Celoteh Si Bungsu Yang Terakhir

Friday, July 3, 2009

Taken from Facebook Notes Ivy Londa :

Kau tahu Kak, butuh waktu lama bagiku menatap layar putih ini. Kupikir akan kurangkai berbagai kata indah, kujadikan puisi cantik, walau ada yang bilang puisi tak selalu harus ditulis. Aku mengetik lalu menghapus, mengetik lagi beberapa kata lalu menghapus semuanya. Tak kutemukan kata yang tepat untuk memulai celoteh ini.

Kak, mungkin sudah sering kau dengar, betapa kita bersyukur dapat bergandengan rapat di pantai ini. Dan bagaimana kita berharap, bila masa ini tak akan habis. Kita tetap satu, dalam pantai kita duduk dalam diam atau tawa atau mungkin tangis. Tapi kita tetap rapat, peluk yang tak tergantikan.
Kak, ini juga sudah sering kau dengar. Bagaimana Si Bungsu ini merasa begitu beruntung memiliki keluarga yang merah merona. Bagaimana Si Bungsu ini menyayangi kalian semua, Kakak-kakaknya tercinta.

Tapi Kak... Ah... Aku ketakutan tiba-tiba. Takut keluarga ini pecah berantakan, keluarga yang kita bangun di atas pantai tanpa air laut ini, dengan mimpi dan kehampaan yang kita temukan bersama. Takut kehilangan kalian, yang pergi satu per satu seperti aku kehilangan sahabat-sahabatku dulu.Tapi kita bukan sekedar berkawan! Kita keluarga yang telah diikat oleh darah mimpi dan perasaan saling sepi yang entah mengapa dipenuhi senyummu.

Jika ada yang dari kita akhirnya harus pergi karena memang waktu yang bersabda, maka biar yang lain tetap berangkulan sama rapatnya, lebih rapat malah dari sebelumnya. Dan jika harus ada yang pergi, biarlah hanya.... hanya... hanya... karena waktu yang memang sudah habis. Hanya karena waktu, Kak... Bukan karena yang lain.

Kak, aku tentu tahu bahwa aku hanyalah Si Bungsu yang gemar berceloteh. Aku tentu tahu bahwa aku bukanlah seseorang dalam keluarga hebat ini yang dicari untuk dibagi. Tapi aku mencintai keluarga ini lebih dari apapun yang berwarna merah! Dan kujaga ini seperti sebuah batu rubi rapuh yang mempesona. Tak seorangpun... tak seorangpun, Kak, kubiarkan untuk merusaknya.
Kak, aku ketakutan. Bahkan di malam buta ini aku tak dapat terpejam menanti besok yang mungkin saja akan buruk... atau mungkin saja baik-baik saja?

Kak, ini celoteh kosong Si Bungsu yang kuyakin membosankan. Tapi andai aku bisa memeluk kalian semua di pantai malam ini, besok, lusa dan seterusnya tanpa takut kalian pergi.... Kak, kubelah-belah hatiku yang merah ini. Kutitipkan masing-masing sepotong adil di kantung kalian. Rasakan hati itu berdenyut walau lemah, rasakan hati itu ingin menghangati walau mungkin tetap dingin, dengar ia berteriak-teriak walau seperti bisikan ‘aku sayang kalian!’. Jadi jangan ada yang pergi jauh dari sini, karena sepotong hatiku di kantungmu.

Kak, kita keluarga. Dalam keluarga mungkin saja saling menyakiti. Mungkin saja ada yang jatuh. Tapi bukankah yang terutama adalah bagaimana kita mendekap yang galau,bukan mendakwa. Bukankah yang terpenting adalah menangkap yang jatuh, obati lukanya dengan senyuman.
Kak, aku hanya Si Bungsu. Mungkin lenganku tak cukup kuat menangkap yang jatuh, tanganku tak cukup panjang mendekap yang galau. Tapi Kak, aku berjanji untuk berusaha menjadi Bungsu paling manis bagi semuanya. Apapun, asal kita tetap bersama.

Kak, malam ini aku menangis khawatir sampai tertidur pulas. Besok kuharap segalanya baik-baik saja. Bukankah Ayah selalu bilang, akan ada mentari yang lebih cerah esok hari. Dan aku percaya itu. Aku percaya, matahari akan sama tingginya besok, nasi goreng akan sama nikmatnya besok, dan pantai akan tetap lenggang menanti kita. Dan kita tetap akan duduk rapat, mendekap satu sama lain dan menunjukan pada siapapun yang datang, bahwa ini bukan keluarga sembarangan yang dapat semudah itu dipecah belah.

*dan setelah ini... aku janji ini akan menjadi celoteh yang terakhir dari si bungsu yang gemar berceloteh.


0 komentar:

Posting Komentar