Kapsul Waktu



Kapsul waktu adalah sebuah kardus atau apapun bentuknya sebuah tempat yang isinya adalah barang-barang dari masa lalu yang ingin kita simpan. Fungsi dari kapsul waktu ini adalah untuk menyimpan serpihan-serpihan kenangan dari masa-masa hidup kita untuk dapat dilihat lagi oleh diri kita di masa depan. Berbeda dengan album yang hanya memuat gambar-gambar kaku, kapsul waktu bisa menyimpan lebih dari gambar. Kapsul waktu menyimpan tekstur yang dapat dipegang, wewangian, barang dan juga foto yang dapat mengingatkan kita pada kenangan atau pada suatu masa dalam kehidupan kita.

Saya sendiri punya kapsul waktu sekitar dari umur 8 tahun. Sejak saat itu saya menyimpan semua benda-benda yang ingin saya tunjukan kepada saya di masa depan, benda yang saat itu saya anggap bermakna. Kapsul waktu saya berisi berbagai peninggalan karya, dari puisi, tulisan, surat, lukisan, foto dan hadiah-hadiah yang saya siapkan untuk saya di masa depan.

Di dalam kapsul waktu juga saya menyimpan berbagai macam postcard, brosur, perangko hasil perjalanan saya ke berbagai tempat di dunia. Saya juga menyimpan berbagai tiket perjalanan, struk belanja, stample bus, kartu hotel, karcis bioskop dan barang-barang yang munkin dianggap sampah oleh banyak orang. Bagi saya, barang-barang kecil itu adalah tiket saya kembali ke masa dimana saya mendapatkan barang-barang itu. Walau hanya secarik kertas struk belanja, dapat mengingatkan saya pada toko yang saya hampiri di Disneyland, benda-benda unik yang saya lihat disana, barang yang akhirnya saya pilih dan beli dan berbagai kejadian unik di toko itu. Atau benda unik dalam kapsul waktu saya misalnya micropet, robot mini yang berfungsi sebagai binatang peliharaan, namanya Kuma. Benda ini adalah hadiah Natal dari sahabat saya waktu SD dan ini sangat berarti walaupun sekarang sudah tidak bisa nyala lagi. Ada juga berbagai nametag yang saya dapat dari ikut berbagai kegiatan. Spanduk “Dukung Ivy” ketika saya kampanye untuk menjadi ketua OSIS, kaos kesayangan dari seorang sahabat yang tinggal di Denmark, dan juga batu koleksi yang saya temukan di Inggris. Berbagai barang itu saya masukan dalam sebuah kotak dan lengkap dengan kenangan tertulis dan surat-surat pesan Ivy di masa kini untuk Ivy di masa depan.

Hari Minggu kemarin saya membongkar-bongkar kapsul waktu dan memindahkannnya ke peti milik Ibu saya. Petinya disebut Peti VOC, karena memang dibuat menjadi replika dari peti jaman kuno. Pindahan kapsuk waktu ini membuat saya mengaduk-ngaduk berbagai kenangan yang ada. Dan juga saya menambahkan berbagai kenangan baru, fase hidup saya dari sekitar kelas 2 SMA dan sekitaran awal berumur 17 tahun. Saya menyimpan kertas-kertas ulangan yang saya dapatkan dengan susah payah di kelas IPA, menyimpan bunga pertama yang saya dapat dari seorang pria, menyimpan berbagai undangan pesta sweet seventeen dan kartu-kartu ucapan selamat untuk saya ketika berumur 17. Menyimpan berbagai kenangan itu membuat saya merenung cukup banyak.

Banyak kenangan, serpihan yang saya coba kumpulkan. Tapi semakin banyak serpihan yang saya susun, semakin banyak pula hal yang menyadarkan saya bahwa saya berubah, saya bertumbuh, saya berjalan jauh dari titik nol. Entah di titik berapapun saya sekarang berada, entah berapa banyak kesalahan yang telah saya lakukan dengan sadar, entah berapa banyak pilihan yang saya buat sekarang dan mungkin akan saya sesali. Saya menuliskan satu surat lagi untuk saya di masa depan, bahwa sebodoh apapun pilihan dan kesalahan yang saya buat sekarang... saya minta untuk tetap dicintai seperti saya selalu mencintai dan percaya akan masa depan. Terkadang hanya itu yang dibutuhkan seseorang di hari beratnya, perasaan diterima dan dihargai oleh masa depan dan masa lalunya. Karena kadang, hanya masa depan dan masa lalu yang kita punya untuk berbagi.

Surat Untuk Sahabat Kecilku

Friday, July 3, 2009


Taken from Fecebook Notes Ivy Londa : Thursday, May 21, 2009 at 10:35pm

Untuk si sahabat kecil,

Lama sekali kamu tidak datang malam-malam ke kamarku? Mungkinkah kamu lupa alamatnya atau terlalu banyak hal untuk dikerjakan di atas sana sehingga entah purnama kamu pergi... atau mungkin.. karena malam-malam ini aku terlalu sibuk dengan kehidupanku sendiri? karena malam-malam yang dulu kita habiskan untuk mengobrol dan tertawa-tawa sampai ke mimpi, kini digantikan dia yang menemaniku tidur dari jauh sana.
Aku minta maaf, walau aku tau maaf tak ada artinya. Aku tetap ingin minta maaf karena aku telah lupa pada sahabat kecilku, sahabat yang memelukku lembut saat aku menangis dalam sunyi di lemari bertahun-tahun yang lalu, sahabat yang tumbuh bersamaku melewati setiap perang hidup yang kulalui, sahabat yang bersamaku baik di puncak podium tertinggi atau di jurang paling dalam sekalipun. Aku minta maaf...

Maaf telah melepaskanmu pergi, karena keegoisanku yang begitu rupa. Maaf karena doa malammu digantikan suaranya menemaniku tidur.. maaf karena aku tak lagi cerita padamu apa saja, karena aku ceritakan semua hal padanya, karena aku lebih menantikan dia daripada kamu dimimpiku... Maaf...

Sha, kemarin-kemarin aku menangis. Dan betapa terkejutnya aku, menyadari kamu tidak ada disampingku. Aku panggil kamu perlahan sampai setengah berteriak, tapi kamu hilang. Aku sadar, sejak aku tahu arti sahabat, kamu selalu ada disampingku. Tertawa dan menangis bersamaku. Berbagi rahasia dan canda yang hanya kita berdua yang dapat mendengarnya. Aku ingat saat sepi itu, entah berapa tahun yang lalu, ketika semua orang pergi dari pelangiku, hanya kamu yang mau menemaniku di gelap dan sunyinya lemari kamarku. Kamu tidak menangis, tidak juga menyuruhku berhenti menangis, kamu disana dan menemani aku sampai aku tertidur pulas di pelukmu. Aku ingat, saat kita menjelah benua baru, negara baru, saat itu aku tersesat dan malam telah larut, tapi kamu memegang tanganku di halte Southwick itu dan kita temukan jalan pulang. Aku ingat, saat aku dicerca puluhan orang di sekolah dulu, tapi kamu disana tersenyum dan seketika hatiku longgar. Aku ingat, saat aku lewati hari-hari kelam itu, saat aku temukan tenang dalam merah itu, kamu tidak tepiskan pisau itu, tapi kamu hanya tetap bilang 'jangan lupa, aku tetap sayang kamu'. Kata-kata itu yang membuatku tetap hidup, percaya bahwa kamu satu-satunya yang kumiliki yang tak akan meninggalkan aku. Aku ingat, saat aku jatuh cinta, kamu tersenyum yang tak dapat kumengerti artinya dan kamu disana disaat-saat aku melayang jauh..

Kamu semakin buram ketika aku tenggelam dalam dunia baru yang kutemukan, kamu tidak menuntutku marah, kamu hanya diam, berkata kamu tetap disana. Tapi aku yang membunuhmu perlahan. Aku ingat ketika dulu kita berbagi kesunyian dalam gelap, aku tanya 'kenapa kamu ada?' dan kamu jawab 'aku ada, karena kamu percaya' dan saat itu aku percaya kamu disampingku selamanya.

Aku sungguh terkejut menemukan diriku meringkuk kesakitan, menangis didekap bantal hijau kesayanganku. Aku menantikan belaianmu dipunggungku untuk membuatku reda, tapi kamu tidak datang. Aku sadar, aku telah memusnahkanmu seiring aku tidak lagi menciptakanmu dengan apa yang kupercayai. Aku sungguh takut kamu tidak kembali... Sekarang aku sendiri dan ketidakhadiranmu sungguh terasa. Malam-malam kemarin sepi tanpa seorang pun. Kamu tahu, dari kecil aku paling tidak bisa tidur sendirian. Sehingga setiap malam kamu temani aku dalam temaram lampu, mencritakan cerita-cerita dari negri seberang, memberikanku mimpi-mimpi indah dan meyakinkan aku untuk tidak pernah takut kehabisan cerita.

Jadi aku menulis surat ini sayang, semoga jauh sampai ke atas sana. Dan kembalilah disampingku... Kutunggu malam ini, kubuka jendela kamarku selebar mungkin supaya kau mudah masuk, kuletakkan lukisan-lukisan masa kecil kita agar kau tau itu jendelaku. Aku tunggu kamu, sampai kamu memaafkan aku. Aku tunggu kamu sampai kamu yakin aku berjanji. Aku sayang kamu... biar mereka bilang aku gila, biar mereka mencoba membunuhmu dengan segala macam cara, biar mereka pikir kamu telah lama pergi. Aku tetap sayang kamu.... kembalilah sahabat kecilku, aku menunggumu...


Sahabatmu,
Si keriting

***************************************************************************

kamu percaya setiap orang punya belahan jiwa?
Aku punya... dan aku percaya belahan jiwa itu diciptakan...
kamu?



Celoteh Si Bungsu Yang Terakhir

Friday, July 3, 2009

Taken from Facebook Notes Ivy Londa :

Kau tahu Kak, butuh waktu lama bagiku menatap layar putih ini. Kupikir akan kurangkai berbagai kata indah, kujadikan puisi cantik, walau ada yang bilang puisi tak selalu harus ditulis. Aku mengetik lalu menghapus, mengetik lagi beberapa kata lalu menghapus semuanya. Tak kutemukan kata yang tepat untuk memulai celoteh ini.

Kak, mungkin sudah sering kau dengar, betapa kita bersyukur dapat bergandengan rapat di pantai ini. Dan bagaimana kita berharap, bila masa ini tak akan habis. Kita tetap satu, dalam pantai kita duduk dalam diam atau tawa atau mungkin tangis. Tapi kita tetap rapat, peluk yang tak tergantikan.
Kak, ini juga sudah sering kau dengar. Bagaimana Si Bungsu ini merasa begitu beruntung memiliki keluarga yang merah merona. Bagaimana Si Bungsu ini menyayangi kalian semua, Kakak-kakaknya tercinta.

Tapi Kak... Ah... Aku ketakutan tiba-tiba. Takut keluarga ini pecah berantakan, keluarga yang kita bangun di atas pantai tanpa air laut ini, dengan mimpi dan kehampaan yang kita temukan bersama. Takut kehilangan kalian, yang pergi satu per satu seperti aku kehilangan sahabat-sahabatku dulu.Tapi kita bukan sekedar berkawan! Kita keluarga yang telah diikat oleh darah mimpi dan perasaan saling sepi yang entah mengapa dipenuhi senyummu.

Jika ada yang dari kita akhirnya harus pergi karena memang waktu yang bersabda, maka biar yang lain tetap berangkulan sama rapatnya, lebih rapat malah dari sebelumnya. Dan jika harus ada yang pergi, biarlah hanya.... hanya... hanya... karena waktu yang memang sudah habis. Hanya karena waktu, Kak... Bukan karena yang lain.

Kak, aku tentu tahu bahwa aku hanyalah Si Bungsu yang gemar berceloteh. Aku tentu tahu bahwa aku bukanlah seseorang dalam keluarga hebat ini yang dicari untuk dibagi. Tapi aku mencintai keluarga ini lebih dari apapun yang berwarna merah! Dan kujaga ini seperti sebuah batu rubi rapuh yang mempesona. Tak seorangpun... tak seorangpun, Kak, kubiarkan untuk merusaknya.
Kak, aku ketakutan. Bahkan di malam buta ini aku tak dapat terpejam menanti besok yang mungkin saja akan buruk... atau mungkin saja baik-baik saja?

Kak, ini celoteh kosong Si Bungsu yang kuyakin membosankan. Tapi andai aku bisa memeluk kalian semua di pantai malam ini, besok, lusa dan seterusnya tanpa takut kalian pergi.... Kak, kubelah-belah hatiku yang merah ini. Kutitipkan masing-masing sepotong adil di kantung kalian. Rasakan hati itu berdenyut walau lemah, rasakan hati itu ingin menghangati walau mungkin tetap dingin, dengar ia berteriak-teriak walau seperti bisikan ‘aku sayang kalian!’. Jadi jangan ada yang pergi jauh dari sini, karena sepotong hatiku di kantungmu.

Kak, kita keluarga. Dalam keluarga mungkin saja saling menyakiti. Mungkin saja ada yang jatuh. Tapi bukankah yang terutama adalah bagaimana kita mendekap yang galau,bukan mendakwa. Bukankah yang terpenting adalah menangkap yang jatuh, obati lukanya dengan senyuman.
Kak, aku hanya Si Bungsu. Mungkin lenganku tak cukup kuat menangkap yang jatuh, tanganku tak cukup panjang mendekap yang galau. Tapi Kak, aku berjanji untuk berusaha menjadi Bungsu paling manis bagi semuanya. Apapun, asal kita tetap bersama.

Kak, malam ini aku menangis khawatir sampai tertidur pulas. Besok kuharap segalanya baik-baik saja. Bukankah Ayah selalu bilang, akan ada mentari yang lebih cerah esok hari. Dan aku percaya itu. Aku percaya, matahari akan sama tingginya besok, nasi goreng akan sama nikmatnya besok, dan pantai akan tetap lenggang menanti kita. Dan kita tetap akan duduk rapat, mendekap satu sama lain dan menunjukan pada siapapun yang datang, bahwa ini bukan keluarga sembarangan yang dapat semudah itu dipecah belah.

*dan setelah ini... aku janji ini akan menjadi celoteh yang terakhir dari si bungsu yang gemar berceloteh.


Kalau Suatu Hari Aku Lupa


Sunday, July 5, 2009

“Pak, maaf numpang tanya.. Ini 67 bukan? Yang ke arah Sudirman?” Kutanya sambil tersenyum pada seorang bapak yang duduk di pinggiran tembok jalan. Bapak itu mengangguk. Kuucapkan terima kasih dan kulambaikan tangan pada kuda besi yang tak berhenti kentut. Kunaikan satu kaki diatasnya dan bus itu melaju, kulempar badanku kedalam sambil merasakan sensasi aneh yang kurasakan, takut sekaligus senang-semangat menyambut pagi.
Bayanganku akan pagi yang kusambut dengan senyum di dibuyar oleh kocokan receh yang digoyang di depan wajahku. Oh... minta ongkos, sahutku dalam hati. Kubayarkan 5000 dan aku lihat apakah ia berikan kembalian. Ternyata kudapatkan kembali 3 lembar ribuan, wah.. cukup murah. Aku meneliti jalan dengan seksama, takut gedungnya terlewat. Sang Jendral kulewati dengan tersenyum, namun aku terhempit antara tas dan orang-orang yang berjejal keluar. Tas ransel ku yang besar kugendong saja seperti biasa, yang belakangan baru kuketahui bahwa itu sasaran empuk untuk para copet.
Gedung putih bersisik itu terlihat, kukatakan pada si penjaga pintu. Ia mengetukkan koin keras ke besi palang, aku tersentak kaget kupikir ia marah. Oh.. ternyata itu tanda untuk berhenti. Segera kulangkahkan kaki kananku keluar, aku agak limbung karena bus itu segera melaju tak mau menunggu. Kemudian hari aku baru tahu bahwa agak seimbang turunlah dengan kaki kiri terlebih dahulu. Wah.. ternyata untuk naik bus kota saja ada beberapa ilmu yang harus kumiliki. Belum lagi menghafal angka bus yang sangat menyusahkan untuk manusia dengan ingatan pendek sepertiku.
Kelasnya berbangku tak banyak, ketika ku masuk sekumpulan anak sedang bertukar nama. Beberapa dari mereka sudah saling mengenal tampaknya. Aku berusaha tidak membuat penilaian apapun pada sekumpulan gadis-gadis itu. Aku tersenyum dan memberikan namaku, sambil berusaha mengingat nama dan wajah mereka yang dikepalaku, wajahnya sama semua.
Mengapa baru seminggu kutulis tentang ini? Karena kupikir seminggu adalah waktu yang cukup pas. Aku tidak terlalu terburu-buru menilai, tapi juga belum terlalu dekat untuk menjadi subjektif. Jadi harusnya segala yang kutulis ini, kuharap menjadi sesuatu yang cukup objektif.
Gadis-gadisnya cukup ramah, beberapa dari mereka berasal dari sekolah internasional, tentu saja mereka cas-cis-cus bicara bahasa inggris. Ada yang selalu memakai heels, dan juga dipoles sedemikian rupa hingga mereka cantik-cantik. Ada yang cukup sederhana, agak pemalu dan tak banyak bicara. Ada yang gemar bicara, wajahnya bulat dan sangat gemar makan. Dan sepertinya dari tanggapanku seminggu ini mereka semua gemar sekali hidup dalam sistem komunal. Ke toilet harus bersama, makan siang diputuskan bersama, ambil air minum bersama, bahka ke loker pun bergerombol bersama. Bukan aku tak mau bersosialisasi. Namun aku cukup senang melakukan apa-apa sendiri. Jadi kadang kutolak lembut ajakan mereka pergi ke toilet dan pernah suatu kali, aku tertinggal mereka makan siang. Jadilah mereka menanyakanku, mencariku sehabis kembali makan. Aku berterimakasih, tapi kujelaskan bahwa kadang aku tidak keberatan melakukan sesuatu sendiri. Aku lebih suka makan siang sendiri si sofa sambil baca majalah, lalu menghangatkan diri di balkon. Untung saja mereka cukup mengerti.
Hampir semua dari mereka diantar dan dijemput mobil pribadi untuk pulang dan pergi. Hanya satu gadis yang kutahu juga naik angkutan umum karena rumahnya jauh di tanggeran sana. Aku pun cukup bangga dengan keputusanku naik angkutan umum untuk pulang dan pergi. Walau awalnya Ibuku agak keberatan tapi keputusanku bulat. Aku bukan lagi pelajar menengah sekarang. Disini aku belajar jadi mahasiswa, luar negri pula. Jadilah aku malu kalau masih naik-turun mobil jemputan. Pilihan yang kubuat untuk diriku sendiri adalah bawa mobil ibuku atau angkutan umum. Sedangkan pilihan membawa mobil ibu sepertinya tidak mungkin, karena sekalipun nanti aku bisa menyetir, jalan itu kena three in one di pagi hari. Dari pada repot, ada baiknya juga kupilih bus kota, aku jadi mengenal kotaku dari sisi yang lain. Di luar sisi yang selama ini kulihat dari sekolah hedon lamaku.
Pelajarannya cukup kusuka, walau pakai bahasa inggris yang membuatku berpikir ekstra. Tadinya aku pesimis aku akan jadi yang terbodoh di kelas. Tapi ternyata banyak dari mereka yang masih memiliki masalah bahasa lebih dari aku, sehingga aku cukup tenang. Kelasku sangat dingin, kadang saat pikiran-pikiranku melayang jauh, aku berpikir berapa banyak listrik yang mereka gunakan untuk mendinginkan ruangan kecil ini. Ugh... lagi-lagi global warming.
Pelajarannya pasti berkiblat pada barat, ekonomi barat, hukum negri kanguru, kebiasaan barat dan lain-lain. “Kalian akan masuk Universitas untuk menjadi accounting, bukan book keeper. Siapapun bisa melakukan pekerjaan buruh itu. Jadi kalian tak perlu pusing, akan ada orang lain yang mengerjakan bagian itu” Itu salah satu petikan omongan guru akuntansiku. Wah... Bukan main. Entah memang kami dididik dengan mental sarjana atau itu bagian dari doktrin kapitalis tinggi?
Bukan saja pelajarannya yang harus banyak-banyak kusaring dalam mengintepretasi, tapi juga lingkungan sekolahnya. Hari sebelum masuk, kukatakan pada kakak sekaligus temanku “Ah.. tik! Hedonisme macam apa yang harus gue hadapi? menghadapi satu kelas penuh anak-anak yang orang tuanya mampu membayar 100 juta per 10 bulan? Ah..pasti itu bahkan lebih parah daripada sekolah hedon lamaku kan?” Dan ia hanya menggangguk sambil tertawa ringan, lalu sambil dirangkulnya pundakku ia bilang “ Tenang saja.. it’s all gonna be fine... Masa seorang Ivy Londa tidak bisa beradaptasi pada hal kecil macam itu?” Aku tersenyum dan menggangguk lemah. Dalam hatiku, aku ingin teriak “Bukan masalah aku bisa beradaptasi atau tidak. Aku SANGAT takut kalau secara tidak sadar akhirnya aku menjadi bagian dari mereka, hedonisme menjijikan itu sendiri”
Kini sudah seminggu kuhadapi berbagai doktrin kapitalis dan lingkungan hedon yang makan siang dengan harga 50ribu sekali makan. Ah.. besok-besok aku akan bawa makanan dari rumah saja atau beli nasi bungku di depan sana. Aku masih baik-baik saja, filter di kepalaku masih berfungsi benar. Aku masih mendengar suara dalam kepalaku yang mengingatkan ‘Hei! Ingat.. kamu belajar TETAP untuk negri ini nantinya. Biar kamu belajar sampai ke ujung dunia pun, bangsa ini yang harus lebih dulu kau bangun. Jadi dengan kiblat manapun sekarang kau dididik, tetapkan kiblat bagi dirimu sendiri, paku hati disitu agak kau tak lupa, paku di tanah negri ini, untuk bangsa ini. Bangsamu sendiri.’
Dan yang membebani hatiku sekarang, kuharap sangat berharap bahwa filter di kepalaku itu tak akan rusak. Berharap bahwa kiblatku tertancap benar. Aku takut sekali kalau suatu hari kusadari diriku menjadi bagian dari semua yang kubenci sekarang. Oh.. semoga saja tidak. Tapi sampai kapan filter kepalaku sejernih semula? Setidaknya setiap kali filter kepalaku kotor, aku punya tulisan ini dan bus kota yang mengingatkanku tentang mimpi dan cita-citaku. Ya... ternyata keputusan untuk naik kuda besi kentut-kentut itu adalah keputusan yang cukup benar. Setidaknya untuk dapat berkenalan dengan kota ini yang menjadi representasi dari bangsa yang sedang merangkak bangun ini. Dan semoga saja, 4-5 tahun nanti saat aku selesai dengan urusan tanggung jawab sebagai manusia terdidik, aku masih punya waktu untuk membenahi negri ini, mungkin saja dimulai dari... kotaku dan kuda-kuda besinya. 

Ayah, Cepat Pulang


Sunday, June 28, 2009



Kak! Ayo cepat kesini... Ayah datang.
Ayah membawa mainan yang sangat menarik
Ditentengnya sebuah benda, yang paling aneh yang pernah kulihat
Kami berkumpul di ruang keluarga, mengamati dan melihat-lihat
Mainan ini sangat aneh bentuknya, lucu dan sangat pintar
Berbeda dengan segala boneka yang Ayah beli di negri kincir, negri bambu, ataupun negri 1001 malam
Berbeda dengan semua bola dan mobil balap yang Ayah beli Inggris, di Prancis atau di Amerika
Ayah memang hebat! Ayah memang sangat baik!
Kita semua bermain bersama, sibuk mengelilingi mainan menarik ini.
Kutanya Ayah ‘Yah, boleh ku memilikinya?’
Ayah bilang ‘Jangan Dik, biarkan saja disitu. Turuti kata Ayahmu ini ya, Bungsuku sayang’
Aku pun mengangguk kecil, sedih, tapi kupikir aku anak baik yang penurut.
Ayah pergi lagi, kali ini urusan pekerjaan yang tak dapat ditundanya
Ah... Ayah... Kapan pulang?
Rumah sepi Yah... kakak sibuk bermain, aku sendiri.
Rumah ramai Yah... Kakak ramai berebut, aku sedih.
Rumah jadi tak bersahabat.. Kakak saling diam, memendam amarah dan rahasia
Kasak-kusuk dimana-mana, seribu topeng, dan beberapa malam kulihat kakak menangis
Aku ikut pilu Yah... sedih tercabik-cabik... melihat kakak yang ini menangis disini, kakak yang itu menangis disana.
Tapi apa dayaku, Si Bungsu ini Yah?
Aku bukan yang mereka cari untuk berbagi.
Kucoba berlutut disamping Kakak, kukecup pipinya, kupeluk tubuhnya, ‘Kak aku mau menangkapmu’
Tapi ia tetap saja bungkam, ah.. mungkin lain kali Kakak cerita
Ingin kubuang mainanmu itu Yah... yang membuat rumahku jadi sunyi begini.
Ingin aku marah dan meledak, tapi Ayah selalu bilang untuk tenang, jangan salahkan siapapun.
Jadi kupandangi saja semua ini, dengan tangis dalam hati, takut keluargaku pecah
Keluarga manis yang kumiliki.. kini dilipus sunyi dan sendu.
Ku ingat pesanmu Yah... ‘Bungsu, jaga keluarga kita ya, selama Ayah pergi’
Kan kujaga mereka Yah... dengan segenap serpih hatiku
Yang bedenyut lemah di masing-masing kantung jubah mereka
Dan juga di kantungmu , Yah! Kau rasakan itu? Kuselipkan semalam sebelum kau pergi kerja.
Ayah cepat pulang... selesaikan semua ini.
Ajak kami bicara di ruang keluargamu yang nyaman.
Yah, kupegang janjimu ya...
Selama masih kau Ayahnya, kau jaga keluarga ini tetap utuh.
Apapun yang terjadi.

Status Update : ‘Saya Berpikir Tentang Cyber Land.’

Thursday, June 25, 2009


Cyber land telah menjadi fenomena yang menggemparkan abad ini. Bagaimana tidak? Siapa yang tidak tahu facebook, twitter, my space dan berbagai laman jejaring pertemanan di dunia maya saat ini. Berbagai jejaring pertemanan itu bagai telah menyihir jutaan manusia tanpa pandang umur. Orang tua sampai anak-anak Sekolah Dasar yang baru melek internet pun ikut dalam fenomena cyber tersebut. Dan tentu saja, kelompok masyarakat paling vital yang menjadi mayoritas penduduk komunitas cyber land itu adalah remaja dan pemuda.

Kebiasaan-kebiasaan konvensional seperti membaca koran pagi ditemani kopi, kini tak lagi asing digeser oleh aktifitas ‘update status’ ditemani kopi. Rata-rata dari remaja dan pemuda, dalam hal ini tidak menutup kemungkinan pada rentang umur yang lebih tua, menghabiskan sekitar 30 menit setiap hari dalam 24 jam yang berharga untuk singgah dan bermain-main di ranah cyber itu.Bahkan bagi beberapa orang yang di luar kebiasaan, mereka dapat menghabiskan waktu lebih lama dari 3 jam untuk sekedar berjalan-jalan di cyber land tercinta. Entah sekedar mengubah status yang akan menjadi konsumsi seluruh tetangga cyber land sedang apa-dimana kita, mengunggah foto-foto terbaru si Ini yang baru dari situ, atau pun bagi yang rajin menulis puisi atau jurnal harian untuk dikomentari para penduduk cyber land. Belum lagi fenomena smart phone yang memudahkan akses internet cepat dan fasilitas ‘berkunjung’ ke cyber land secara lebih ringkas.

Fenomena jejaring sosial yang dianggap beberapa orang malah meng-asosialkan ini memang menuai banyak pro dan kontra. Bagi beberapa orang, fenomena ini bahkan dianggap mengarah pada fenomena sosial yang mengacu pada perubahan tingkah laku masyarakat dunia. Sebagian beranggapan bahwa ini hanyalah salah satu dampak dari globalisasi yang memang begini adanya, tanpa batas ruang, jarak dan waktu. Jadi jangan diambil begitu serius, toh ini hanya dunia maya dimana siapapun dapat menjadi apapun dalam ‘negara’ dengan penduduk terbanyak nomor 3 di dunia itu.

Justru disini yang menarik, akhirnya fenomena ini bukan hanya berakhir pada perubahan tingkah laku saja. Tapi lebih dari itu, masyarakat kita, khususnya remaja dan pemuda diajak bersembunyi di balik pribadi-pribadi berfoto yang terpampang berbagai macam rupa di negri Facebook sana. Siapa yang ada di balik foto-foto tersenyum itu? Tidak ada yang tahu. Karena Facebook bisa jadi adalah representasi mimpi dari pengguna Facebook tersebut. Bagaimana di dalam Facebook, penduduk-penduduknya seakan memiki rutinitas yang dibangun dengan pola seolah mereka semua hidup dalam kehidupan nyata.

Hal ini pernah disinggung seorang filsuf post-modern asal Prancis, Jean Baudrillard dalam bukunya berjudul Simulacra And Simulation. Merasa pernah dengar? Tentu saja anda akan ingat film The Matrix, dimana Neo menyembunyikan illicit software-nya dalam buku berjudul sama. Dalam bukunya,Baudrillard menyatakan bahwa masyarakat modern telah mengganti realitas dengan makna, simbo dan tanda-tanda, dan bahwa pengalaman manusia adalah sebuah simulasi kenyataan daripada kenyataan itu sendiri. Baudrillard merujuk bahwa simularca adalah tanda-tanda budaya dan media yang membuat kenyataan itu seolah-olah dirasakan. Baudrillard percaya bahwa masyarakat telah menjadi begitu percaya pada simulacra yang telah kehilangan kontak dengan dunia nyata di mana simulacra berasal.

Lalu apa hubungannya simulacra dan fenomena sosial remaja saat ini? Tentu saja ini menjadi sesuatu untuk direnungkan, bagaimana remaja dan pemuda saat ini terjebak dalam sebuah samudera simulacra yang entah dimana tepiannya. Sesuatu yang buruk kah? Mungkin saja iya atau mungkin juga tidak. Mungkin saja akhirnya ini hanya menjadi sebuah bagian dari alur novel. Seperti yang ramai di suarakan para penduduk cyber land sendiri bahwa Facebook dan jejaring sosial lainnya adalah novel paling polifonis yang ada di dunia cyber saat ini. Dimana tokoh-tokohnya memiliki cerita sendiri yang berkembang mengikuti alurnya masing-masing tanpa siapapun yang mengarangnya.

Atau mungkin pula akhirnya Facebook hanya menjadi salah satu bukti yang membenarkan anggapan bahwa masyarakat kita telah begitu kehilangan identitas dalam realitas yang sesungguhnya. Banyak dari kita yang merasa lebih leluasa dan menjadi dirinya sendiri dalam topeng atau bisa dibilang dalam sebuah selubung identitas lain yang dianggap seolah-olah nyata. Ingat karya Shakespeare ‘As You Like It’, dimana Rosalind dalam penyamarannya sebagai laki-laki dapat lebih leluasa menyatakan cintanya pada Orlando. Seperti itu lah fenomena selubung identitas begitu menjadi tren dalam masyarakat sosial kita. Manusia bertopeng yang hidup antara simbol dan pengalaman yang dianggap nyata, lebih dari realitas itu sendiri. Dan semua ini benar-benar terjadi dalam cyber land tercinta.

Jadi mungkin Peterpan benar menciptakan lagu “Buka dulu topengmu.. biar kulihat wajahmu...”. Mungkin terlalu banyak orang dan yang menyedihkan adalah orang-orang itu adalah pemuda yang harusnya menjadi pegangan untuk masa depan, yang terjebak dalam lautan simulacra, antara realitas dan teks yang diciptakan. Jadi sebenarnya siapa kita? Bukankah pertanyaan ini memberikan tanda tanya sekaligus pembenaran besar. Bahwa yang kita hadapi bukanlah sekedar dampak dari globalisasi besar-besaran dan postmodernisasi. Melainkan sebuah krisis identitas sosial dalam fenomena cyber ini, dimana sekali lagi, seperti banyak masalah lainnya, pemuda dan remaja dibebani tanda tanya dan tanggung jawab paling besar sebagai ujung tombak perubahan dan masa depan.


Aku percaya ada malaikat...

Monday, May 11, 2009

Aku percaya Dia mengirimkan malaikatNya. Yang aku tak habis pikir... sebesar itukah cintaNya padaku? Sampai bahkan, ketika Ia tahu aku akan terluka, ia menyiapkan morfin untuk pereda, tidak untuk menyelsaikan tapi paling tidak untuk membuatku tenang.
Aku gak peduli, sahabat-sahabatku bilang aku mulai gila. Bilang kalau mungkin morfin itu berbahaya, bilang kalau morfin itu hanya sementara. Aku tidak peduli. Yang aku tahu, dia datang dari angkasa memberikanku bunga-bungaan yang aku tahu akan layu, tapi cukup untuk membuatku tidak menangis malam itu.
***

Malam datang, aku patah hati. Seberapa pun aku coba untuk menyambungnya kembali, patahan itu patah lagi dan lagi. Semakin mengeluarkan darah yang merembes melalui tulang-tulang dadaku. Aku kesakitan, sampai aku tidak lagi dapat menangis. Segalanya terulang di kepalaku seperti sebuah film yang tak dapat kuhentikan, suara pertamanya, genggaman tanganya, kecupan pertamanya, tatapannya, dan segalanya yang terbiasa aku rasakan di hampir purnama kelima ini.

Lalu tiba-tiba sebuah sapaan kecil membuatku terjaga dai gelapnya kamarku yang hanya diterangi lampu lava warna ungu. Tulisnya 'Apakah sebenarnya kita ini hanya ingin dicintai?'. Siapa pula orang asing yang mempertanyakan sebuah pertanyaan yang tak asing bagiku? Dia teman baruku, yang baru saja kukenal malam sebelumnya, entah siapa dia? awalnya akupun tak peduli. Tapi lalu dia menanyakan pertanyaan yang sedang kucari jawabnya.

Kujawab, 'pada dasarnya setiap orang ingin dicintai DAN disakiti'
'kenapa begitu?' tanyanya heran
"karena ketika cinta itu datang..."
"tapi cinta itu datang seperti pencuri" dia memotongku
"Ya.. cinta datang seperti pencuri, tapi kita punya hak menentukan untuk menerima atau menolak cinta itu. Ketika kita menerima cinta itu, kita tahu dengan menerima cinta kita siap untuk disakiti. Sehingga jika kita ingin dicintai,, artinya kita pun ingin disakiti" sahutku panjang lebar. Dia termenung lama.
"hahahaha sudahlah.. jangan ngomong sama gw.. gw cuma orang yang lagi patah hati. Kalo lo lagi patah hati juga, mendingan jangan ngomong sama gw, daripada ntar kita berdua bunuh diri!hahahah" aku pun tertawa renyah meledeknya.
"Kamu sedang patah hati?" tiba-tiba tanyanya mengagetkan ku.
"Yep.. tapi yaudalah yaa.. gw harus belajar ngatasin sakit hati" aku berkilah.
"Apa hati yang tertutup luka tidak bisa lagi melihat indahnya cinta?" tanyanya lagi
"Luka? cinta?" tanyaku semakin bingung "bentar deh.. elo ceritanya mau menghibur ato mengejek gw? gw perlu tau, karena gw harus nyiapin hati"
":) aku hanya mau menghibur kamu" sahutnya
"Oke. Thx hahahaa.. ngobrol sama orang yang gak dikenal dan dihibur tentang patah hati adalah hal pertama yang gw butuhin saat ini" sekali lagi sahutku asal.
"Ivy...Dunia di balik bentengmu itu indah, indah karena cinta dan bunga-bunga yang bersemi. Jadi jangan biarkan tertutup luka."
Tiba-tiba aku tersentuh oleh kata-kata sederhana itu, "You make started to cry" kataku padanya.
"Sorry... i just want to make you smile, aku akan temani kamu malam ini sampai kamu tertutup kabut mimpi. Aku akan lakukan apa saja untuk buat kamu tersenyum."
"Kenapa? kenapa ingin buat aku tersenyum? Kamu kan gak kenal aku?"
"Haruskan aku kenal kamu untuk boleh membuat kamu tersenyum. Aku gak bisa membiarkan seorang gadis ditutupin mendung. Kamu tahu? Bintang-bintang dari tempatku berasal redup karena mendungmu."
"Siapa kamu??? Kamu datang menanyakan tanya yang kucari jawabnya. Kamu datang, seolah tahu tangisku. Siapa kamu?" tanyaku semakin bingung
"Aku Doni, sudah kukenalkan namaku kemarin. Aku hanya temanmu, yang ingin membuatmu berhenti menangis. Aku hanya orang yang mencari bulan dari kehangatan malam."
"Tapi aku bukan bulan. Dan kamu bicara seperti kamu ini pernyair. Apa kamu penyair?"
"Aku bukan penyair, aku bukan siapa-siapa. Dan jangan jadi bulan, karena aku tak pernah bisa jadi bintang untuk temani kamu"
Aku termenung, bingung, bahagia, sedih, sakit dan entah apa lagi yang harus kurasakan.
"Mau kamu berbagi apa yang menghapus senyum di wajahmu? Kalau dengan begitu aku dapat menghapus air matamu?" tanya lagi setelah bermenit-menit kami lalui dalam diam. Entah apa yang mendorongku untuk bicara.
"Dari kecil aku hidup dalam benteng yang dibangun dengan tekad yang kuat, dari kecil aku belajar tahu bahwa hidup itu perang dan kita harus punya pertahanan untuk menang. Aku pun berhasil hidup tanpa pendamping. Apalagi seorang lelaki, sejak aku tahu perbedaan antara laki-laki dan perempuan, aku tahu bahwa aku tidak butuh mereka untuk melengkapi hidupku. Yang aku tahu semua makhluk berpenis itu brengsek. Tapi lalu suatu senja, sang putra langit datang tersenyum padaku. Memasuki benteng pertahanan yang entah berapa belas tahun kubangun. Dia meyakinkan aku bahwa dunia ini indah dibalik benteng itu. Dan dengan kepercayaan padanya, aku merubuhkan benteng hatiku lapis demi lapis. Dan percaya bahwa cinta itu indah di luar sana. Tapi lalu dia pergi. Aku kesakitan, Don.. lalu fakta yang kutahu, bahwa dia tidak pernah mencintaiku seperti dia mencintai perempuan sebelum aku. Bahwa cintanya tidak akan pernah untukku.."
Dia termenung lama sekali... sehingga awalnya kupikir dia telah pergi.
"Jangan menangisi laki-laki bodoh yang tega menghapus senyum dari wajahmu, Vy. Maaf mungkin aku kasar. Tapi laki-laki itu adalah laki-laki beruntung yang bodoh. Beruntung karena dicintai, tapi sangat bodoh melepaskan itu." jawabnya tiba-tiba.
"Dia tidak bodoh. Dia hanya memilih. Dan ia memilih pilihan yang menurutnya benar"
"Apa yang bisa aku lakukan untuk mengembalikan senyummu lagi?"
"Tidak ada.. aku sudah sangat bahagia kamu mau aku ajak bercerita"
"Jangan nangis lagi ya... hehehehe" sahutnya lalu lebih santai.
"Aku TIDAK menangis!"
"Kamu anak paling kecil ya?" tanyanya
"BUkan.. aku sulung malah.. kenapa memang?"
"hehehe masih kelihatan cengengnya.. :)"
" AKu enggak nangis! Aku ga cengeng! Aku gak pernah benar-benar menangis lagi sejak usiaku 8 tahun. Sejak ayah dan ibuku berpisah, aku belajar untuk menangis dalam diam di dalam lemari, karena kalau aku menangis, mamaku sedih."
"Sorry.. aku gak maksud bilang kamu cengeng. Aku bangga sama kamu, Ivy..."
Kami berdua diam tak tahu harus apa.
"Don, Aku boleh minta sesuatu?"
"Apa saja..."
"Aku mau dengar suara kamu.. supaya aku tahu kamu nyata. Aku bahkan takut aku ini gila dan semua percakapan ini hanya ada di kepalaku saja!"
"Aku masih menginjak bumi, artinya aku nyata kan?.... Suaraku tidak merdu, nanti kamu mimpi buruh mendengar suaraku.. :) "
"Aku tidak peduli suaramu jelek, aku hanya ingin dengar"
"Nanti ya.. ada waktunya.. aku belum siap. Melihat senyummu saja aku gemetar. Bagaimana aku mendengar suaramu? Aku bisa diam seribu bahasa."
"Tapi kamu kan belum pernah lihat senyumku"
"Kamu tahu? nenek moyangku bilang, wanita adalah makhluk paling indah yang ada di muka bumi. Dan itu benar"
"Bukan wanita yang paling indah di muka bumi, tapi hatinya." sahutku gusar
"Dan tahu tidak? Bahkan malaikat dan peri-peri pun tidak secantik itu"
"Memang kamu pernah lihat malaikat atau peri?"
"Belum, aku belum pernah melihat mereka. Tapi aku sedang memandangi senyum seorang gadis di layarku. Dan hatinya begitu indah, aku percaya dia lebih indah dari malaikat dan para peri"
"Kamu gombal. hahahahaha" sahutku merasa konyol. "Aku jelek.. aku tidak secantik para peri dan malaikat."
"Entah mengapa aku gak bisa percaya kamu. Dan aku gak berusaha untuk gombal, aku pun tidak berusaha untuk membuatmu percaya aku"
"Kamu aneh banget sih. hahahaha kamu lucu."
"Lucu? Lumayan cupu??"
"hahahahahaha kamu membuat aku banyak tertawa malam ini, Don"
"Berarti selesai tugasku. Tetap tersenyum seperti mentari, Ivy"
"Makasih ya.. aku pun gak pernah bertemu malaikat atau peri, tapi aku yakin salah satunya sedang duduk mengetik ucapannya di depan layar"
"Oh no.. aku bukan malaikat.. aku tidak pantas untuk itu"
" :) " entah apalagi yang harus kuketik.
"Sudah.. ayo tidur... besok kamu kesiangan.. memang kamu tidak ngantuk?"
"Besok aku libur.. dan aku pun gak akan bisa tidur dengan pikiran yang riwet begini"
"Sudah ya Ivy, aku masih harus lanjutkan besok"
"Okay.. selamat tidur ya.. mimpi indah"
"kamu juga.. jangan nangis lagi ya. Tetap tersenyum. Janji?"
"Iya.. iya.. janji... tersenyum seperti mentari kan?"
"Iya.. seperti mentari..."
"Udah sana bobo! Aku gak mau kamu telat karena aku."
"berat..."
"Apanya berat??"
"Berat untuk meninggalkan kamu malam ini"
" :) aku disini kok setiap malam, bahkan setiap hari dan setiap waktu. Aku harap kamu bisa menjadi nyata bukan saja ketika bulan bersinar"
"Aku hanya ingin jadi udara bagi setiap orang yang membutuhkan aku."
"Selamat tidur, Doni."
"Selamat tidur juga, berjanjilah untuk mimpi indah"
Klik... aku mematikan semua perangkat agar aku bisa hilang dari semua kegilaan.

Siapa sih dia? Orang sinting mana yang datang dan membawa morfin sehingga menghentikan tangisku semalam. Aku terbangun pagi ini dan merasa sangat.. sangaaat sakit. Lalu aku duduk menangis, kebetulan rumahku kosong. Kutelpon seorang sahabatku dan menangis sejadi-jadinya. Rasa sakit yang seolah hilang semu semalam, kini tiba-tiba menusuk-nusuk dadaku, badanku, tulangku. Dimana kamu pembawa morfin? Aku mau morfin itu, supaya aku tenang lagi. Tapi lalu aku berdoa, Tuhan, jika memang ini rasa sakit yang harus kuhadapi, biarkan aku menghadapinya, Tuhan. Biar ini berlalu cepat. Dan aku pun menangis lama sekali di lantai sambil memandangi tubuhku yang terisak-isak dari kaca.

Tapi lalu aku ingat, saat menangis, kita harus tahu kapan kita harus berhenti. Dan aku pun bangkit dan mulai menulis. Sambil memikirkan, siapa malaikat yang datang tadi malam.



Bromo..I'm in Love

Thursday, December 25, 2008


Probolinggo, 27 Desember 2008. 3.40 AM

Bromo sayang, kamu pasti sedang lelap saat ini. Aku gak mau bangunin kamu, tapi aku Cuma ingin bilang, langitnya indah sekali malam ini. Aku pengen banget kamu bisa disini ngeliat indahnya hamparan bintang yang bersinar terang sekali. Seperti mata kamu yang selalu membuatku jatuh cinta.
Percaya gak? Malam ini, pertama dalam hidupku yang kulewatkan sebagian besarnya di kota besar, aku melihat milky way! Galaksi kita… aku mengerti kenapa itu disebut tumpahan susu… karena memang bintang-bintangnya indah begitu banyak seperti tumpah dari dada seorang ibu yang tulus memberikan napas kehidupan. Indah sekali.
Aku juga bisa melihat merkurius di bagian selatannya, karena fajar akan segera merekah. Sehingga bintang-bintang pun perlahan berlalu ke selatan. Aku naik semakin tinggi. Udaranya dingin.. tapi tenang.. aku bawa jaket kok. Gak kaya kamu yang sering lupa pake jaket, padahal di sana dingin.
Rasanya gak bosan-bosan melihat langit yang hampir luruh. Kanan kiriku masih gelap gulita, tapi aku bisa melihat matamu dalam kegelapan. Mengamati aku ketika aku akhirnya sedikit terlelap karena lelah.
Kamu tau? Jika satu bintang di atas sana bisa aku bawa pulang. Aku bawakan untuk kamu… disana.. bisa gak kamu melihat apa yang kulihat sekarang? Hamparan bintang terindah yang pernah aku lihat seumur hidupku. Aku berdoa… Tuhan bawa aku ke puncak Bromo, tunjukkan aku lagi kebesaranMu. Bintang ini belum cukup membuatku puas… dan aku pun terlelap ketika lautan bintang itu mulai tertutup cemara-cemara rapat ketika kami mulai memasuki cemoro lawang…pintu cemara yang menyembunyikan bromo di balik tirainya, menyiapkan kejutan yang indah untuk aku.

Bromo, 27 Desember 2008 4.47 AM

Kamu juga pasti masih tidur sekarang, aku baru saja terbangun lagi.. hamparan bintang telah lenyap di telan katulistiwa. Masih gelap, tapi semburat-semburat biru mulai muncul dari timur. Aku baru saja terjaga, kami berada di terminal terakhir sekarang.
Aku dalam perjalanan ke puncak Bromo sekarang. Beberapa makelar menawari ayahku Jeep. Tadinya aku mau naik ke Pananjakan, tapi jaraknya jauh sekali.. bisa-bisa kami ketinggalan fajar. Kata mereka, fajar di Bromo adalah hal yang sangat indah. Dari sana kami akan bisa juga melihat Mahameru yang sedang gonjang-ganjing marah. Beberapa hari ini Semeru mulai kentut-kentut, TV-TV mulai menyiarkan siaganya.
Akhirnya kami pun naik Jeep ke kaki Bromo. Disana aku disambut kuda-kuda. Kamu tau? Aku merasa seperti putri Mongolia di padang pasir… Menunggang kuda aku menapak padang pasir dan menanjak ke anak tangga kaki Bromo. Aku harus cepat-cepat, aku ingin melihat sang putra.

Bromo, 27 Desember 2008 5.25 AM

Sayang, kini aku berada di puncak Bromo. Tangganya tinggi sekali, tapi yang paling membuat menderita adalah bau asap belerang yang menyiksa hidung dan mata. Aku berusaha tahan, tapi aku ingin muntah sekali. Kututup mulut dan hidungku dengan selendang pashmina, berharap anak tangga ini akan segera berakhir.
Dia atas sini pemandangannya indah, aku bisa melihat samudra pasir yang terhampar di bawahku. Aku juga bisa menyanding Mahameru yang kadang berasap. Indaaaaaah sekali, aku melihat sebuah pura hindu disana, tahukah kamu sayang? Masyarakat disini adalah mayoritas hindu, seperti hindu di Bali. Mereka masyarakat pelarian dari zaman Majapahit dulu. Aku baru tau fakta itu…
Kawah Bromo mengeluarkan asap belerang yang menyiksa, aku mengambil beberapa foto ke dalam kawah. Tiba-tiba orang-orang berteriak ‘itu dia..itu dia..’ Ternyata sang putra yang ditunggu-tunggu akhirnya hadir juga. Sang putra Fajar, Mentari yang lahir dari celah antara kawah Bromo dan barisan Semeru di ufuk sana.
Sudahkah aku pernah ceritakan padamu? Aku punya kedekatan khusus dengan sang Putra… Mentari yang menjadi lambang kekuatan semesta. Bagiku, sang putra adalah inspirasi. Akan kuceritakan nanti lebih banyak tentang Surya Sang Putra ya... tapi kini aku harus bergegas, kami akan pergi ke samudra pasir. Mendengarkan pasir membisikkan pesan-pesan dari dunia angin yang tak kukenal.

Samudera Pasir , 27 Desember 2008 7.00 AM

Samudera pasir.. aku tau sekarang kenapa disebut samudera… padang pasirnya seperti tak berujung, bergelombang-gelombang ditiup angin. Aku berjalan bertelanjang kaki, merasakan kasar pasir yang menggelitik telapak kakiku. Langit biru dengan lukisan tanganNya tergambar disana dengan tinta putih, awan-awan yang ditorehkan dengan kuas surgawi.. Seandainya kamu disini… aku rindu kamu.. dan aku membiarkan bisikkanku ditiup dibawa angin yang berhembus. Membawa rinduku melintas daratan jawa.. menyusup ke dalam mimpimu yang lelap.
Aku mencari batang-batangan keras, dan berjongkok. Aku menuliskan namamu di samudera itu. Dibawa angin berhembus, pasir-pasir tertiup angin. Aku tahu, seperti pasir-pasir ini yang dimainkan angin, kita juga akan berubah. Aku akan berubah. Mungkin segalanya akan terasa berbeda besok, ya.. secepat itu berubah. Seperti samudera pasir ini yang dengan cepat sekali berubah, meniupkan namamu… tapi ajaib! Kamu harus melihatnya sayang… ketika angina itu berhembus.. pasir-pasir memang beterbangan, tetapi namamu masih terlihat cukup jelas disana.. ternyata aku menorehkannya lebih dalam dari pada apa yang kumaksud. Sehingga namamu itu akan terus disana, sampai mungkin nanti ketika aku telah melalui samudera pasir ini.
Aku harap bagitupun di hatiku. Aku harap, butuh lebih dari sekedar hembusan angin dan butuh lebih dari sekedar waktu yang singkat untuk menghapusmu dariku…

Savanna – Kaki Bromo, 27 Desember 2008 8.04 AM

Kami akan turun ke Malang, ayahku dapat informasi untuk turun melintas savanna di kaki gunung Bromo untuk turun ke desa Tumpang. Tuhanku! Indah sekali savannannya.. ternyata kita gak perlu jauh-jauh ke new zealand atau swiss untuk lihat semua pemandangan ini. Cukup di Bromo.. indah sekali pdang rumputnya, ditumbuhi pakis-pakis dengan warna padang yang khas. Jalan setapak yang berliku-liku ditutup batu-batu persegi yang kekuningan.
Bukit-bukit yang berbaris rapih, beberapa bagiannya disorot mentari pagi yang hangat, menghadirkan celah-celah kehijauan terang. Ilalang menari-nari begitu gemulai, searah kemana angin berhembus. Aku memandang lereng-lereng yang hijau diselimuti rumput dan pakis. Kamu harus liat ini, rajutan Ilahi!
Aku lihat dari dekat Semeru mengeluarkan gasnya ke angkasa, bergelung-gelung menjadi awan putih pekat yang ketika bebas langsung menjadi dirinya sendiri, jujur menjadi bentuk-bentuk yang mereka ingini. Tanpa peduli pada bumi.
Savanna ini adalah pemandangan terindah yang pernah kulihat di atas bumi. Indaaaaaah sekali. Hanya padang yang tenang dan sepi, tapi itu lebih membuatkan bergetar daripada kutatap menara angkuh Eiffel di Perancis sana atau megahnya Istana musim panas Raja di Brighton sana.. Hanya kelapangan sebuah padang yang seolah tanpa pagar, aku merasa lepas, jiwaku mengembara jauh mendahului SUV ayahku yang meluncur santai. Aku melihat jauhnya lembah-lembah dan bukit-bukit yang menyapa ramah. Ingin aku berteriak melepas segala rindu, melepas jiwaku terbang tinggi. Aku membuka jendela lebar-lebar, menyenderkan kepalaku di kaca mobil dan memandang padang yang seakan tak bertepi. Lalu aku tertidur...lelap sekali. Sungguh nyaman terlelap di buaian bumi yang hijau.. dan jiwaku yang lepas menari-nari di padang itu... aku tidur tanpa mimpi.



Si Senja


Sunday, December 21, 2008


Seperti senja yang datang dalam diam. Tiba-tiba menarik mentari turun dan lalu seketika bumi gelap. Begitulah.. irama sepi yang sama membayangi kehidupanku. Sunyi sampai telingaku bising. Entah siapa sebenarnya aku menanti. Beribu kali kutanya, beribu kali tak dapat kujawab.

Hari ini kubaca sebuah tulisan seorang sahabat. Lelah katanya, ia ingin berhenti mencari, dan berbalik. Letih katanya, tidak kunjung selesai mencari jawab yang tak terjawab. Ratapnya pada Dia, ingin ia bersandar sekali saja, duduk diam di kakiNya, sekali ini. Karena begitu lelah dirinya diombang-ambing nasib yang tak tentu dan tak mau dijawab.

Aku sendiri tak berbeda jauh dengannya. Bergulat mencari jawab yang tak kumengerti. Mencari sebuah wujud, yang tak tau wujudya apa. Bagaimana dapat kucari jika begitu? Sampai kapan akan kutemukan?

Aku mencari belahan jiwa yang dapat membuatku mengerti arti kesunyian. Dan dapat membuatku paham bahasa sepi. Aku mencari dia yang datang atas nama senja yang diam, namun darinya aku mengerti arti kegelapan yang turun. Aku mencari dia yang mengerti pikiran-pikiranku yang kelam. Yang memahami riuhnya suara dalam kepalaku dan menarikku dari kebisingan itu, menarikku ke dunianya yang sepi. Namun sepi yang menceritakan kisah-kisah merdu dan lebih mudah dipahami daripada suara-suara sumbang dalamku.

Aku ingin dia yang dapat membantuku mendefinisikan arti-arti kata yang kucari. Membuat kamus kehidupan pribadi yang tertulis dengan tulisan-tulisan lentik. Namun siapa dia? Ribuan senja kutunggu dia datang. Tapi tak seorangpun datang bersama menelan mentari...

Aku jadi tergelitik mebaca sebuah tulisan milik seorang teman, katanya 'I love being alone, but i hate being lonelly!''

Sungguh ironis! tapi perlu diakui itu benar.. namun seperti sekarang ini. Aku pun bimbang.. apakah aku sendirian atau aku kesepian???

Perasaan


Sunday, December 14, 2008


Perasaan...
Mungkin perasaan adalah hal paling absurd yang ada di muka bumi. Perasaan menjadi kamuflase, atau mungkin topeng bagi orang-orang. Atau mungkin perasaan ditutup-tutupi dan dibungkam sehingga mati. Banyak orang hidup tanpa mengerti perasaannya sendiri. Tapi bagaimanapun juga, kita tau perasaan itu ada di sana. Seperti roh yang melayang-layang di dalam tubuh kita, tanpa tahu sesungguhnya di bagian tubuh yang mana yang kita rasakan perasaan itu.

Kadang perasaan itu dituduh pengecut, dituduh tanda kelemahan. Seperti kebanyakan dari kita yang mengganggap perasaan adalah kelemahan. Dan tahukah kawan, aku termasuk orang-orang picik itu. Yang mengganggap bahwa perasaan adalah sumber kelemahan.
Seperti sekarang ini. Yang aku tau, aku sedih. Sedih sekali. Tapi tidak bisa diungkap, tidak boleh. Perasaan itu tidak bisa diubah, tapi terasa ada. Seperti yang kurasakan saat ini...

Beberapa kali kucoba untuk mengungkapkan itu, bahkan hanya dalam kepalaku saja. Mencoba menelaah perasaan apa yang sedang kurasakan. Tapi bahkan diriku, logiku, pikiranku menentangnya. Dan dengan keji memendamnya, dibunuh dengan kejam. Seberapapun dicoba, kadang perasaan itu lebih kuat dari pembunuhnya, diriku sendiri.

Seperti ada dua sisi dalam kepalaku, berkali-kali perasaan itu mencoba untuk menyuarakan keberadaannya. Dan lalu si logika dan si ego menentangnya, lalu mereka berkelahi sampai entah siapa yang menang, lebih sering kubiarkan mereka berkelahi sampai aku yang letih dan lalu jatuh tertidur tanpa mimpi. Namun pikiran yang belum ikut tidur.

Tapi terkadang aku begitu berat, karena perkelahian tak kunjung reda. Lalu kadang aku menangis, menangis sejadi-jadinya di kamarku yang kecil. Di sudut yang tertutup tirai-tirai kerang. Aku menangis untuk semua rasa yang tumpah, yang sering kali dan rasanya hampir setiap kali, akupun tidak bisa mengerti perasaan macam apa itu. Dan saat itu baik pikiran, logika, ego ataupun perasaan tidak ada yang menang. Aku memenangkan keduanya, membiarkan tangisku untuk sang perasaan, tapi tidak menerimanya di kepalaku untuk memuaskan logika dan egoku. Maka aku hanya menangis, lalu sekali jatuh tertidur tanpa mimpi.

Tapi siang kemarin aku mencoba sesuatu yang baru. Hari itu perasaanku berkecamuk, seperti minta diakui bahwa ia ada. Maka siang itu kututup pintu rumahku yang kosong dan berbaring menatap langit-langit yang penuh lampu warna-warni. Kupastikan tak ada yang datang, kukunci pintu kamar dan aku membiarkan perasaan itu mengambil alih tubuhku. Aku dapat merasakannya keluar, merembas dari atas bagian perutku, ke dada, lalu ke lenganku, lalu ke seluruh tubuh, hingga jari-jariku. Rasanya seperti disuntikkan racun arsenik yang menyebar perlahan ke seluruh tubuh, kehangatannya mengalir dan saat itu aku benar-benar tau dia ada.

Lalu saat racun itu sampai di kepalaku, dipalang angkuh oleh pikiranku. Tapi begitu kuatnya perasaan ini. Sampai bahkan sekali ini logiku menurut dan menerima. Aku mengakui semuanya. Perasaanku, kesedihanku, ketakutanku, kekecewaanku... rasa syukurku. Kepala dan hatiku berdamai, untuk pertama kalinya mereka saling mengerti dan memberikan definisi-definisi untuk setiap perasaan itu sendiri.

Aku ingat...saat sang logika berkata 'STOP merasakan. Itu hanya sebuah perasaan yang akan hilang cepat atau lambat. Kamu lemah! sangat lemah! STOP merasakannya. Mana kamu yang kuat selama ini? Apa kini kamu memilih untuk berubah menjadi perempuan lemah tolol yang cengeng?". Tapi lalu aku mendengar diriku sendiri berkata, sesuatu yang membuat sang logika menerimanya, "Aku ingin dapat menghargai perasaan orang lain, seperti setiap pelajaran moral yang selalu diajarkan. Tapi aku mau menghargai perasaanKU sendiri sebelum aku menghargai milik orang lain. Ini memang memalukan, lemah, tolol. Tapi ini perasaanKU dan aku mau menghargainya."

Maka untuk pertama kalinya aku menangis, menangis karena kali ini aku mengerti mengapa aku menangis. Menangis untuk setiap perasaan yang kurasakan dan aku mengerti. Menangis karena perasaan tak berharga yang kurasakan, menangis karena merasa tak diingini siapapun, menangis karena merasa kesepian, menangis karena merasa dia yang tak mungkin datang, menangis untuk merasa tidak dapat mengerti apa yang salah denganku. Dan menangis untuk segala yang kurasakan tentang dia dan dia dan dia yang lain.

Setelah itu perasaan ku mengalah. Lalu ia bergantian dengan logikaku yang mengambil alih untuk tetap berpikir jernih. Mereka berdua berdamai. Membiarkan aku mengambil sedikit waktu merasakan air mata yan mengering di pipiku. Lalu aku tersenyum dan jatuh tertidur tanpa mimpi. Dan percayalah kawan, rasanya jauh lebih ringan daripada yang dapat kupikir dapat kurasakan.

GLOBAL DAY OF ACTION!

Saturday, December 6, 2008




Kita ini muda dan berani!
Itu kata yang terus membakar, seperti bensin yang menyulut lagi api yang hampir padam. Begitulah kata-kata itu terus menyulut semangat di hatiku. Terus, setiap kali rasanya aku hampir gagal. Memang mungkin kata-kata itu idealis, sangat idealis. Mereka akan bilang, aaah kalian memang muda, maka kalian dipandang sebelah mata. Kalian memang berani, tapi itu namanya berani mati konyol tanpa pengalaman. Persetan kata mereka, kami tetap maju.

Kata Dhonny, Idealisme adalah satu-satunya kemewahan terakhir yang dapat dinikmati generasi muda ini. SETUJU! kami hidup darinya yang terus mengisi jiwa-jiwa kami sampai yang terdalam sambil terus memuaskan imajinasi-imajinasi kami dalam mimpi. Tapi bukankah pemimpi adalah orang paling bahagia di dunia?

Kami bilang, KAMI AKAN MENGUBAH DUNIA! Melukis sesuatu yang baik dan membuat perubahan untuk masa depan. Kamu bilang, kami mimpi.
Kami bilang, KAMI AKAN MAJU! dengan atau tanpa seribu orang! Kamu bilang, kami bodoh!
Kami bilang, KAMI LAKUKAN APAPUN YANG TERJADI! Kamu bilang, kami cari mati, gegabah, keras kepala.
Kami bilang, KAMI YAKIN! dan kamu diam ketika hal itu terjadi.


Hari ini, tanggal 6 Desember 2008. Katanya, ribuan anak muda di belahan dunia lainpun ikut bersuara. Mengangkat satu visi dan suara untuk iklim, untuk bumi, untuk masa depan. Buatku sendiri, jumlah berapa banyak orang disana yang berteriak itu tidak penting. Sekalipun, aku harus berdiri sendiri di lapangan itu, aku pun mau. Yang kami perjuangkan adalah untuk kami sendiri. Kita melukiskan yang kita ingini untuk masa depan kita.

Hari ini, ratusan anak muda berkumpul di HI, melukiskan masa depan mereka dengan ekspresi mereka pada lukisan wajah. Lalu kami berjalan di tengah padatnya kota, meneriakkan aspirasi kami sebagai pemilik bumi, supaya diperhatikan (yang mereka bilang biang macet). Kami membentuk formasi-formasi huruf dengan tubuh kami 'AKSI UNTUK IKLIM' diambil gambar dari monas. Ratusan dari kami terpanggang matahari, terbakar panasnya jakarta. Tapi juga terbakar oleh semangat yang saling ditularkan lewat keringat-keringat kami.

ITU KAMI. Pasukan Merah, yang telah membuat Jakarta Merah pagi ini.
ITU KAMI. Yang mungkin masih terlalu muda, tapi tak pernah terlalu muda untuk bersuara
ITU KAMI. Yang menggugat, menuntut untuk masa depan yang lebih baik
ITU KAMI. Yang terus maju dalam merah.
ITU KAMI. ITU KAMI. ITU KAMI. yang malam ini tidur dalam senyum, pemimpi yang terus bermimpi, karena bangsa dan bumi ini memang tak memiliki apapun untuk bertahan, kecuali keberanian untuk TERUS BERMIMPI!
undefined



Bincang-Bincang Nasi Uduk


Saturday, November 29, 2008



D : Eh, gimana jadinya? apa kabar sama si itu?
K : si itu? Ooooh, ya gitu.. masih.. gw kan gak secara fisik, cuma perasaan doang
D : IDIH lo mah gitu.. udah aja sih, putusin aja cewe lo yang sekarang. Kenapa emangnya? orang belom kawin kok. kalo emang lo sukanya sama yang itu.. daripada cewe lo yang sekarang kesian, dicuekin.
K : gw gak bakal lah mutusin cewe gw.. Gak mungkin gw
D : idih kenapa?? iiih udah pernah lu hamilin yaaa? hahahah
K : Enak aje. kenapa juga tiap kali cowo gak mau mutusin cewe, dibilang udah pernah ngapa-ngapain. Gak, pokoknya gak mau.. ini masalah tanggung jawab moril
D : aneh lo. gilak kalo semua cowo kaya elo..
K : kenapa?? menurut lo gw gimana?
D : BEGO
K : kenapa??
D: karena, sekarang gini.. lo tanggung jawab apa sama dia? kawin juga belom, lo nanggung diri sendiri lo aja juga baru-baru bisanya, mau sok-sok nanggung orang lain. Kalo semua cowo kaya elo, itu menjawab pertanyaan kenapa kalo pacaran tuh yang ada pasti cewe yang mutusin. Karena cowo tuh GAK BERANI mutusin cewenya, sampe akhirnya cewenya begah dan mutusin tuh cowo..
K : Bukan gitu... gw juga waktu SMA sering mutusin cewe.. hahaha. tapi ini masalah gw mau tanggung jawab untuk sabar dan menanti apa yang udah gw tunggu-tunggu... masa kalo lo punya cowo, terus dia sakit gitu ato kenapa, lo tinggalin gitu aja?
D : yaaa, kalo udah gak cinta?
K : apa sih cinta itu menurut elo?
D : gak tau, makanya gw buat tulisan kalau cinta itu..
K : emang gak ada yang tau wujud cinta itu apa.. dan jangan coba mencari wujud dari cinta itu. karena ketika lo mendapatkan wujud dari cinta, lo akan berhenti merasakan jutaan perasaan yang muncul ketika lu jatuh cinta ato putus cinta. Dan lo bakalan bosen banget... justru bagian terindah dari hidup itu kan kejutannya. Kejutan untuk merasa bahagia dan sedih... itu dia art of life...
D : hahaha.. iya sih. tapi kan sedih juga kalo mencintai bertepuk sebelah tangan
K : Ketika lo mencintai seseorang dan bisa dengan tulus tanpa mengharapkan balasan untuk dicintai.. artinya lo udah mencintai diri lu lebih dulu dari semuanya.. Tapi ketika lo ingin untuk bales dicintai seseorang, lo gak akan bisa mencintai diri elo sendiri dan lingkungan lo.
D : ha?? maksudnya...
K : dasar bocah! jadi gini, maksudnya... ketika lo mencintai seseorang dan bisa tulus. artinya lo tuh udah punya cukup banyak cinta untuk dibagikan ke lingkungan elo dan tentu untuk diri lo sendiri. Tapi kalo lo masih ngarep untuk dicintai balik, artinya lo masih kurang dong?? Jadi sebenernya ketika lo bisa mencintai dengan tulus, lo udah di level yang lebih tinggi dari mencintai dan dicintai.
D : Tapi emang menurut lo butuh yaa, ngomongin cinta di umur gw nih??? SMA cuy! perasaan tua banget gw ngomongin cintaa, monyet kaleee..
K : lho, apa salahnya belajar mencintai dan nanti kalo lo punya hubungan, belajar ngejalanin hubungan itu dengan serius..tapi yaaa santai aja. serius, tapi jangan dianggep serius. Kan jalan lo masih panjang, de.
D : tapi masalahnya yaaa, di sepantaran gw tuh kayanya masih gak ngerti deh definisi itu.. mereka tuh pacaran aneh...
K : lo sadar gak sih sebenernya cinta itu luas banget. Tapi masyrakat kita itu udah di indoktrinasi oleh sebuah sistem kapitalisme, yang sudah membingkai secara paten bahwa cinta itu gw sama elo. Cewe-cowo. Mana cinta pada kemiskinan, cinta pada kebenaran, cinta pada orang tua, cinta pada sahabat, cinta pada alam, cinta pada keadilan. Semua itu dihapus dan digantikan sama cinta eros yang dangkal banget. Makanya kenapa tiap hari valentine, kita liat pink-pink, lope-lope, coklat, mawar... kita tuh udah dibingkai bahwa cinta itu harus membeli dengan mahal. Ya itu beli coklat mahal-mahal, hadiah bantal hati mahal...
D : tapi ya, kayanya temen-temen sepantaran gw masih dalam bingkai itu deh?
K : Lho, itu dia... ketika lo mencintai seseorang. terus misalnya lo pacaran dan lo mempengaruhi dia untuk keluar dari bingkai kapitalisme itu dan mengajaknya menjadi sesuatu yang lebih dalam. Itu artinya lo benar-benar mencintai, walaupun lo tuh masih SMA, pacaran juga pacaran monyet. Tapi apa salahnya belajar ngejalanin itu semua dari lo remaja. Jadi nanti ketika lo umur 20an, masa transisi tuh kan. Lo udah berhenti mencari lagi diri lu siapa...
D : iih, males banget pacaran.. tapi itu seperti jadi tuntutan sosial tau gak?
K : kalo gw sih bilang, ikutin kata hati elo. Lo gak mau pacaran, fuck up kata orang dan tuntutan sosial, cuek aja. Tapi sebaliknya, kalo lo mau ya lakuin aja.
D : Heh! gw tuh bukan model cewe klemar-klemer yang bisa mulai sama cowo tau gak. Ih NEHI! hahah, lagian mereka tuh ceritanya takut kalo jadi cowo gw. Takut gak bisa nyaingin gw ngomong, takut gw gak ada waktu buat mereka saking sibuknya, takut dicuekin, takut disuruh buang sampah pada tempatnya, takut DISURUH IKUT AKSI GREENPEACE!! hahahaha BUSET!
K : yaaa, kan elo yang nyiptain image lo sendiri.
D : gw gak pernah nyiptain image apapun...
K : tapi image itu terbentuk dengan sendirinya. Dan kalo memang itu elo. jangan berubah untuk orang lain. Lo nyaman gak dengan lo yang sekarang?
D : gak ada masalah..
K : yasudah, gak ada alasan untuk berubah kalo gitu. Itu kan cuma kekhawatiran temen-temen cowo lo yang goblok aja ngeliat lo sebagai sosok cewe yang beda dari yang lain..
D : yaaa, tapi entar gw gak punya-punya cowo dong??
K : lah, kata lo gak penting?
D : emang sih gak penting, banyak gitu lho yang harus gw pikirkan daripada mahkluk berpenis, itu tuh kepentingan nomor sekian.
K : hahaha.. lo lagi bergejolak ya?
D : astaga! gejolak kaula muda? jijik bahasa elo!
K : Cewe model kaya elo nih.. suatu saat akan ketemu sama cowo yang biasa aja, gak se-wah yang lo bayangkang, gak sepintar yang lo inginkan, tapi bikin lo belingsatan.. Dan saat itu lo akan terpukul... kalau gak semua bisa didapet dengan power dan karisma elo...
D : hahaha.. okey. Yang penting nyambung aja ama gw. hahahaha
K : lo tau ceritanya Socrates sama Plato gak?
D : Kan Plato muridnya Socrates dan Socrates gak pernah menuliskan apapun juga dalam hidupnya. Plato muridnya lah yang menuliskan semua pikirannya.
K : iya, nah suatu saat Plato nanya ke Socrates, Cinta itu apa? Socrates nyuruh si Plato jalan ke hutan, carilah ranting yang menurutmu paling indah dan bawalah kesini. Si Plato masuk tuh ke dalam hutan.. setelah sekian lama Plato balik ke Socrates tanpa membawa apapun. Socrates tanya kenapa kamu tidak membawa apapun juga? Plato bilang, tadi aku menemukan ranting yang aku anggap bagus, tapi aku berpikir, aku tak tau apa yang akan aku temui di depan ku, mungkin lebih bagus, jadi aku memutuskan untuk tidak membawa ranting itu. Aku terus berpikir begitu, sampai akhirnya aku tidak mendapatkan apa-apa..
D : Jadi cinta itu????????
K : Yang gw mau katakan, ketika lu terlalu banyak memilih dan mengharap, lo gak akan mendapatkan apa-apa dari sana... seperti ketika lo terlalu banyak memilih cinta. Cinta itu bukan kesempurnaan, tapi bagaimana menerima dalam kekurangan. Dan ketika suka berubah menjadi suka, suka berubah jadi sayang, sayang berubah jadi cinta, apa setelah itu?
D : Cinta berubah menjadi berhenti mencintai. Tapi ketika lo berhenti mencintai tapi lo memutuskan untuk tetap bersamanya walau tanpa cinta lagi.. menurut gw itu diatas cinta...
K : itu namanya tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menanti apa yang telah lo tunggu. Menjawab kan pertanyaan kenapa gw gak bakalan mutusin cewe gw untuk orang yang gw sayang?
D : ... (tersenyum)

Surat Buat Vasca


Thursday, November 27, 2008


Vasca, nanti kalo kamu baca surat ini. Aku lagi ada di awan. Aku gak mau ngeliat kamu sedih, apalagi sampe nangis. Aku gak pergi ninggalin kamu kok. Aku cuma pulang duluan... nanti kalo kamu pulang, aku siapin Jus Alpukat kesukaan kamu dan aku beliin Ginger Crackers favorit kita.

Vasca, kalo kamu pulangnya masih lama. Aku akan sabar nungguin kamu. Mungkin nanti kalo kamu udah nenek-nenek atau mungkin juga besok kamu ikutan pulang? Aku tunggu ya...

Vasca, hidup ini indah, seperti yang selalu kamu bilang setiap pagi. Dan aku bersyukur punya kamu dalam hidupku. Kalau aku harus pulang cepet-cepet, itu pasti karena aku harus, bukan aku mau. Tapi aku ikhlas, seperti yang selalu kamu ajarin. Ikhlas... ikhlas...ikhlas... Jadi inget waktu kita debatin masalah receh buat pengemis anak kecil di lampu merah, jadi inget waktu si Rian ngibulin aku, jadi inget waktu aku tau apa yang akan terjadi. Kamu cuma bilang, belajar ikhlas ya...

Vasca, kalo aku boleh minta sesuatu sama Tuhan. Aku gak bakal minta dia nambahin umurku, gak minta supaya kepulangan ku diundur. Tapi aku mau minta satu hal. Aku mau minta supaya aku boleh sekali aja, ngeliat kamu ketawa lagi dan seperti waktu aku jatuh kepeleset dengan es krim di mukaku. Aku bahagia sekali denger tawa hantu kamu yang bikin sakit kepala. Kayanya udah ribuan taun deh aku gak denger itu dari seorang Vasca.

Vasca, kamu gadis tertangguh yang pernah aku kenal. Aku gak peduli apa kata mereka tentang kamu, tentang kita, tentang aku. Mereka gak kenal kamu seperti aku dan mereka gak kenal aku seperti kamu. Vasca, kalo nanti di sana aku ketemu banyak malaikat, aku akan ceritain tentang sahabatku yang terhebat sama mereka. Jamin! gak ada yang bisa ngalahin kamu main scrabble dan gak ada yang bisa ngalahin record kamu tidur seharian!

Vasca, ini surat bukan tentang perpisahan kita. Ini cuma kenang-kenangan singkat sebelum kita ketemu lagi. Aku gak minta kamu inget aku sampai kamu juga pulang. Tapi inget aku ya nanti kalo kita ketemu disana... Sampai saat kita bisa main lagi.

Vasca, aku pulang dulu ya... seperti kata kamu : ikhlas.

Aku sayang kamu,

Josh

***

Surat ini dari seorang anak umur16 tahun yang menderita sakit leukemia untuk sahabatnya. Hanya sekedar kontemplasi singkat. WOW dia menghadapi kematian bukan sebagai perpisahan, tapi saat pulang.. Harusnya kita masing-masing punya makna itu di dalam hati...

What a Life..

Friday, October 3, 2008


Hari ini lengan takdir membiarkan aku mengecap sedikit keindahan. sudah bergitu lama rasanya aku tidak merasakan kehangatan itu. Malam ini aku, ayah dan ibuku makan malam bersama di sebuah restoran, sungguh kebetulan yang tidak di sengaja. Tidak ada rencana, yang ada hanya takdir yang mengayun-ayun. Kami bertiga makan sambil memperbincangkan masalah-masalah hangat. Kadang diselingi canda dan tawa akan suatu yang lucu.

Aku berpikir.. seandainya.... ada orang lain yang memperhatikan kami. Akankah kami terlihat begitu bahagia, sempurna. Sebagai sebuah keluarga kecil dengan seorang anak gadis yang mulai tumbuh dewasa. Mesra dengan tawa dan ayah ibu utuh. Akankah ada gadis lain yang iri melihatku duduk di kursi itu? Menilai kami sebagai pribadi yang utuh.

Aku melihat diriku dari luar ruangan. Betapa kehidupan itukah yang dulu ku mimpikan? Ayah, Ibu, anak kesayangan semata mayang. Aku memang telah berhenti bermimpi dengan imajinasi-imajinasi kecil itu. Begitu pula ingatanku terhapus tentang bagaimana rasanya memiliki sebuah keluarga yang utuh.

Malam ini takdir memberiku sebuah hadiah penyejuk hati. Dibiarkannya aku berimajinasi seperti ketika ku kecil dulu. Dibiarkannya aku merasakan sekali lagi dalam hidupku. Apa rasanya memiliki sebuah keluarga yang utuh persis seperti apa yang kuimpikan. Oh... betapa aku bersyukur.. walau rasa itu hanya tertinggal hitungan menit. Cukup... cukup mengingatkan aku bahwa kehangatan yang berasal dari perapian keluarga itu masih nyata di muka bumi. Hanya saja tidak di rumahku...



Air dan Cinta

Friday, August 29, 2008

Jangan menggunakan kata cinta kalau tidak mengerti artinya. Cinta itu terlalu sakral untuk dipermainkan anak-anak macam kita. Cinta adalah ketika kita tidak lagi mempertanyakan apakah cinta membalasnya... dan aku.. aku bukan pengguna kata cinta.

Air mata itu, menetes dan jatuh. Kadang air mata itu adalah sumber kelegaan di dada, betapapun sakitnya betapapun terlihat lemahnya. Aku sendiri tidak lagi menangis sejak usia 8 tahun. Sejak kejadian yang merenggut segala rasa dariku. Tapi bukan berarti aku tidak pernah lagi meneteskan air mata.
Air mata itu bagian dari kekuatan dan keberanian. Keberanian untuk jujur terhadap perasaan dan kekuatan untuk berhenti menangis.

Hari ini kekosongan itu menunjukan wajahnya di depanku dan aku pun sadar, betapapun kebencian mengisi hatiku, tetap saja kekosongan itu menuntut sesuatu yang lebih harum. Tapi hari ini kejujuran memporak-pondakan pertahanan ku, jiwaku. Andai aku bisa leih jauh lagi berbohong dan masuk lebih kelam ke dunia itu. Akankah aku menemukan jalan pulang? Pulang dalam dekapmu?



I saw grey rainbow in your eye


Saturday, May 24, 2008


Darah ternyata tak cukup untuk melukiskan semuanya. Padahal begitu banyak torehan yang ku buat. Ternyata tidak cukup untuk meyakinkan diri aku memang tak pantas untuk dicintai. Abu-abu, kini segalanya terlihat begitu abu-abu. Seperti kabut menutup mataku. Tak bisa kupisahkan lagi antara mimpi dan napas. Seperti berjalan antara pelangi. Pelangi termuram yang kehilangan warnanya.

Air mata ternyata tak cukup untuk membasuh segalanya. Segalanya telah tertutup. Bahkan telingaku pun tuli dari segala jenis nada merdu. Dan hatiku terlalu sunyi di tengah ramainya hari.

Hidup dalam kesunyian memang menenangkan. Seperti obat yang kau pakai untuk tidur. Sungguh damai awalnya, namun sakit rasanya. Seperti torehan-torehan pisau yang mengiris kulitmu. Damai melihat darah meresap keluar dari garis halus yang jujur itu, tapi perih ketika kau membawanya tidur.

Kali ini hidup antara mimpi dan pelangi. Mimpi yang kehilangan kebenaran dan pelangi yang kehilangannya warna. Abu-abu.. segalanya terlihat muram dan sepi.

Baru Tak Lagi Baru

Wednesday, February 27, 2008

Hari sedang muram ketika kamu datang. Selesai menyambut hiruk-pikuk tahun baru yang penuh mimpi. Aku ingat pertama kali melihatmu. Khawatir dan cemas mewarnai wajahmu yang asing. Aku ingat mendengar suaramu, masih penuh lelah dan tidak antusias menyambut babak baru ini. Kupikir, masih belum sepenuhnya kamu menginjak tanah ini. Begitu pula, aku ingat kata pertamaku padamu. Perkenalan singkat yang terlalu terburu-buru.

Sudah berminggu-minggu berlalu dari masa itu. Hari kini tengah menangis hampir sepanjang hari. Satu-dua hari diselingi banjir. Aku pun tenggelam dalam hari-hariku sendiri.

Entah mengapa aku rindu siang-siang itu. Berbagi hal-hal kecil. Berusaha menularkan sedikit antusiasmeku terhadap hidup kepadamu. Diantara orang berlalu-lalang. Obrolan ringan yang sebenarnya dapat kudapat dimanapun.

Sepertinya hari-hari ini, kamu berubah. Setelah kedua telapakmu memijak sungguh-sungguh, bebas dari bayangan negri lain. Kulihat kamu menemukan teman duduk akhirnya. Kulihat putihmu mulai membaur dengan barisan yang lain. Kulihat bahkan kamu mulai bersama seseorang. Tentu saja sebagai teman, aku senang. Hanya aku rindu kamu yang baru itu. Yang terlihat mencolok dengan putihmu yang masih baru. Yang menjulang di barisan dan yang menanti di tengah mobil-mobil yang berderet rapi. Aku rindu kamu, teman baruku. Rindu saat kamu belum menjadi bagian dari kami.

hati, hujan, merah muda


Thursday, February 14, 2008

Hati. Apa yang lebih dalam dari hati manusia di dunia ini? Tak bisa terukur dalamnya, terlalu gelap untuk dapat ditebak. Manusia...katanya semua manusia punya hati... Tapi tidak semua berhati...

Hari ini tanggal merah muda. Hari ini dipenuhi coklat dan bunga. BUkan hanya untuk mereka yang sudah berpasangan, namun juga bagi mereka yang menanti cinta. Setiap orang pagi ini saling mengucapkan "Happy Valentine". Saling bertegur sapa hanya untuk tersenyum dan berbagi coklat dan permen. Valentine, berbagi kasih...

Bagiku sendiri Valentine tidak bermakna apapun juga. Hanya sebuah hari dengan tanggal yang mudah diingat karena setiap orang membicarakannya. Tak lebih. 14 febuari bagiku juga bukan artinya merah muda. Namun memang lebih banyak teman yang bawa bekal 'coklat' hari ini. Bukan pula bagiku bunga. Namun memang musim mawar, sehingga banyak sekali penjual bunga akhir-akhir ini. Tak lebih.

Menurutku, kasih tidak dibagikan berdasarkan hari. Juga tidak dilambangkan dengan coklat berbentuk hati yang lucu-lucu. Kasih itu tidak berwujud, namun terasa. Valentine bagiku seperti permainan teka-teki yang tak terjawab. Apa itu kasih? Apa itu cinta?... Hanya manusia yang mabuk cinta yang dapat menjawabnya...

By The River Piedra

Wednesday, February 13, 2008

undefinedBy The River Piedra I Sat Down and Wept... Di tepi sungai Piedra, aku duduk dan menangis...

judul bukunya menceritakan situasi yang dialami si tokoh, sekaligus penulis di buku itu. Pilar, seorang gadis yang pernah patah hati karena kehilangan cinta masa kecilnya. Ia tidak lagi percaya akan Tuhan dan menginginkan hidup yang teratur, normal dan tenang. Pilar seorang yang benci konfrontasi dan sesuatu yang baru. Ia tidak percaya kekuatan cinta. Juga menolak untuk percaya pada cintanya.

Suatu hari ia bertemu lagi dengan cinta kecilnya dulu. Lelaki ini, sekarang telah menjadi calon imam di seminari. Cinta pertamanya dulu kini telah memilih untuk menjadi orang religius yang memiliki karunia untuk menyembuhkan orang sakit. Pilar pun tidak lagi mengharapkan cintanya itu. Namun tak diduga, Ia mengatakan bahwa ia mencintai Pilar sejak mereka kecil dulu.

Dalam perjalanan beberapa hari mengelilingi desa-desa kecil di Spanyol dan Perancis. Perjalanan ini mengubah hidup mereka selamanya. Pilar akhirnya menemukan imannya kembali. dan yang paling menggunggah, laki-laki ini membuat keputusan terbesar dalam hidupnya. Cinta mereka dihidupkan kembali dalam perjalan itu. Ketika sebuah pilihan antara panggilan hidup dan cinta sejati harus dikorbankan. Mana yang akan mereka ambil?

Paulo Coelho menggambarkan kekuatan cinta yang murni. Membuat saya bisa percaya cinta untuk beberapa jam larut dalam bukunya. Gambaran tentang cinta yang bukan karena napsu belaka, namun karena kasih yang dari hati. Di buku itu, dilemma sang tokoh akan hidup melayani Tuhan, atau melayani Tuhan bersama orang yang dicintainya. Walau memang bukan pilihan yang mudah, yang harus mengorbankan sesuatu yang sangat besar dan menyakitkan.

Kata orang sungai Piedra begitu dingin, sehingga apapun yang masuk ke dalamnya, berubah menjadi bebatuan. Seperti Pilar yang melemparkan segala kesedihannya ke dalam sungai supaya menjadi batu dan mati. Lelaki itu memang membuat Pilar menangis dan sakit. Namun lelaki itu juga menghidupkan kembali iman dan kepercayaan Pilar terhadap kehidupan, terhadap cinta dan terhadap dirinya.

Melihat Pilar, seperti setengah berkaca tehadap diri saya sendiri. Pilar tidak percaya akan cinta, seperti juga saya. Cinta adalah sesuatu yang semu, mungkin cinta 'pernah' ada, tapi bukan artinya cinta adalah selamanya. Cinta akan mati dan hilang, cepat atau lambat. Pilar percaya bahwa kehidupan normal dan tenang di kampung yang dikenalnya dari kecil akan menjadi kebahagiannya. Berbeda dengan Pilar, meninggalkan segalanya yang ada disini menjadi obsesi yang saya cita-citakan. Pilar tidak lagi berdoa dan tidak lagi punya iman. Berbeda dengan Pilar, saya tidak akan hidup tanpa doa. Doa menjadi salah satu hal yang membuat saya bertahan hari ini dan besok.

Ingin sekali rasanya percaya bahwa cinta seperti Pilar itu ada. Mungkin akan membahagiakan sekali dicintai seperti Pilar... sayangnya cinta itu tidak nyata di duniaku. Bukan cinta yang nyata. Tapi diri kita dan segala pilihan yang kita buat di dalamnya.



Biarkan Mereka Berlalu, Sas!


Thursday, February 7, 2008

'Biarkan Mereka Berlalu , Sas!'
kata-kata yang seperti mantra kuucapkan setiap harinya. Seperti kata yang membesarkan hati dan membuat tubuh ini kuat dari hari ke hari.

Hari ini mawar layu, Sha... setia dalam kotaknya teruntai dengan kalung itu. Biarkan dia juga berlalu ya Sha. Biar kita menangis dalam sepi saja. Air mata kita tak akan lagi menghidupkannya.

Biar Laut mengalun perlahan. Tapi jangan berhenti menangis Sas. Air mata satu-satunya yang menjaga kita tetap hidup. Seperti yang kita ikrarkan dulu. Berjuang untuk tetap hidup.

Andai saja itu mudah, Sha. Jika hanya dengan aliran hangat dipipi kita ini, kita dapat bertahan. Aku mau berbaring selamanya dan melupakan segalanya. Segala mawar yang pernah ada dalam kita dan begitu juga durinya...

Lihat aku lekat-lekat,Sas. Lihat dalam matamu, mata yang menyala terang itu. Jangan biarkan padam cahayanya karena tangis.

Kuharap Sha... kuharap...

Dan...
Ketika tiba senja itu. Kita akan pergi, membawamu terban tinggi dengan sayapku. Jangan takut jatuh Sas, aku cukup kuat. Dan nanti semua ini akan usai, hilang diantara awan-awan dan menguap terbang bersama hembusan angin. Seperti luka kita, dan darah yang mengering karena waktu. Dan air mata yang habis karena bosan. Semua itu akan berlalu. Dan bila tiba saat itu, biarkan mereka berlalu, Sas. Menikmati waktu kita, memulihkan hati kita yang tercabik-cabik dan berhenti menangis... Tersenyum pada mentari yang setia...

Dibalik Cakrawala

Sunday, February 3, 2008


undefinedMencari Masa Depan, photo by,Ivy-Kuta 2007
Masa depan... masih adakah untuk mereka? untuk kita? mereka menatap... khawatir akan buminya yang kian tenggelam...
Melihat dibalik cakrawala, seandainya bumi yang lebih baik dapat terwujud disana...

P'Bear:
Dia berjalan dari kutub utara, sampai Bali... Lelah dan tubuhnya mengurus. Matanya menantap lesu. Berjalan di antara menteri-menteri berjas mewah dan bersepatu mengkilap. Mempertanyakan, apakah ia berhak meminta perlindungan? habitatnya rusak... esnya meleleh...keluarganya mati. Itu hanya sebagian yang kita dengar.....

Wanita:
Ibu ini berasal dari Pulau Kiribati. Sebuah pulau yang memiliki populasi penduduk hanya beberapa ratus kepala keluarga. Rumah mereka hanya tinggal beberapa meter saja dari garis pantai. Abrasi dan mencairnya es terus memicu naiknya permukaan air laut. Rumah mereka? Pulau mereka? Sanggupkah kita membiarkan mereka kehilangan segalanya...

Anak manis:
Gadis kecil ini boleh jadi tidak mengerti apapun juga.. belum memahami apa yang terjadi. Namun, dialah salah satu anak yang akan menderita ketika merasakan dampak nyatanya kelak. Masihkan ia bisa rasakan air yang sejuk? Udara yang bersih? melihat hutan yang hijau dengan hamparan angkasa yang biru? Masa depannya di tangan kita. Masihkan kia mau bermain dadu dengannya?

Segalanya ada disini... di jemariku.. di kepalaku.. dan di hatiku.. di balik cakrawala... kuyakin masih ada masa depan untuk mereka... dan kita...



Daydream of me


Tuesday, January 29, 2008


undefined

Step of Men on his Mother Earth. Photo by Ivy - Pantai Kuta '07



Duuuuh, kadang terpikir untuk pergi selamanya. Melepaskan beban berat ini dan terbang bebas seperti seekor kupu-kupu. Frustasi.

Bila sudah begini, lalu aku memejamkan mata. Mencoba mengingat bunyi deru ombak. Ingin kurasakan angin membelaiku lembut. Atau berpura-pura merasakan hangatnya butiran pasir menyapa telapakku.

Mengingat tiap detik yang telah kulewati. Mengingat harum kamboja yang menggantung rendah. Mengingat senyum mereka. Mengingat keringat mereka. Mengingat matahari yang tersenyum ramah. Mengingat orang-orang berjas yang berlalu cepat, berlari, meninggalkan aku menikmati detik.

Satu, dua, tiga... ku hitung lembut bersamaan dengan kembali membuka mata. Kubayangkan aku melihat pantai yang hangat. kubayangkan yang kulihat langit yang biru dengan alunan musik khas yang mengalir lembut. Memandang, membidik melalui lensa... mengabadikan lukisan ini.

Aku ingin pergi... entah pergi kemana. Yang pasti jauh dari tempat ini. Meninggalkan mereka yang mengenal aku. Memulai segalanya dari nol dengan manusia-manusia baru yang tidak pernah melihat aku.

Dan aku akan terbang bebas, menjadi diriku sendiri. Menemukan tempatku, tempat dimana aku dapat belajar apa yang kuingini, membaca apa yang kuminati dan berpikir apa yang kuhendaki. Dan mencari tempat di muka bumi ini, dimana manusia tidak dibedakan berdasarkan warnanya, gendernya, agamanya, bangsanya, hartanya, bajunya... Namun sama sebagai manusia yang punya hat

Friday, January 18, 2008

Mengapa 5 cm?


5 cm, sebuah buku ber-cover hitam, gelap, suram dan misterius. Menurut gw pribadi, buku ini : pesta gagasan tentang harapan dan ide tentang berbagai macam hal yang berhubungan dengan keajaiban pikiran manusia. Yep, manusia dan hidupnya. Dan segala hal dan partikel yang bergerak jauh di dalam kepala kita, tiap aliran darah yang membawa mimpi dan harapan, arus yang melewati lika-liku otak kita dan setiap ide dan gagasan yang menyentuh ujung syaraf di salah satu misteri alam yang tak terselami, pikiran manusia.
(Oops... dan sekarang gaya bahasa menulis gw pun mengikuti Donny Dhirgantoro, penulis buku 5cm)

Buku ini membuat gw berpikir, berpikir banyak sekali tentang hidup, harapan dan gagasan idealis khas pejuang reformasi. Mungkin Donny terlalu banyak menuangkan ide-idenya yang memuncah, terlalu banyak membuat kejutan dalam bukunya namun kejutannya sendiri tidaklah begitu spektakuler, terlalu banyak mengutip lirik lagu ataupun kata-kata orang terkenal sedunia, atau karena endingnya yang begitu dibuat ideal sehingga terkesan terlalu sempit, atau sentuhan-sentuhan horror dan misteri yang teryata......nothing. Atau karena penulisannya yang kurang rapih dan editor yang sangat kurang teliti.

Dibalik semuanya itu, melihat jauh diantara hal-hal yang membuat kita mencela. Buku ini membawa pikiran gw jauh melayang ke atas gunung Mahameru, Puncak pulau Jawa dan berpikir lagi tentang hidup, harapan, gagasan dan juga... cintaku pada ibu yang selama ini darinya kita mendapatkan makanan dan air unutk diminum. Dengan deskripsi gunung Mahameru yang membuatku jatuh cinta dan pesta filsuf dalam percakapan ringan tokoh-tokohnya. Kita diajak bertanya, sudahkah bermanfaat bagi orang lagi. Kita digugat untuk mempertanyakan definisi kata berjuang, cita-cita, bijaksana, musik dan cinta. Kita diajak merenung, bahwa ketika merah-putih berkibar gagah di puncak Jawa, pernahkah kita melihat samudera langit dan bersyukur atas bumi nan indah ini. Dalam 6 jam aku bertualang di kehidupan 5 sekawan ini, aku diingatkan akan mimpi kecilku dulu, keinginanku untuk mencium tangan guru-guruku, memberi hormat pada kakak-kakak ku pahlawan reformasi dan membasuh kaki ayah-ayahku pejuang bangsa.

Buku ini juga banyak mengajar, walau secara bagi orang-orang apatis, buku ini tidak lebih dari summary pepatah-pepatah orang terkenal atau mungkin buku kumpulan lirik lagu. Tak peduli bagiku, jika dari lirik lagu atau syair-syair aku dapat belajar dan... merenung. Merengungkan bangunan harapan yang selama ini kubangun, istana mimpi yang tak lagi sekokoh saat aku percaya Santa Claus.

5 centimeter, yang mengajarkan dengan rendah hati, bagaimana kita dapat terus berjuang agar mimpi bukan saja harapan. Namun mimpi adalah sesuatu yang membuat kita tetap hidup, bukan hanya daging yang berjalan, punya nama dan berbicara, namun benar-benar 'hidup'. Katanya, "biarkan mimpimu tetap ditaruh disini, di depan kening kamu, jangan menenpel, biarkan dia mengambang, menggantung, 5 centimeter di depan kening kamu, supaya tak terlepas dari matamu."

Intinya buku ini buatku pribadi adalah sebuah gagasan dan perenungan. Bertualang di hutan Mahameru yang tak terduga selama 6 jam bersama Genta, Riana, Ian, Arial, Arinda dan Zafran menjadi suatu pengalaman yang tak akan pernah kulupa. Paling tidak sampai kudapat puncak Mahameru dengan kakiku sendiri.

MUST HAVE BOOK!

QUOTES TODAY:
COGITO ERGO SUM (Aku berpikir maka aku ada)
Descartes-5 cm



Pulangnya Sang Penguasa


Monday, January 28, 2008



Merah dan Putih. Photo by Ivy -Flotilla, Benoa '07


Dan bendera setengah tiang pun dikibarkan, menandakan rasa duka atas kehilangannya beliau, seorang mantan Bapak Negara selama 32 tahun, Bapak Pembangunan yang menghancurkan....

Mungkin sebagian besar rakyat bersorak, sebagian lagi mencoba untuk berkabung sekedarnya, sebagian menghela napas, sebagian sibuk menjilat dengan tanda bela sungkawa berlebihan dan sebagian... bahkan mungkin tidak mendengar berita kematiannya.

Indonesia, The Blessing Land. Yang dari tanahnya yang mengeluarkan emas, permata, dan... air mata. Ingat lagu Kolam Susu? gambaran Koes akan tanah airnya. 10 tahun sudah ketika pemuda-pemudi negri berhasil melengserkan tirani kekuasaan yang dituding sebagai biang keladi kejatuhan bumi hijau ini. Jatuh... ketika kita jatuh karena sebuah batu, maka kita akan menyingkirkan batu tersebut, dan lalu BANGKIT. Nyatanya, batu yang dituding telah menjatuhkan bangsa telah lama disingkirkan, namun kita pun BELUM juga BANGKIT.

10 tahun bagi kita belum cukup untuk berhasil bangkit. Pemuda-pemudi yang dulu berteriak lantang, meneriakkan hak-hak rakyatnya, kini beberapa menjadi pekerja muda yang tenggelam dalam kehidupannya sendiri, beberapa lagi bahkan masuk menjadi bagian dari kebusukan yang dulu mereka gugat.

Baru saja kubaca tentang mereka yang turun memenuhi jalan-jalan kota, mengibarkan merah-putih, mereka yang tak gentar pada pagar batalyon yang menghadang, tidak pada gas yang membakar mata, bahkan tidak pula pada peluru yang merobek daging. Mereka kakak-kakakku, pahlawan.. Seandainya aku lahir beberapa tahun lebih awal dan menjadi bagian dari mereka, mungkinkah aku dapat berada di barisan terdepan, memimpin pasukanku sendiri. Berteriak bukan hanya atas nama rakyat, atas nama hati dan tanah. Bangsa yang berhati, yang menginjak tanah ini.

Kini, musuh mereka telah pergi. Kembali dengan sulit. Bapak pembangunan, 32 tahun beliau memerintah, membangun dan menghancurkan. Ingin aku ikut menghujat dan memakinya. Namun kuingat nasihat salah satu manusia tua yang darinya telah lahir berpuluh karya yang membangkitkan bangsa. Bangsa yang baik adalah bangsa yang menghargai asal-usulnya, mencintai sejarahnya, baik ataupun buruk, sebuah bangsa tak akan pernah menjadi sebuah bangsa tanpa tempaan, tanpa darah dan air mata.
Maka melihat wajah beliau yang telah tua, kerut diwajahnya seakan ingin menceritakan peristiwa apa saja yang telah dilaluinya. Mungkin juga ingin mengadu, berapa banyak mayat yang dilangkahinya.

Kuceritakan nanti kepada anakku, cucuku... bahwa bangsanya terbangun di atas darah pendahulunya. Kokoh dengan air mata. Merebut kemerdekaan yang dibayar lunas oleh pejuang-pejuangnya dengan nyawa. Walau kemudian tetap dijajah, dijajah moral bangsanya sendiri yang bobrok, namun tetap bangsaku. Akan kuceritakan, bangsa ini pernah dipimpim oleh seorang bapak dengan mata yang cerdas, yang dari acungan tongkatnya kami dapat tersungkur agung, dan dengan kemampuan diplomatisnya, dunia dapat menoleh.
Juga bangsa ini pernah dikuasai oleh orang yang kuat, cukup sehat untuk 32 tahun memimpin tanpa rehat. Warisan pembangunannya, masih kita rasakan sampai sekarang. Warisannya yang terkuat, sekaligus yang disayangkan.. adalah telah membesarkan dan mendidik bangsa ini, Dari lapis terbawah rakyatnya sampai tingkat pemerintahannya untuk bermoral budak, bermoral pembual, bermoral perampok dan sekaligus penjajah, penjajah atas bangsanya sendiri.

Ntah siapa lagi kini yang akan dituding atas hancurnya bangsa ini. Satu sumber sejarah telah pergi kemarin siang, mungkin saja dia kini tengah menghadapi persidangannya atas apa yang telah ia perbuat. Biarlah pengadilan langit yang menghakiminya, kita harus tetap menghargainya. 32 tahun ia telah memerintah kita, 'membesarkan' dan mendampingi kita. Biar kita tetap menjadi bangsa yang baik dengan menghargai sejarahnya. Biar mereka menghujat, "Dia yang menghancurkan bangsa ini, Dia dan kroni-kroninya yang menggerogoti bangsa ini". Aku hanya berpikir, bukankah darinya juga kamu menikmati subsidi selama 32 tahun, dan kroni-kroninya tetap kamu pilih pemilu kemarin.

Mereka berteriak tentang keadilan. Jadi ingat perbincanganku dengan teman dari hukum. Dia menggugatku dengan arti keadilan. Menurutnya keadilan adalah sesuatu yang semu. Apa puncak dari keadilan? Apa yang terjadi bila semua yang ada di muka bumi ini adil? jawabannya : KETIDAKADILAN. Merenungkan itu, aku jadi berpikir.
Ini saat kita belajar tentang arti kemanusiaan (yang adil dan BERADAB), mungkin memang ia bersalah, tangannya mungkin berlumuran darah. Tapi menghujat dia, bahkan sampai ketika ia sudah pergi adalah tindakan yang TIDAK BERADAB. Waktunya kita belajar menjadi bangsa yang berhati... Ketika kemanusiaan bersanding dengan keadilan. Manakah yang lebih tinggi? Keadilan untuk kesejehteraan manusia atau manusia untuk keadilan?

Menindak lanjuti kasusnya untuk terus digugat memang harus. Kroni-kroninya harus dituntut, kembalikan uang rampasan. Pangkas habis akar-akarnya. Walau untuk itu perlu waktu yang lama untuk menghabisi generasi busuk ini, namun akan lebih baik memulai terlambat, dibanding tidak sama sekali.

Kini waktunya untuk bercermin. Warisan kebobrokan memang sudah menurun, diturunkan oleh mereka kaum orde baru. Tapi lihatlah kita sekarang. Dimana kakak-kakakku yang 10 tahun lalu bersuara lantang menyerukan reformasi? Bukankah, setelah reformasi tercapai, seharusnya mereka berhenti berteriak dan berpikir... bagaimana membenarkan hal-hal yang sudah terlanjur salah? bukankah lebih baik kita mengkritik dengan solusi, daripada hanya mengkritik kosong.

PERUBAHAN! kata yang mereka usung. Namun apa yang berubah dari kita? Apa yang dapat kita lakukan supaya bangsa ini berubah? Berubah dari segala bentuk moral yang busuk. Seperti yang JFK pernah katakan "Dont ask want your country can give for you... ask, want you can give for you country". Kata yang menampar kita. Sebuah makna tentang perenungan... bukan lagi waktunya mencari siapa yang salah... waktunya kita mencari, jalan keluar dari persoalan bangsa ini... Karena masih ribuan jiwa di pelosok negri ini yang menunggu perubahan tanpa mengeluh, masih sekian ribu anak tanah ini yang tidak menunggu untuk tumbuh. Tumbuh menjadi generasi berikutnya, yang akan tetap tumbuh layu dalam bayang-bayang bangsa yang jatuh... bila kita memilih untuk tidak segera bangkit...

QUOTE TODAY:
Selamat jalan Pak, semoga tenang jalannya... biar kami disini tetap berteriak-teriak "PERUBAHAN = (AKSI - DEMO) x TUTUP MULUT + PEMIMPIN - (KORUPTOR + GENERASI ORBA)"

SOEKARNO pernah berkata "Bangsa yang memiliki pemuda-pemudi yang suka bertualang, negrinya tidak akan kekurangan pempimpin