Pigura yang Belum Selesai

Mau tau gimana pencarian cinta dari perspektif anak muda, remaja, abege labil.. notes ini dibuat untuk berbagi. Karena saya yakin setiap dari anda punya perjalanan yang panjang dalam mencari apa makna cinta. Ayo berbagi! Ayo belajar! Karena kadang tujuan akhir dari perjalanan kita bukanlah untuk bersama selamanya, tapi untuk menjadi kita yang sekarang ini dan menjadi lebih baik setiap kali dan seterusnya.
Cheers, Let's take a look at your back a little while and be grateful for what you've learned so far, and what else you have to learn!
*******

Cinta. Cinta adalah perjalanan, cinta adalah pengalaman, dan cinta adalah kumpulan potongan rasa yang dikumpulkan setiap orang dalam piguranya. Tidak ada yang sama, karena mata setiap orang berbeda dan setiap perjalanan cinta yang dilalui seseorang pun berliku berbeda pada setiap insannya.

Mungkin ini bukanlah tulisan paling autentik tentang cinta yang pernah saya buat. Bukan pula hasil hati yang baru-baru ini saya rasakan, seperti tulisan-tulisan biasanya. Mungkin ini salah satu tulisan evaluasi saya akan perjalanan cinta saya sejauh ini. Tidak dengan emosi yang memuncah-muncah, luka-luka menghambur anyir atau tidak juga dengan bunga-bungaan bertebaran. Tapi semoga tulisan di bawah ini ditulis dengan pikiran jernih, dengan keikhlasan melihat luka-luka yang sudah kering, dan dengan rasa syukur akan hari ini yang indah.

Merah Kesumba
Seperti semua anak yang pernah untuk pertama kalinya mengucapkan satu, dua, tiga. Selalu ada awal untuk segalanya…

Si Merah menyala di siang hari yang terik, sehabis berpeluh di jalanan seharian. Beberapa kali ia berpapasan denganku sepanjang hari ini, namun namanya saja belum kudapat. Dengan pengeras suara di tangannya, ia mondar-mandir merapihkan barisan pasukan merah yang berapi-api mengangkat spanduk, balon udara besar dan berbagai atribut merah menyala lainnya. Ia cantik menyatu dengan merahnya jalan, merahnya pasukan merahku, merahnya semangat yang kuingat hari itu.

“Hei, aku Jingga, core team Jakarta” sembari memberi tangan, setelah akhirnya pertunjukan selesai dan kami terhempas keletihan di rerumputan Monas.
“Aku Merah, core team Bandung” sahutnya dengan senyum bulan sabit, jelas kelelahan seharian.

Dan bermula dari bincang-bincang ramah yang tercecer sepanjang jalanan Monas sampai Cikini, setelahnya ia menjadi bukit pertama yang kutapaki, dalam perjalananku berkenalan dan mencari tahu apa arti kata sakral itu.

Mungkin aku sudah lupa bagaimana matanya menatapku saat ia berlutut meniru adegan romantis di film-film, persis di hadapan lembah yang indah di pedalaman Lembang, pulangnya kami bergandengan. Aku sudah lupa pula bagaimana rasa berbunga-bunga yang lahir di dadaku dan kupu-kupu yang menggeliat di dalam perutku. Tapi yang aku tahu, dimulai dari lembah itu, aku memulai perjalananku. Sang Dewa menawarkan tangannya padaku, mengajakku melihat nilai-nilai lain dari kehidupan, Cinta Warna Merah Muda.

Dari perjalanan itu aku belajar banyak hal, mengalami ratusan pengalaman manis dan juga penuh air mata. Seperti ketika ia muncul dari balik lift membawakan cireng dingin yang dibawanya sepanjang Bandung-Jakarta, ketika ia mencuri kecupan di atas sofa ketika mendung sore menyergap, atau ketika pertengkaran-pertengkaran jarak jauh yang diselesaikan dengan sekuntum mawar putih yang mampir di depan kamar. Atau ketika aku lebih senang sibuk dengan teman-teman mayaku, main api dengan seseorang yang belum pernah kulihat wajahnya, dan akhirnya Si Merah pun berlalu, menyadari kalau kami tidak bisa melanjutkan perjalanan berdua.

Ia kembali tergesa-gesa, ke atas lotengku malam itu. Memandangi kereta yang seharusnya membawanya pulang dari atas gedung rumah melaju meninggalkannya. Ia memilih untuk tidak pergi begitu saja, ia menitahku sampai aku mampu berjalan sendirian lagi. Darinya aku belajar untuk menghargai lawan kasih, untuk tidak menyepelekan perasaan sekecil apapun adanya, belajar bahwa kesetiaan adalah nilai mahal yang harus dipertahankan, dijaga dan terus dibuai. Darinya aku tahu bahwa cinta adalah pengertian, cinta bukanlah musuh yang harus dibenci, cinta bukanlah momok yang pasti menyakiti. Ketika kita membuka diri untuk dicintai, untuk merasakan manisnya rasa cinta, kita juga harus siap untuk menyesap pahitnya, untuk menangis saat durinya tak sengaja menyusup ke jari telunjuk, dan untuk melepaskan cinta ketika kita menyadari titik akhir perjalanan bersamanya.

Sebuah pelajaran penting pun kutemukan dari perjalananku bersamanya. Bahwa setelah kita tidak lagi berjalan bergandengan bersama, kita harus tetap dapat berdampingan dalam simpang-simpang hidup yang mempertemukan kita kembali dengannya. Belajar mengesampingkan luka yang masih setengah kering untuk dapat berdiskusi satu meja, menyimpan rasa-rasa personal dan menukarnya dengan kepala jernih penuh ide untuk bumi. Aku berkawan dengan Si Merah, kadang berbagi kisah, kadang berbagi rasa, saling menontoni kehidupan masing-masing yang telah berbeda dari jendela-jendela virtual.

Aku ingat kecupan terakhirnya sebelum aku meninggalkan kota Kembang, beberapa hari sebelum aku terbang ke tanah baru ini.

“Kalau kamu jadi orang hebat nanti, aku akan jadi salah satu orang yang bahagia karena kamu pernah menjadi salah satu bagian dari hidupku”

Beberapa Dewa lalu lalang, menawarkan perjalanan untuk kunikmati. Namun sebuah warna memikatku dengan baris-baris indahnya, dengan serngitan di dahinya yang mengisahkanku cerita-cerita para filsuf.

Sang Biru
Ia membawakan sepotong senja Jingga yang dipotongnya ala Seno Gumiro, dibacakan dengan lembut sembari aku belajar warna-warna langit yang luas.

“Kamu tahu di mana Descartes menemukan Cogito Ergo Sum-nya?” tanyanya pada jendela yang berkelap-kerlip.
“Entah, memang di mana ia menemukannya?”
“Coba sekarang kamu bayangkan sebuah ladang yang sepi, dengan sebuah gubuk kosong di tengahnya, seorang lelaki mengunci dirinya di sana, berpikir tentang apa hakikat dari manusia yang sebenarnya, apa perbedaan manusia dengan kursi, botol, buku dan benda-benda lainnya…”

Mulai dari dongeng-dongeng sederhana sampai pada teori-teori Baudillard, mulai dari sejarah 45 sampai dengan film Matrix yang mensemiotikkan kehidupan simulasi dan simulakra, atau mulai dari sajak-sajak indah yang mampir di kamarku setiap pagi, sampai pada karya-karya sastra cyber yang membuatku terbelalak.

Ia mencuri sebuah kecupan di bawah bulan biru. Menyadarkanku bahwa aku jatuh hati pada seorang filsuf jejadian. Perjalanannya denganku membuatku belajar beribu ilmu baru. Si Biru memupuk pikiran kritis pada kepala kalengku, mengingatkanku untuk melihat dengan hati bukan cuma dengan mata dan mengajakku mengabadikan rasa dalam baris-baris yang indah. Ia seperti guru yang mengajarkanku berpikir di luar jalur, seperti penyiar berita pribadi yang mengabarkan berita dari dunia di luar kamar marunku.

Sampai akhirnya suatu hari tak lama setelah hari ulang tahunku yang merah membara bersama sepuluh ribu kelompok buruh yang berkeringat di jalan. Ia membawakan pelajaran terbesarnya untuk diajarkan pada muridnya ini.

“Jingga, kita tidak bisa berjalan berdampingan lagi”
“Ohya? Kenapa? Kamu punya murid lain?”
“Aku punya tanggung jawab sekarang, aku menikah bulan depan”

Aku patah, remuk redam. Sebagian karena dikhianati, sebagian besar lagi karena takut kehilangan guru terbaikku.

Berbulan-bulan aku butuhkan untuk menata hati yang pecah berkeping-keping. Belajar menulis lagi sendiri tanpa ada lagi seorang pembaca yang akan memberikan kritik pedasnya atau senyum pujiannya. Belajar berkawan dengan buku-buku yang menceritakan filsuf-filsuf dengan suara bisu, bukan dengan dongeng-dongen ajaib yang menyihirku.

Pada suatu hari, entah malam kesekian aku duduk di pojokan reruntuhan hati yang sedang kubangun. Aku bangkit, menemukan puluhan wajah tersenyum untukku, menitipkan mimpi-mimpi untuk kubawa terbang tinggi. Aku bangun, aku membiarkan lukanya yang telah kehabisan darah mengering perlahan.

Sang Biru mengajarkanku tentang keikhlasan yang luar biasa besar, tentang menyembuhkan luka yang luar biasa sakit dengan senyum-senyum sahabat-sahabatku, tentang cinta yang naik kelas dan tentang pengampunan.

Aku ingat salah seorang Kakakku pernah bilang, “Kalau mau sembuh dari rasa sakit, kamu harus mengampuni. Mengampuni dia, mengampuni istrinya sekarang, mengampuni masa lalu”
Kujawab, “Iya aku sudah kok mengampuni itu semua”
Ia menjawab lagi dengan jawaban yang mengejutkanku, “Tapi aku belum melihat kamu mengampuni dirimu sendiri”

Aku belajar, pelajaran terpentingnya untuk berdamai dengan keputusanku yang bodoh dulu dengan jatuh hati dengan seorang pengembara. Mengikat hatiku dengan seseorang yang aku tahu pasti aku tak akan punya masa depan dengannya. Setelah bergelut dengan banyak perenungan, aku sadar, aku mampu bangkit dari reruntuhan hatiku, bukan ketika aku mengampuni dan menyembuhkan lukaku, tapi ketika aku mengampuni diriku sendiri, memaafkan keputusan bodoh yang pernah kuambil dan menerima bekas luka yang ada di hatiku sebagai bagian dari kehidupan, sebagai salah satu warna yang membentuk aku seperti yang sekarang ini. Karena apapun jalan yang pernah kulewati, seberapapun sakitnya itu, seberapapun remuknya aku, aku berjalan semakin dekat dalam pencarianku pada makna rasa cinta. Dan tanpa luka-luka itu, aku tak akan pernah menjadi selengkap ini.

Normalitas versus absurditas.
Suatu hari ditengah absuditas puing-puing hati yang sedang kutata kembali, seorang yang normal datang dari jauh sana. Seorang kawan di masa lalu,
yang menawarkan garis lurus tak berwarna dan memikatku dengan kesederhanaanya.

“Selamat malam” sapanya setiap malam.
“Selamat siang, Tuan Normal” sapaku.

Sejak lama aku memaksa diriku menjadi entitas yang berbeda, lepas dari identitas, membersihkan diri dari debu-debu borjuis, melumuri diri dengan berlian-berlian sosialis. Aku berkawan dengan teman-teman yang unik, yang berpikir secara ajaib. Aku memaksakan diriku mendengarkan musik-musik indie, membenci system, berusaha menjadi culture jamming, membenci kapitalis, melawan hedonitas. Aku jatuh cinta pada pria-pria absurd, berusaha menjadi seabstrak yang aku bisa. Aku selalu berusaha jadi unik, jadi aneh, kupikir aku akan dicintai karena aku berbeda.

Dan ia datang di tengah absurditas yang mati-matian kuciptakan. Ia datang tidak seperti pencuri, datang seperti tamu yang mengetuk pintu dan meminta masuk, yang duduk dan lalu kusuguhi minum. Si Normal yang berpikir normal, yang suka musik mainstream, makan di restoran yang ramai dikunjungi orang, menonton serial yang sedang naik daun, mengendarai mobil yang dipakai sejuta orang di kota. Ia tidak mencoba menjadi berbeda, ia garis lurus yang membentang sejadinya, tanpa banyak liku-liku, tanpa banyak tanda tanya. Ia simpel, membuatku terpikat dengan kesederhanaanya, pikirannya yang mudah ditebak karena tak berselubung. Ia segaris lurus, sedangkan aku carut marut.

Darinya aku sadar, bahwa aku tak perlu berusaha menjadi selalu berbeda untuk dapat disukai. Tanpa harus berselubung absurditas yang sebetulnya sederhana. Darinya aku belajar tentang penantian, karena kami tak pernah benar-benar bergandengan bersama. Tapi ia menemaniku dari jauh ketika aku bosan sendirian di kamar baruku, ketika aku patah remuk redam, ketika aku rindu rumah, ketika aku kesepian dan rasanya mau jatuh. Dia ada tanpa pernah memintaku, tanpa pernah mengutarakan perasaannya padaku.

“Jadi kapan kita masak bareng?” tanyanya setelah membaca sepotong tulisanku tentang mimpiku di masa depan bersamanya.
“Kapan-kapan” sahutku sambil melet virtual.
“Kamu tahu? kalau Tuhan ada di jalan kita. Seberapapun jauh kita pergi, akan ada waktu bagi kita untuk bersinggungan lagi. Dan aku akan jatuh hati lagi pada seorang perempuan menakjubkan sepertimu”

Darinya aku belajar menunggu, mengikuti kemana takdir membawaku. Menikmati setiap kejutan yang disiapkan Sutrada Kehidupan bagiku.

Si Putih
Hidup ini panjang dan penuh kejutan. Di tengah penantianku akan seorang yang jauh entah di mana, Si Putih datang. Dimulai dari sebuah kejadian konyol di bawah pengaruh asap-asap yang memabukkan, ia mencuri secuil kecupan yang menjadi titik awal kejutan untuk hari-hariku di tanah baru ini.

“Halo, saya Si Putih, sudah berapa lama di sini?” sapanya dengan bahasa yang tak cocok dengan perawakannya.
“Lho kok bisa bahasa Indonesia sih?” jawabku kaget dan ia tertawa, sebuah pertanyaan yang akrab di telinganya.

Ia tidak memikatku dengan seribu puisi, tidak dengan garis lurus yang sederhana, tidak juga dengan warna merah yang berapi-api. Ia menatapku malu-malu dan mengelus punggung tanganku sembunyi-sembunyi. Ia berusaha mengerti celotehku yang panjang dan cepat tanpa ampun dalam bahasa yang tidak begitu ia kuasai. Ia berusaha merangkai banyak kata-kata panjang dengan bahasa Indonesia yang membuatku tergelak tawa karena bunyinya yang jawa kental dengan pelafalan setengah belanda. Ia tidak begitu romantis seperti pria-priaku yang sebelumnya. Ia mengulum senyum ketika melihatku kebingungan tertatih-tatih mengartikan kata-kata dalam acara keluarganya, atau ketika kakeknya ngotot berbicara padaku panjang lebar dan tidak menyadari bahwa aku tidak mengerti apa yang beliau katakan sama sekali.

Aku belajar untuk menghargai perbedaan budaya dalam berhubungan, menerima perbedaan pola pikir dan mentoleransi argumen-argumennya yang sangat barat, sedangkan ia berusaha menerima kepercayaan-kepercayaanku yang sangat timur.

Aku ingat sebuah percakapan ditemani es krim gelato, tak jauh dari Fontana Di Trevi di Roma. Kami baru saja mencuri-curi pandang menyaksikan seorang gadis yang baru dilamar pacarnya.

“Romantis banget ya, dilamar di Fontana Di Trevi. Aku mau tuh dilamar di sini” kataku sambil menjilat-jilat es krim yang nikmat.
“Kalau aku suatu hari harus melamarmu, aku akan melamarmu di tempat yang tak pernah dipakai orang lain untuk melamar” sahutnya ringan.
“Di mana?” tanyaku
“Entahlah… belum tahu. Masih panjang, jalan kita masih panjang.”
“Tapi kah harus dipikirin dong?” bantahku ngeyel.
“Sayang, nikmati saja hari ini dulu, apa pun akhirnya nanti, baik kita berakhir berdua atau tidak, aku yakin itu lah akhir yang terbaik buatku dan buatmu”

Dari perjalanan ini aku belajar, kadang kita hanya harus menikmati hari ini. Menikmati kehidupan sepotong demi sepotong, tanpa khawatir bagaimana akhirnya nanti. Ada banyak orang yang disiapkan takdir dalam hidup kita dan tidak semua orang ditakdirkan untuk menjadi akhir. Kadang justru mereka ada untuk mematangkan, untuk memberi warna pada perjalanan kita yang berliku, untuk saling mengasah kehidupan. Tentang bagaimana ujung perjalanannya nanti, aku belajar percaya bahwa semuanya telah disiapkan bagiku yang terbaik. Karena hidup bukanlah tentang hasil akhir, tetapi tentang setiap serpih yang ada dalam perjalanannya, baik luka dan pelanginya.

Mungkin ini bukan yang terakhir, mungkin masih banyak orang yang perlu mengasahku di perjalanan berikutnya. Bisa juga ia menjadi yang terakhir atau takdir membuatku bersinggungan dengan cinta lain, dengan warna lain. Dan berakhirnya tulisan ini tentang perjalanan cintaku jelas bukan akhir, ini hanya membawaku setapak lebih dekat dengan pencarianku terhadap makna cinta. Seorang pernah menitipkan padaku sebaris pesan, cinta adalah hasil dari sebuah perjalanan. Cinta adalah evaluasi terakhir ketika perjalanan kita usai, dan rasa yang tersisa setelah hujan badai, bangunan yang masih berdiri setelah gempa mengguncang perjalanan. Jadi kurasa, dari setiap perjalananku mencari Sang Cinta itu, aku telah belajar bahwa aku menemukan cinta-cinta lain yang telah mewarnai hidupku. Aku bersyukur akan setiap potong cinta yang kutemukan, yang tiap potongannya telah melengkapi piguraku akan makna cinta yang sesungguhnya.

Cheers,
Ivy Londa

*Ohlala.. capek juga nulis segini panjang.. apalagi yang baca ya?? :P*

The Day You Will Ask Me

Because the day I'm done with boys, I'm start looking for a man... And that day you came...

Hari dimana kamu akan memintaku adalah hari yang biasa saja, bukan hari yang begitu spesial. Kita berdua duduk di sebuah taman yang ramai akan anak-anak kecil. Aku bilang, kalau aku punya anak perempuan aku akan mendandani rambutnya, membawanya ke les piano dan mengajarnya melukis. Kamu bilang, kalau kamu punya anak laki-laki, kamu akan membawanya ke pertandingan sepak bola, kamu akan mengajaknya memancing dan membuatkannya rumah pohon. Kita akan tersenyum, saat seorang bocah lewat dengan mulut penuh es krim coklat, lalu kita akan berjalan pulang, melewati pasar dan membeli bahan-bahan makanan, karena hari itu adalah hari masak bersama untuk kita.

Ya, Ini Untuk Kamu


Malam dan teman-temannya. Seperti biasa, malam-malam musim gugur, langit bertahan di atas lima derajat. Malam lain dengan lantunanan lagu-lagu D’cinammons, Tika and The dissident, Efek Rumah Kaca.. ah, para dewi tak mampu membuat malam yang lebih indah daripada malam ini...

Ring, ring it's you again heart pops

I loved to hear you

It's been all day

I've been waiting for you

Yeah, mungkin ini terlalu malam untuk roman picisan. Tapi sumpah! Rasanya aku bisa gila kedinginan. Di kejauhan, menara gereja masih menyala, sebelas seperapat, disana pukul berapa?

‘lima seperempat’, jawabmu.

Loving you it hurt sometimes

I'm standing here you just don't bye

I'm always there you just don't feel

Or you just don't wanna feel

Don't wanna be hurt that way

It doesn't mean I'm givin' up

I wanna give you more

And more and more'

Lalu?