diubah, tapi terasa ada. Seperti yang kurasakan saat ini...

Beberapa kali kucoba untuk mengungkapkan itu, bahkan hanya dalam kepalaku saja. Mencoba menelaah perasaan apa yang sedang kurasakan. Tapi bahkan diriku, logiku, pikiranku menentangnya. Dan dengan keji memendamnya, dibunuh dengan kejam. Seberapapun dicoba, kadang perasaan itu lebih kuat dari pembunuhnya, diriku sendiri.

Seperti ada dua sisi dalam kepalaku, berkali-kali perasaan itu mencoba untuk menyuarakan keberadaannya. Dan lalu si logika dan si ego menentangnya, lalu mereka berkelahi sampai entah siapa yang menang, lebih sering kubiarkan mereka berkelahi sampai aku yang letih dan lalu jatuh tertidur tanpa mimpi. Namun pikiran yang belum ikut tidur.

Tapi terkadang aku begitu berat, karena perkelahian tak kunjung reda. Lalu kadang aku menangis, menangis sejadi-jadinya di kamarku yang kecil. Di sudut yang tertutup tirai-tirai kerang. Aku menangis untuk semua rasa yang tumpah, yang sering kali dan rasanya hampir setiap kali, akupun tidak bisa mengerti perasaan macam apa itu. Dan saat itu baik pikiran, logika, ego ataupun perasaan tidak ada yang menang. Aku memenangkan keduanya, membiarkan tangisku untuk sang perasaan, tapi tidak menerimanya di kepalaku untuk memuaskan logika dan egoku. Maka aku hanya menangis, lalu sekali jatuh tertidur tanpa mimpi.

Tapi siang kemarin aku mencoba sesuatu yang baru. Hari itu perasaanku berkecamuk, seperti minta diakui bahwa ia ada. Maka siang itu kututup pintu rumahku yang kosong dan berbaring menatap langit-langit yang penuh lampu warna-warni. Kupastikan tak ada yang datang, kukunci pintu kamar dan aku membiarkan perasaan itu mengambil alih tubuhku. Aku dapat merasakannya keluar, merembas dari atas bagian perutku, ke dada, lalu ke lenganku, lalu ke seluruh tubuh, hingga jari-jariku. Rasanya seperti disuntikkan racun arsenik yang menyebar perlahan ke seluruh tubuh, kehangatannya mengalir dan saat itu aku benar-benar tau dia ada.

Lalu saat racun itu sampai di kepalaku, dipalang angkuh oleh pikiranku. Tapi begitu kuatnya perasaan ini. Sampai bahkan sekali ini logiku menurut dan menerima. Aku mengakui semuanya. Perasaanku, kesedihanku, ketakutanku, kekecewaanku... rasa syukurku. Kepala dan hatiku berdamai, untuk pertama kalinya mereka saling mengerti dan memberikan definisi-definisi untuk setiap perasaan itu sendiri.

Aku ingat...saat sang logika berkata 'STOP merasakan. Itu hanya sebuah perasaan yang akan hilang cepat atau lambat. Kamu lemah! sangat lemah! STOP merasakannya. Mana kamu yang kuat selama ini? Apa kini kamu memilih untuk berubah menjadi perempuan lemah tolol yang cengeng?". Tapi lalu aku mendengar diriku sendiri berkata, sesuatu yang membuat sang logika menerimanya, "Aku ingin dapat menghargai perasaan orang lain, seperti setiap pelajaran moral yang selalu diajarkan. Tapi aku mau menghargai perasaanKU sendiri sebelum aku menghargai milik orang lain. Ini memang memalukan, lemah, tolol. Tapi ini perasaanKU dan aku mau menghargainya."

Maka untuk pertama kalinya aku menangis, menangis karena kali ini aku mengerti mengapa aku menangis. Menangis untuk setiap perasaan yang kurasakan dan aku mengerti. Menangis karena perasaan tak berharga yang kurasakan, menangis karena merasa tak diingini siapapun, menangis karena merasa kesepian, menangis karena merasa dia yang tak mungkin datang, menangis untuk merasa tidak dapat mengerti apa yang salah denganku. Dan menangis untuk segala yang kurasakan tentang dia dan dia dan dia yang lain.

Setelah itu perasaan ku mengalah. Lalu ia bergantian dengan logikaku yang mengambil alih untuk tetap berpikir jernih. Mereka berdua berdamai. Membiarkan aku mengambil sedikit waktu merasakan air mata yan mengering di pipiku. Lalu aku tersenyum dan jatuh tertidur tanpa mimpi. Dan percayalah kawan, rasanya jauh lebih ringan daripada yang dapat kupikir dapat kurasakan.

0 komentar:

Posting Komentar