Kalau Suatu Hari Aku Lupa


Sunday, July 5, 2009

“Pak, maaf numpang tanya.. Ini 67 bukan? Yang ke arah Sudirman?” Kutanya sambil tersenyum pada seorang bapak yang duduk di pinggiran tembok jalan. Bapak itu mengangguk. Kuucapkan terima kasih dan kulambaikan tangan pada kuda besi yang tak berhenti kentut. Kunaikan satu kaki diatasnya dan bus itu melaju, kulempar badanku kedalam sambil merasakan sensasi aneh yang kurasakan, takut sekaligus senang-semangat menyambut pagi.
Bayanganku akan pagi yang kusambut dengan senyum di dibuyar oleh kocokan receh yang digoyang di depan wajahku. Oh... minta ongkos, sahutku dalam hati. Kubayarkan 5000 dan aku lihat apakah ia berikan kembalian. Ternyata kudapatkan kembali 3 lembar ribuan, wah.. cukup murah. Aku meneliti jalan dengan seksama, takut gedungnya terlewat. Sang Jendral kulewati dengan tersenyum, namun aku terhempit antara tas dan orang-orang yang berjejal keluar. Tas ransel ku yang besar kugendong saja seperti biasa, yang belakangan baru kuketahui bahwa itu sasaran empuk untuk para copet.
Gedung putih bersisik itu terlihat, kukatakan pada si penjaga pintu. Ia mengetukkan koin keras ke besi palang, aku tersentak kaget kupikir ia marah. Oh.. ternyata itu tanda untuk berhenti. Segera kulangkahkan kaki kananku keluar, aku agak limbung karena bus itu segera melaju tak mau menunggu. Kemudian hari aku baru tahu bahwa agak seimbang turunlah dengan kaki kiri terlebih dahulu. Wah.. ternyata untuk naik bus kota saja ada beberapa ilmu yang harus kumiliki. Belum lagi menghafal angka bus yang sangat menyusahkan untuk manusia dengan ingatan pendek sepertiku.
Kelasnya berbangku tak banyak, ketika ku masuk sekumpulan anak sedang bertukar nama. Beberapa dari mereka sudah saling mengenal tampaknya. Aku berusaha tidak membuat penilaian apapun pada sekumpulan gadis-gadis itu. Aku tersenyum dan memberikan namaku, sambil berusaha mengingat nama dan wajah mereka yang dikepalaku, wajahnya sama semua.
Mengapa baru seminggu kutulis tentang ini? Karena kupikir seminggu adalah waktu yang cukup pas. Aku tidak terlalu terburu-buru menilai, tapi juga belum terlalu dekat untuk menjadi subjektif. Jadi harusnya segala yang kutulis ini, kuharap menjadi sesuatu yang cukup objektif.
Gadis-gadisnya cukup ramah, beberapa dari mereka berasal dari sekolah internasional, tentu saja mereka cas-cis-cus bicara bahasa inggris. Ada yang selalu memakai heels, dan juga dipoles sedemikian rupa hingga mereka cantik-cantik. Ada yang cukup sederhana, agak pemalu dan tak banyak bicara. Ada yang gemar bicara, wajahnya bulat dan sangat gemar makan. Dan sepertinya dari tanggapanku seminggu ini mereka semua gemar sekali hidup dalam sistem komunal. Ke toilet harus bersama, makan siang diputuskan bersama, ambil air minum bersama, bahka ke loker pun bergerombol bersama. Bukan aku tak mau bersosialisasi. Namun aku cukup senang melakukan apa-apa sendiri. Jadi kadang kutolak lembut ajakan mereka pergi ke toilet dan pernah suatu kali, aku tertinggal mereka makan siang. Jadilah mereka menanyakanku, mencariku sehabis kembali makan. Aku berterimakasih, tapi kujelaskan bahwa kadang aku tidak keberatan melakukan sesuatu sendiri. Aku lebih suka makan siang sendiri si sofa sambil baca majalah, lalu menghangatkan diri di balkon. Untung saja mereka cukup mengerti.
Hampir semua dari mereka diantar dan dijemput mobil pribadi untuk pulang dan pergi. Hanya satu gadis yang kutahu juga naik angkutan umum karena rumahnya jauh di tanggeran sana. Aku pun cukup bangga dengan keputusanku naik angkutan umum untuk pulang dan pergi. Walau awalnya Ibuku agak keberatan tapi keputusanku bulat. Aku bukan lagi pelajar menengah sekarang. Disini aku belajar jadi mahasiswa, luar negri pula. Jadilah aku malu kalau masih naik-turun mobil jemputan. Pilihan yang kubuat untuk diriku sendiri adalah bawa mobil ibuku atau angkutan umum. Sedangkan pilihan membawa mobil ibu sepertinya tidak mungkin, karena sekalipun nanti aku bisa menyetir, jalan itu kena three in one di pagi hari. Dari pada repot, ada baiknya juga kupilih bus kota, aku jadi mengenal kotaku dari sisi yang lain. Di luar sisi yang selama ini kulihat dari sekolah hedon lamaku.
Pelajarannya cukup kusuka, walau pakai bahasa inggris yang membuatku berpikir ekstra. Tadinya aku pesimis aku akan jadi yang terbodoh di kelas. Tapi ternyata banyak dari mereka yang masih memiliki masalah bahasa lebih dari aku, sehingga aku cukup tenang. Kelasku sangat dingin, kadang saat pikiran-pikiranku melayang jauh, aku berpikir berapa banyak listrik yang mereka gunakan untuk mendinginkan ruangan kecil ini. Ugh... lagi-lagi global warming.
Pelajarannya pasti berkiblat pada barat, ekonomi barat, hukum negri kanguru, kebiasaan barat dan lain-lain. “Kalian akan masuk Universitas untuk menjadi accounting, bukan book keeper. Siapapun bisa melakukan pekerjaan buruh itu. Jadi kalian tak perlu pusing, akan ada orang lain yang mengerjakan bagian itu” Itu salah satu petikan omongan guru akuntansiku. Wah... Bukan main. Entah memang kami dididik dengan mental sarjana atau itu bagian dari doktrin kapitalis tinggi?
Bukan saja pelajarannya yang harus banyak-banyak kusaring dalam mengintepretasi, tapi juga lingkungan sekolahnya. Hari sebelum masuk, kukatakan pada kakak sekaligus temanku “Ah.. tik! Hedonisme macam apa yang harus gue hadapi? menghadapi satu kelas penuh anak-anak yang orang tuanya mampu membayar 100 juta per 10 bulan? Ah..pasti itu bahkan lebih parah daripada sekolah hedon lamaku kan?” Dan ia hanya menggangguk sambil tertawa ringan, lalu sambil dirangkulnya pundakku ia bilang “ Tenang saja.. it’s all gonna be fine... Masa seorang Ivy Londa tidak bisa beradaptasi pada hal kecil macam itu?” Aku tersenyum dan menggangguk lemah. Dalam hatiku, aku ingin teriak “Bukan masalah aku bisa beradaptasi atau tidak. Aku SANGAT takut kalau secara tidak sadar akhirnya aku menjadi bagian dari mereka, hedonisme menjijikan itu sendiri”
Kini sudah seminggu kuhadapi berbagai doktrin kapitalis dan lingkungan hedon yang makan siang dengan harga 50ribu sekali makan. Ah.. besok-besok aku akan bawa makanan dari rumah saja atau beli nasi bungku di depan sana. Aku masih baik-baik saja, filter di kepalaku masih berfungsi benar. Aku masih mendengar suara dalam kepalaku yang mengingatkan ‘Hei! Ingat.. kamu belajar TETAP untuk negri ini nantinya. Biar kamu belajar sampai ke ujung dunia pun, bangsa ini yang harus lebih dulu kau bangun. Jadi dengan kiblat manapun sekarang kau dididik, tetapkan kiblat bagi dirimu sendiri, paku hati disitu agak kau tak lupa, paku di tanah negri ini, untuk bangsa ini. Bangsamu sendiri.’
Dan yang membebani hatiku sekarang, kuharap sangat berharap bahwa filter di kepalaku itu tak akan rusak. Berharap bahwa kiblatku tertancap benar. Aku takut sekali kalau suatu hari kusadari diriku menjadi bagian dari semua yang kubenci sekarang. Oh.. semoga saja tidak. Tapi sampai kapan filter kepalaku sejernih semula? Setidaknya setiap kali filter kepalaku kotor, aku punya tulisan ini dan bus kota yang mengingatkanku tentang mimpi dan cita-citaku. Ya... ternyata keputusan untuk naik kuda besi kentut-kentut itu adalah keputusan yang cukup benar. Setidaknya untuk dapat berkenalan dengan kota ini yang menjadi representasi dari bangsa yang sedang merangkak bangun ini. Dan semoga saja, 4-5 tahun nanti saat aku selesai dengan urusan tanggung jawab sebagai manusia terdidik, aku masih punya waktu untuk membenahi negri ini, mungkin saja dimulai dari... kotaku dan kuda-kuda besinya. 

0 komentar:

Posting Komentar