By The River Piedra

Wednesday, February 13, 2008

undefinedBy The River Piedra I Sat Down and Wept... Di tepi sungai Piedra, aku duduk dan menangis...

judul bukunya menceritakan situasi yang dialami si tokoh, sekaligus penulis di buku itu. Pilar, seorang gadis yang pernah patah hati karena kehilangan cinta masa kecilnya. Ia tidak lagi percaya akan Tuhan dan menginginkan hidup yang teratur, normal dan tenang. Pilar seorang yang benci konfrontasi dan sesuatu yang baru. Ia tidak percaya kekuatan cinta. Juga menolak untuk percaya pada cintanya.

Suatu hari ia bertemu lagi dengan cinta kecilnya dulu. Lelaki ini, sekarang telah menjadi calon imam di seminari. Cinta pertamanya dulu kini telah memilih untuk menjadi orang religius yang memiliki karunia untuk menyembuhkan orang sakit. Pilar pun tidak lagi mengharapkan cintanya itu. Namun tak diduga, Ia mengatakan bahwa ia mencintai Pilar sejak mereka kecil dulu.

Dalam perjalanan beberapa hari mengelilingi desa-desa kecil di Spanyol dan Perancis. Perjalanan ini mengubah hidup mereka selamanya. Pilar akhirnya menemukan imannya kembali. dan yang paling menggunggah, laki-laki ini membuat keputusan terbesar dalam hidupnya. Cinta mereka dihidupkan kembali dalam perjalan itu. Ketika sebuah pilihan antara panggilan hidup dan cinta sejati harus dikorbankan. Mana yang akan mereka ambil?

Paulo Coelho menggambarkan kekuatan cinta yang murni. Membuat saya bisa percaya cinta untuk beberapa jam larut dalam bukunya. Gambaran tentang cinta yang bukan karena napsu belaka, namun karena kasih yang dari hati. Di buku itu, dilemma sang tokoh akan hidup melayani Tuhan, atau melayani Tuhan bersama orang yang dicintainya. Walau memang bukan pilihan yang mudah, yang harus mengorbankan sesuatu yang sangat besar dan menyakitkan.

Kata orang sungai Piedra begitu dingin, sehingga apapun yang masuk ke dalamnya, berubah menjadi bebatuan. Seperti Pilar yang melemparkan segala kesedihannya ke dalam sungai supaya menjadi batu dan mati. Lelaki itu memang membuat Pilar menangis dan sakit. Namun lelaki itu juga menghidupkan kembali iman dan kepercayaan Pilar terhadap kehidupan, terhadap cinta dan terhadap dirinya.

Melihat Pilar, seperti setengah berkaca tehadap diri saya sendiri. Pilar tidak percaya akan cinta, seperti juga saya. Cinta adalah sesuatu yang semu, mungkin cinta 'pernah' ada, tapi bukan artinya cinta adalah selamanya. Cinta akan mati dan hilang, cepat atau lambat. Pilar percaya bahwa kehidupan normal dan tenang di kampung yang dikenalnya dari kecil akan menjadi kebahagiannya. Berbeda dengan Pilar, meninggalkan segalanya yang ada disini menjadi obsesi yang saya cita-citakan. Pilar tidak lagi berdoa dan tidak lagi punya iman. Berbeda dengan Pilar, saya tidak akan hidup tanpa doa. Doa menjadi salah satu hal yang membuat saya bertahan hari ini dan besok.

Ingin sekali rasanya percaya bahwa cinta seperti Pilar itu ada. Mungkin akan membahagiakan sekali dicintai seperti Pilar... sayangnya cinta itu tidak nyata di duniaku. Bukan cinta yang nyata. Tapi diri kita dan segala pilihan yang kita buat di dalamnya.



0 komentar:

Posting Komentar