Sepotong Kue untuk Mimpi Ipeh


Beranjak dari Luwes sore itu, aku menghela napas. Lampu ruangan perlahan menyala, ternyata di luar masih sore. Aku menyusuri Cikini sore yang lenggang, gerobak-gerobak merapat, siap-siap mencari sereceh dua receh untuk anak-istri di rumah. Tangis Ipeh masih terngiang di telingaku, ratap Mimih dan Babah masih menganggu telingaku. Kupapasi satu-dua pengamen cilik dengan gitar kecil dan botol berisi beras.

Ipeh, Saripeh orang tuanya hanyalah gelandangan yang sehari-harinya mengutuki hidup yang begitu berat. Mimih dan Babah menyesal punya anak banyak, karena tak bisa menahan napsu, karena melihara anak tak seperti melihara bebek. Kalau banyak tak bisa dipotong, yang ada memeras nadi. Suatu hari Ipeh datang, minta pada Mimih dan Babah agar dapat sekolah. Melihat anaknya yang tidak jelek, Babah punya ide, yang akan menjadi solusi semua masalah. Ipeh dijual, diberi uang dan dijanjikan jadi artis, tapi tentu saja tidak gratis. Keluarga mereka memang kaya mendadak. Beli apa saja bisa, pakai apa saja mampu, makan apa saja boleh. Persis seperti yang mereka impikan dulu. Dari kehidupan jamban ke speed tank, kehidupan mereka berubah. Tapi apakah itu yang benar-benar mereka ingini?

Menanti Meranti


Desa Teluk Meranti adalah satu dari sekian desa di Semenanjung Kampar yang memiliki beratus-ratus hektare hutan lahan gambut. Greenpeace membangun Kamp Pembela Iklim di Teluk Meranti untuk menolak pengerusakan hutan yang terjadi di Semenanjung Kampar, khususnya Desa Teluk Meranti. Saya mendapat kesempatan untuk mengantar dan menemani Krisna Mukti, bintang iklan dan bintang televisi yang ingin memberikan dukungannya sebagai supporter Greenpeace kepada penduduk Teluk Meranti dan juga para aktivis yang sedang dituntut oleh kepolisian atas aksi mereka minggu lalu.

Kamis, 19 November 2009

Saya, Krisna Mukti dan Mba Milla (asisten pribadi Mas Krisna) tiba di Pekanbaru di pagi hari, saat itu cuaca terik, Pekanbaru bersuhu hampir 40 derajat celcius. Kami berkendara ke Polres Pelalawan (1 jam dari Pekanbaru) untuk memberikan dukungan kepada 18 aktivis Greenpeace yang sedang wajib lapor dan menjadi tersangka di kasus RAPP. Setelah makan siang, kami pun melanjutkan perjalanan, di jalan truk-truk Fuso bermuatan biji sawit, kayu alam dan truk-truk tertutup menjadi pemandangan yang tak putus-putus. Memasuki daerah Kerinci, di kanan kiri jalan mulai terlihat pemandangan yang mengenaskan. Hutan-hutan gundul dilahap RAPP dan sebagian lagi dilahap perusahaan kertas lain, Sinar Mas. Beberapa lokasi yang bekas dibakar masih meninggalkan asap-asap tipis. Sebagian lagi dibiarkan gundul. Jalan melintas Kerinci – Binjai dibuat perusahaan baru 1 tahun terakhir ini untuk keperluan transportasi alat-alat berat, sebelumnya Kerinci – Binjai harus ditempuh menggunakan speed boat atau pong-pong selama kurang lebih 11 jam.

Humans Accused


Seorang kawanku ber-status di Facebooknya, “pelangi, pelangi, ciptaan tuhan. tuhan, tuhan, ciptaan manusia.”.

Aku menyapanya di messenger yang berkelap-kelip oranye. “Bener, Ri! Setuju!tuhan itu ciptaan manusia atas ketidakmampuan manusia”

Agak lama sampai ia menjawab, “Heheheh... Oh iya gimana premier film kemaren?”

“Begitulah, berhenti di tengah gara-gara hujan.” Sahutku sambil mengetik kurang bersemangat.

“Berhenti di tengah jalan? Gimana?” Tanyanya lagi.

“Yah gitu deh. Habis. Selesai gara-gara langit”

“Hm... “

“Naaah... saat kita enggak mampu menyetop hijan, kita bilang itu karena tuhan. Jadi tuhan kita yang nyiptain kan? Atas ketidakmampuan kita menyetop hujan.”

“Tuhan memenuhi semua yang kita enggak ngerti”

“Setuju.” Sahutku sahutku.

Aku ingat semalam, di tengah hujan lebat yang tiba-tiba tumpah membasuh keringatku setelah seharian lari kesana-kemari menyiapkan acara. Acara yang berjalan hebat harus berhenti. Menyisakan wajah Pete Postlethwaite yang membatu di layar tancap. Setengah berteduh, aku bertanya pada koordinator acaranya, “Jadi apa keputusannya?”

“Keputusan apa sayang? Keputusannya ya ini. Langit yang memutuskan.”

Saat kita enggak mampu memutuskan, saat semua keputusan berada jauh di luar gapaian kita. Saat itu kita bilang, langit yang memutuskan. Dan kita menyiptakan Tuhan sebagai empunya langit. Sehingga ada seseorang yang bisa bertanggung jawab atas ketidakmampuan kita.

Mungkin karena itu kita disebut manusia, makhluk berbeda dari semua yang diciptakan, karena hanya manusia yang dapat menciptakan tuhan. Karena hanya manusia yang bisa saling menyalahkan, karena hanya manusia yang mencari kambing hitam. Sedangkan segala kambing dan segala mahkluk ciptaan lainnya tak akan mampu menyalahkan siapapun.

Kambing tak akan menyalahkan langit kalau semua rumput di padang kering. Rumput tak akan menyalahkan kambing, kalau rumput dimakan habis. Cacing tak akan menyalahkan ayam dan burung-burung kalau mereka ditarik putus dari tubuhnya, dan ayam pun tak menyalahkan manusia jika ia diberi makan banyak sampai gemuk dan lalu dimakan. Tapi kita menyalahkan tuhan, menyalahkan langit, menyalahkan kambing, ayam, bahkan cacing bila kita tak bisa makan.

Mungkin karena kita manusia. Sehingga bahkan alam dan ciptaan lainnya pun muak menyalahkan kita. Karena mungkin sebenarnya, hanya manusialah yang seharusnya disalahkan.

Lihat! Aku baru saja menyalahkan. Tapi bukankah aku manusia? Jadi aku menyalahkan.

Gimana kalo ‘Culpo Ergo Sum’ ? kira-kira artinya... ‘ I accuse therefore i am’

NB :
Tulisan ngaco dikala panas 39 derajat! gara2 ngojek payung kemaren.. :D
Thx to R.A., status lo inspiratif. hehehe

Crash



Ting Tong

Kedua pintu lift yang berwarna keperakan hampir tertutup.

“Tunggu!” Teriak tertahan seorang gadis membuatku spontan menahan pintu yang hampir rapat.
Gadis itu berkaos putih, dengan rambut kuda dan celana pendek, ia memanggul raket tenis bersarung hitam. Seharusnya umurnya tak jauh beda dariku. Sepantar. Kulihat dia menekan lantai G. Lantaiku rumahku.

“Tinggal di G juga?” tanyaku sambil menunggu lift naik ke lantaiku yang hanya satu lantai di atas.

“Lantai 2 sih tepatnya, tapi ini kekunci” sahutnya sambil tersenyum ramah.

“Oh... kok bisa?”

“Biasalah lupa..” jawabnya sambil tertawa.

“Baru ya tinggal disini?” tanyaku penasaran. Aku tak pernah melihat dia sebelumnya.

“Enggak juga sih. Dari tahun lalu.”

Lalu pintu lift terbuka dan kami pun bertukar senyum dan berpisah. Aku mendekatkan kartu rumahku pada alat sensor. Dan alat itu berdering sebentar, sebelum pintu kayunya menjeglek terbuka. Bagian dalam luar rumahku yang menyambung dengan lift pribadi memang selalu gelap. DI lorong itu ibuku meletakkan sebuah unta kayu besar dan guci-guci. Belum lagi koleksi barang-barang antik yang sebenarnya tidak punya fungsi.

Aku masih terbayang gadis itu. Sudah setahun berarti aku tinggal hanya berbatas 5 - 6 meter tingginya dan dipisahkan 1 meter semen dan lantai keramik. Ia tinggal persis di atasku, tapi aku bahkan baru sekali ini melihatnya ada di gedung ini. Padahal paling tidak seminggu sekali aku berenang dan olahraga di private gym. Mungkin saja dia juga jarang berenang dan olahraga. Tapi pastilah setiap pagi ia sekolah. Aku juga. Harusnya ada satu waktu kami bisa saja berpapasan seperti malam ini. Atau mungkin bila ia selalu menggunakan lift pribadinya, pastilah ada satu waktu selama setahun kami sama-sama keluar dan naik mobil di parkiran bersamaan.

Memasuki kamarku yang selalu remang-remang. Aku jadi ngeri membayangkannya. Bagaimana salah satu simbol masyarakat modern yaitu semi private residence atau apartemen atau apa pun itu namanya, telah membunuh sinergi di antara masyarakat itu sendiri. Padahal kami tinggal berdampingan, tidur berdekatan. Tapi jangankan namanya, wajahnya pun baru kulihat satu kali.

Bukan melebihkan-lebihkan atau bagaimana. Aku cuma sedang berusaha merefleksikan masalah kecil ini. Apakah aku yang kurang sedikit peduli atau memang hanya misteri waktu yang kebetulan saja selalu menyalip jarak antara manusia satu ke manusia lain. Tapi tinggal satu tahun dalam jarak kurang dari 10 meter, tapi selama 12 bulan itu tidak pernah bertemu muka. Aku merasa seperti orang-orang gua plato yang duduk berdampingan, namun saling terbelenggu bertolak belakang, sehingga mereka tak pernah bisa saling melihat.

Aku jelas bukanlah ahli sosial atau kajian budaya atau semacamnya. Sunggu sok tahu bila aku mencoba menguraikan itu dari pandangan-pandangan teori sosiologi atau apa lah semacamnya yang bagiku saat ini masih rumit. Aku cuma ingin menjadi seorang tetangga biasa saja yang terkejut mendapat tetangga baru yang ternyata sebenarnya tidak baru. Dan seorang pengamat masyarakat pemula, yang terheran-heran pada individualitas yang secara tak sengaja terbangun begitu menjarak satu sama lain. Atau kepada modernitas yang memisahkan setiap orang, kita dipenjara oleh teknologi-teknologi memudahkan, lift pribadi yang membuat kita tak pernah bersinggungan satu sama lain, kartu pintu rumah yang membuat keamanan akan privasi kita terbungkus rapih.

Aku jadi ingat pernah nonton film Crash. Film tentang rasisme dan interaksi masyarakat di Amerika, khususnya LA. Tapi hal kecil barusan hanya sekedar kejadian pendek yang terjadi di lift sebuah private residence di bilangan Menteng, pastinya tidak bisa dibandingkan. Tapi ada sebuah kalimat di awal film itu. Kalimat yang sepertinya baru benar-benar kumengerti artinya malam ini, “In L.A., nobody touches you. We're always behind this metal and glass. I think we miss that touch so much, that we crash into each other, just so we can feel something.”

Mungkin ada benarnya. Kita yang selama ini tidak pernah ‘bersentuhan’, yang terpenjara dalam penjara yang kita buat masing-masing atas nama privatisasi, dan individualisme yang memerdekakan kita dari segala hal, termasuk masyarakat. Kita rindu ‘bersentuhan’, rindu saling bertubrukan,saling kena satu sama lain, hanya agar kita bisa merasakan sesuatu. Mungkin agar kita bisa merasakan, bahwa sesungguhnya kita masih bagian dari manusia yang adalah mahkluk sosial.

Saling bersentuhan. Sepertinya setiap manusia masih butuh itu.

Andi Mau Jadi Apa?


“Kak, aku mau jadi pilot. Biar bisa terbang.

“Kak, aku mau jadi Pak Polisi aja deh, biar enggak nangkepin lagi anak jalanan

“Atau jadi tentara, biar bisa nembak.. Dor! Dor!Dor!

“Tapi Kak, gimana kalau jadi Bos aja? Biar bisa dapet duit banyak, enggak perlu ngamen lagi

“Bisa beli rumah, beli mobil, beli sendal, makan pizza... Kakak suka makan apa?

“Atau jadi penyanyi terkenal, daripada nyanyi di bus, enggak ada yang dengerin.

“Jadi Supir juga kayanya enak, apalagi kalau Supir Taksi, bisa naik taksi setiap hari.

“Atau jadi Menteri aja deh Kak, nanti aku benerin bus-bus ini, benerin jalan biar enggak macet.

“Kak! Aku tahu aku mau jadi apa! Jadi Presiden aja sekalian! Biar bisa benerin semuanya.

“Tapi Kak, aku enggak sekolah... Apa aku jadi guru aja ya Kak? Pintar.. Bisa ngajarin orang-orang.

“Enggak deh Kak, aku mau jadi Tukang Nasi Goreng aja, biar bisa makan nasi goreng dan enggak kelaparan lagi.

“Kak...Kak kok diam saja ?

“Kak, aku enggak mau jadi apa-apa... Aku cuma mau jadi kaya Kakak, bisa sekolah, punya rumah dan bisa makan pizza.

“Kak... Kalau Kakak? Mau jadi apa?”
Andi (9 Tahun)




Catatan :

Saya pernah bilang kalau bus adalah salah satu jendela dunia saya saat ini. Banyak yang bisa ditemui, walau semua bilang, itu hanya sepenggal kecil dari kehidupan jalanan yang keras. Tapi kemarin, Sepenggal itu duduk disamping ku. Dengan kaki tebal hitam tanpa sendal, badan penuh debu bau matahari, hidung kotor penuh ingus dan tangan yang penuh luka garukan. Dia duduk disampingku menghitung lembaran ribuan kusut dan koin-koin yang ia dapatkan dari hasil mengemis. Saat Bus terlonjak kaget dan sekeping recehnya melompat dari genggaman, ia meloncat ke kolong kursi bus yang kotor dan berusaha mengambil koin itu, seratus rupiah yang mengkilat. Jumlah yang sama yang kadang sengaja kujatuhkan dari dompet karena tidak ingin mengantungi receh.

Matanya berbinar-binar saat aku tersenyum duduk disampingnya. Ia memandangi buku-bukuku yang tebal-tebal. Mungkin bertanya-tanya akankah dibaca buku sebanyak itu. Sebuah senyum manis terlukis di wajahnya saat kusodorkan permen dan sebatang coklat. Dimakannya seakan itu barang berharga yang pernah dimilikinya.

Aku keluar pagi itu dengan pertanyaan keras dari Ibuku. “Mau jadi apa nanti? Mau sekolah apa nanti?”. Aku harusnya malu. Aku disini dengan segala kemewahan dan kebebasan menentukan aku mau jadi apa aku kelak. Aku dengan segala kemudahan, memilih pendidikan manapun, yang terbaik di dunia untuk jadi seseorang yang kumimpikan nanti. Dan aku punya kesempatan untuk menjadikan mimpi bukan sekedar dalam tidur. Tapi aku masih saja mengeluh.

“Ndi, Kamu tahu Kakak mau jadi apa? Kakak mau jadi apa saja... Asal bisa membuat kamu dan segudang kawan-kawanmu disana itu, merasakan kemudahan seperti yang Kakak rasakan. ...”

Dan hari itu, di tengah bisingnya kota dan lalu lintas yang padat pukul 5 sore, hari kerja terakhir sebelum Hari Raya Lebaran tiba. Aku berjanji pada bayang-bayang Andi yang masih duduk disitu mengulum permennya. Aku akan sekolah tinggi-tinggi dan belajar sungguh-sungguh. Tak akan aku sia-siakan kesempatan dan kemudahan yang kudapat. Terbang ke langit pendidikan yang tinggi. Dan aku akan kembali, membangun tangga-tangga untuk Andi-Andi lain, agar mereka juga bisa sampai melihat kota dari puncak langit.

tuhan..Tuhan..

“Kenapa sih harus selalu laki-laki yang kerja keras?” tanya temanku frustasi.

“Karena begitulah yang tertulis dalam kisah penciptaan di seluruh kitab di dunia” sahutku ringan sambil melihat lagu-lagu yang ia berikan tadi siang.

“Kalo kaya gitu, berarti cewe tuh harus tinggal di rumah, ngurus anak, masak! Enggak begitu dong...” sanggahnya tak setuju.

“Ya enggaklah, peran perempuan itu berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Sedangkan laki-laki ya tetap saja sama, harus berkerja keras dan berusaha” sanggahku balik tak mau kalah.

“Enggak adil! Semua orang harus berusaha untuk apa yang ingin ia dapatkan” sahutnya kesal.

“Mungkin karena itu lah Tuhan selalu diidentikan pada laki-laki. Mungkin karena laki-laki itu statis, ga berubah dari dulu hingga sekarang” Pikirku sambil melayang, terbayang beberapa laki-laki yang pernah ada di hidupku, tak ada satupun dari mereka yang berubah.

“Tuhan tuh selalu diidentikan dengan laki-laki karena laki-laki yang butuh Tuhan” tiba-tiba katanya mengejutkan.

“Kalau laki-laki yang butuh Tuhan, Tuhan akan diidentikan pada perempuan. Karena laki-laki sukanya perempuan” sahutku cepat disusul keheningan yang ramai tanda tanya.

“Ada bagusnya juga mungkin Tuhan itu laki-laki...” sambungku perlahan. “Kalau Tuhan perempuan, laki-laki akan sulit menyembahNya dengan khusuk. Karena 80% otak laki-laki itu sex...”

Tuhan. tuhan...

Siapa sih sebenarnya dia? Haruskah ditulis dengan T atau t, d atau D, Nya atau nya... Aku punya seribu tanya tentangnya. Dan punya sejuta untukNya. Salah satu pertanyaan besar terangkum dalam film yang baru saja kutonton sendirian di bioskop, cin(t)a.

why did God creating us differently, if He only wants to be worshiped in one way? Is that why God created love? So all the differences could be united..

Kenapa tuhan ciptakan kita berbeda-beda, bila Ia hanya ingin disembah dengan satu cara? Karena itukah tuhan menciptakan cinta? Agar yang berbeda-beda bisa menyatu... tanya seorang tokoh dalam flm indie yang mengangkat tema tentang cinta antar agama dan ras ini dengan lantang.

tuhan. Tuhan. Apakah dia sampai sebagian dari kita takut, sebagian lagi menyembah tak henti, sebagian lagi menghujat. Apakah wujud tuhan itu? Jangan-jangan Ia hanya buatan kita, wujud dari ketidakmampuan manusia, sesuatu yang kita ciptakan untuk menutupi sesuatu diluar kemampuan kita. Seperti yang pernah disebut-sebut beberapa kawanku.

Atau mungkin status seorang kawan ini benar? Being weak doesn't mean surrender to god. I prefer rotten in hell as king than to be embrace in the heavens of slaves.Atau mungkin pernyataan kedua dalam awal film cin(t)a itu benar? In my arrogancy, i’m questioning Your mighty. Ketika aku mulai mengetik tulisan ini, aku sadar akan menulis tanpa menjawab apapun. Bahkan menanyakan pertanyaan yang mungkin tak akan bisa dijabwab sampai ketika aku bertemu denganNya langsung. Kalau dia benar ada.

“Agama itu bukan cara mencapai Tuhan, agama adalah ekspresi manusia dalam pencarian menuju Tuhan.” kata temanku. “Agama itu nggak lebih dari bisnis” kataku. Tapi aku tidak mempertanyakan tentang agama disini. Buatku agama tidak lebih dari sekedar doktrin. Sebuah pagar yang membatasi cara berpikir kita. Terserah ibuku mau bilang apa, terserah kalian yang percaya agama adalah jalan mau bilang apa. Aku lebih memilih dilahirkan tanpa mengenal agama, tapi mengenal Tuhanku, maka kupikir konsep kita tentang manusia, tuhan dan agama akan jadi lebih sederhana tanpa batas. Tapi di satu sisi, aku percaya hidup butuh pagar. Manusia butuh batas untuk menentukan mana yang benar dan salah. Dan salah satu caranya dengan agama. Tapi itu bukan satu-satu caranya. Karena pada dasarnya, tuhan yang katanya arsitek dan sutradara paling hebat itu telah memberikan kita nurani.

Aku percaya ada tuhan atau Tuhan, atau apapun lah kita sebut. Aku percaya ada tangan tak terlihat yang menuntun planet-planet untuk tidak saling bertabrakan. Ada sesuatu yang mendampingi tiap proses morulla menjadi glastula dan lalu menjadi fetus dan akhirnya menjadi manusia. Ada sesuatu yang entah apa wujudnya dalam molekul tiap benda, partikel dan atom-atom yang coba dibelah oleh para nihilis. Aku bisa melihat sesuatu ada disana yang disebut para nihilis dengan nihilisme, kekosongan. Aku melihat ada tuhan disana.

Aku melihat Tuhan dalam banyak hal di hidupku. Tapi tetap bertanya siapa dan apa tuhan itu. Bagian dari kesombongan atau kebodohan kah itu?

Memikirkan tentang tuhan membuatku berakhir pada sesuatu di luar kemampuanku. Disaat seperti inilah aku mengakui Tuhan. Mungkin benar kata mereka, kita menciptakan Tuhan sebagai ekspresi ketidakmampuan kita. Tapi buatku, siapa dan apapun tuhan itu. Aku mungkin tak akan tahu. Dan aku bahagia, karena hal itu telah menjawab salah satu pertanyaanku untuk Tuhan, Mengapa aku diciptakan sebagai manusia?

Antara Aku dan Ayah

Tempat ini adalah salah satu tempat teramai di kota. Apalagi malam minggu seperti ini. Pemuda-pemudi, remaja, keluarga, pasangan-pasangan semua berbaur dalam terangnya kota ini. Rangkuman gemerlap ibukota, toko ini-toko itu, cafe, restauran, karaoke, bahkan pertunjukan air mancur pun ada di gedung megah ini. Miniatur negara-negara indah di bumi, memanjakan kemewahan dengan berbagai atribut yang memikat.

Selintas saja mata menyapu lantai demi lantai yang bertabur warna. Toko baju di ujung sana menawarkan model terbaru untuk musim gugur yang sebenarnya tak dimiliki negara ini. Toko kosmetik disana memikat dengan wajah model super cantik, impian para gadis. Patung-patung putih, tak lelah bersolek di balik kaca tebal, memamerkan baju terbaru mereka minta dibeli. Toko gadget terbaru memasang produk terbarunya, tak juga bosan padahal telah menginfeksi warga dengan virus karet gendut warna-warni yang membuat pandangan banyak orang tak lepas dari genggaman.

Sekelompok gadis tertawa gembira. Yang lain berbagi canda disabut tawa lepas membahana. Beberapa eksekutif ngobrol ringan dengan asap mengepul-ngepul di tempat duduk kafe ala kota New York. Seperti kata Eno Lerian dulu ‘mau makan nasi padang... (padang...), bukan berarti harus ke Padang’. Dan begitu lah kota ajaib ini, tak perlu kita New York untuk bisa menikmati atmosfer Times Square atau Broadway. Di seberang sana ada seorang anak di gendongan ayahnya, menunjuk-nunjuk air mancur yang dapat menari-nari riang, mengikuti musik seakan air itu hidup. Sepasang disana sedang saling cinta, berangkulan satu sama lain seakan menyesal tak terlahir kembar siam. Semua suara, musik, celoteh, tawa, pertengkaran sepasang dara, rengekan adik minta es krim, bujuk rayu gadis pada ibunya minta dibelikan sepatu, canda dan kelakar yang tak berhenti bercampur, melebur di malam minggu ini. Seakan jus aneka buah yang dipotong-potong, diblender, dicampur begitu rupa sehingga kita tak lagi tau suara siapa yang ada.

Semua orang berjalan berbeda arah, berkelompok satu sama lain, berbincang seolah hanya ada hari minggu. Senang. Dan mengantar malam pada pangkuan sunyi yang lelah berceloteh. Sementara yang lain bicara, bersamaan seperti dengung yang menderu. Ada beberapa yang masih saja terkena virus. Virus karet gendut warna-warni. Mata tak lepas dari genggaman, seakan pada tangan mereka ada dunia yang tak bosan diamati. Seakan pada ibu jari ada bulan yang terus bercerita, berceloteh lebih seru daripada semua suara di gedung itu.

Mungkin aku adalah salah satu pesakitan itu. Pesakit Karet Gendut Warna-Warni. Tapi tentu bukan saja aku, banyak orang begitu. Aku tidak sendiri dalam hal ini.

“Mau makan dimana, Yah?” tanyaku sambil memandang keramaian sekekeliling.

“Di Sunda aja deh, udah lama” sambil juga mencari restoran kesukaannya.

“Oke” dan genggamanku kembali lebih menarik daripada keramaian yang sering kulihat ini.

Aku berjalan otomatis, sepertinya kakiku punya auto –pilot, tahu kemana harus melangkah. Membelok di rumah makan yang tepat, di samping kedai es krim, ala saung Sunda lengkap dengan jerami dan bambu. Pramusaji berseragam hijau menyambut, “Smoking” sahutku tanpa ditanya. Kami duduk di tempat biasa, diujung kanan dekat wastafel.

“Pesen apa Kak?” Sambil melihat menu yang disodorkan.

“Gurame aja deh” kataku tanpa ikut tertarik pada buku daftar hijau yang kuhafal isinya.

“Yaudah, gurame, tempe nya dua, ayam bakarnya satu aja deh, Kakak mau ayam bakar juga?”
Disambut gelengku tanpa mengangkat kepala.

“... terus kangkungnya deh mba, sambel...” Lanjut Ayah memesan tanpa kudengarkan lagi.

Aku terhanyut. Dalam sebuah percakapan yang mengelana jauh, jauh dari meja ini, dari gedung ini. Pada seseorang yang juga pun jauh dari sini. Percakapan yang melantur, entah pula bicara apa. Kadang kelakar-kelakar konyol, kadang gosip, kadang tentang Mbah Surip, lalu beralih tentang kue brownies, pindah ke Nurdin M Top dan berlanjut ke puisi. Bicara apapun asal membawaku pergi jauh dari sini, terbang dengan sekumpulan orang yang beberapa dari mereka tak pernah kulihat wajahnya.

Makanan datang. Pramusaji menata mejanya. Tik..tik..tik.. bunyi ritmis samar dari biji-biji berwarna hitam yang kutekan-tekan cepat.

Minuman datang. Pramusaji menggeser piring kangkung dan menaruh minuman yang
kupesan.Tik...tik..tik.. bunyi ritmis bersautan dari biji-biji berwarna abu-abu yang ditekan Ayah cepat-cepat.

Tik..tik..tik.. tik..tik..tik... suara tombol-tombol ditekan tak henti.

“Wow” kataku perlahan mengomentari percakapan di layar.

Tik..tik..tik..

“Ck..” decak Ayahku pada sesuatu di layarnya.

Tik..tik..tik.. “Makan Kak” kata Ayahku tanpa mengangkat kepala.

“Hm” Sahutku sambil masih mengetik.

Tik..tik..tik.. Aku menaruh karet gendut biruku hari ini. Dan mulai makan.

Gurame gorengnya enak, kering seperti kerupuk. Sambalnya pedas, karena tak suka aku tak ambil banyak.

“Makan,Yah” sambil menyendok kankung.

“He-eh, he-eh” balasnya sambil lalu menaruh benda karet hitamnya dan mulai makan.

Ayah mengambil guramenya, kangkungnya, dan tentu saja banyak sambal karena ia suka pedas. Tepatnya ia pencinta pedas. Dia tak bisa makan apapun tanpa sambal.

“Krauuuuk...” suara gigitan pada kerupuk kampung.

“Ting.. “ Suara denting sendok bertemu dengan piring kadang-kadang.

Aku mengambil cumi goreng dan tempe yang khas dari restoran ini. Ayah meminum teh botolnya. Ayahku itu salah satu penganut iklan teh dalam botol itu. Kemanapun ia makan, kalau emang menjual teh botol, pasti itu yang akan diminumnya. Ayah mencabiki daging gurame yang kering, tangannya berlumur sambel.

“Criiiiiiiiiing...” suara karet biruku memanggil. Salah satu kawan mayaku bicara. Lampu merah diujungnya menyala-nyala minta diperhatikan.

Aku dan Ayah makan dengan lahap. Sampai akhirnya piring tandas dan kini tinggal asap mengepul-ngepul dari mulut Ayah.

“Criiiiiiiing...” sekali lagi bunyi lonceng nyaring dari karet biruku. Disambut bunyi tik..tik..tik.. dari tombol-tombol yang kutekan.

“Wah ini Minggu ya?” komentar Ayah sambil membaca sesuatu di layarnya.

“Sabtu” Kataku datar sambil terus mengetik.

“Oh iya Sabtu” sahutnya sambil menggeser-geser bola kecil di tengah karet hitamnya.

Pramusaji datang menawarkan berbagai es tradisional. Aku kenyang dan pula batuk. Ayah memesan es doger.

Tik..tik..tik.. Tik..Tik..tik..

Pramusaji datang membawa es doger Ayah. Sambil menghisap batang putihnya yang menyala jingga di ujungnya, disesapnya es merah jambu itu.

Tik..tik..tik..tik.. tik..tik..

“Mau kemana abis ini?”

“Aku mau ke toko buku”

“Yaudah”

Tik..tik..tik..tik..tik..

“Anaknya Tante Silvi keterima chemical engineering di Amerika”

“Oh ya?” Sahutku masih sambil mengetik.

“Makanya harus dapet A semua Kak di GPAnya nanti. Beli buku boleh sih, baca juga bagus. Tapi
kamu harus kasih prioriti sekarang. You cannot be fail for this, remember?”

Aku mengangguk tanpa mengangkat wajah dari layar.

“Biar bisa dapet universitas bagus juga nanti. Kan gampang kalo nilainya bagus, masuk mana aja enak. Ayah enggak apa-apa sih bayar mahal asal kamunya serius”

“Iya” Sahutku singkat.

“Nanti emang mau ambil apa disana?”

“Double Degree. Belom tahu deh”

“Apa lagi double degree. Ya terserah sih yang penting suka”

“Hm”

“Mas minta bill” Katanya sambil melambai pada seorang pramusaji.

Aku mengangkat wajah menatap pada toko di seberang sana yang menjual sari tebu dan sari buah-buahan. Aku tak begitu suka manis. Ayah memandang kosong pada meja kosong dekat meja kami. Vas bunga berisi yang bunga kuning entah apa. Gedung ini masih dan tambah ramai. Celoteh dan tawa, orang-orang berseliweran. Bersatu dalam warna yang menjadi satu di mata dan telingaku.

Yah, andai saja kita bisa menebar-nebar warna di atas meja kita ini, diantara tulang-tulang gurame kering. Andai saja meja ini cukup luas untuk menampung cerita yang ingin kususun, kuceritakan. Andai saja diantara kita tidak ada meja yang memberi jarak, yang ada hanya meja yang menampung warna yang ingin kubagi. Dengar Yah... Sekeliling kita ramai, bahkan bising sampai di tengah-tengah meja ini. Tapi andai saja, keramaian itu bukan hanya dengung, tapi suara hati kita yang berceloteh.

Tahukah kau Yah? Kemarin aku dapat nilai A untuk essay legal-ku. Aku senang karena sedikit anak yang mendapatkannya. Oh iya, Yah... tahu tidak bahwa Rendra, penyair itu meninggal. Aku jadi merasa ikut kehilangan sebagai seorang pencinta sastra. Ayah tahu profil siapa yang terakhir kutulis? Tahu tidak semalam aku posting apa di blogku yang baru direnovasi? Apa Ayah tahu aku punya blog warna-warni? Yah.. Aku sedang membaca banyak tentang kasus-kasus pers di Indonesia. Apa sebaiknya aku ambil hukum dan jurnalistik ya Yah? Menurutku itu sangat menarik. Bagaimana menurut Ayah tentang mengambil jurusan hukum? Kan Ayah orang hukum. Yah, ada ayam panggang baru di PI, katanya enak lho. Kapan-kapan kita coba yuk... Eh kenapa sih Yah Mbah Surip meninggal? Memang benar gara-gara minum kopi?

Oh iya Yah, gimana kerjaan Ayah? Apa Bos India yang pernah kudengar itu masih menyebalkan? Adakah meeting yang harus Ayah datangi senin nanti? Gimana tuh soal rencana kepindahan Ayah ke Vietnam? Jadi kah? Yah.. ternyata biaya kuliah di luar itu mahal sekali ya. Mungkin sebaiknya aku ambil Maqcuarie saja daripada maksa ke UNSW, 1 milyar yah... belum untuk kebutuhan yang lain-lain. Aku tidak tega mintanya. Apa Ayah tidak keberatan membiayainya? Mungkin Ayah akan jawab ‘Enggak apa-apa asal kamu suka dan mau serius.’ Tapi tetap saja aku tak tega. Gimana kantor Ayah? Parkiran Ayah masih disitu? Ayah masih sering bangun siang enggak? Siapa yang bangunin Ayah sih pagi-pagi ke kantor? Di kantor Ayah food courtnya bagus nggak? Di gedung kampusku jelek...

Yah, banyak sekali warna dan suara yang bisa kita susun, kita bagi, kita kisahkan di meja bersama tulang-tulang gurame kering ini. Sayangnya meja ini terlalu sempit untuk cerita-cerita yang ingin kubagi. Dan mungkin pula meja ini yang paling patut disalahkan, disembelih jadi kambing hitam. Meja ini telah memberi jarak pada kita. Sehingga suaramu tak begitu jelas kudengar Yah.

Atau mungkin kita salahkan saja karet gendut warna-warni ini Yah... Karet-karet biadab ini telah mengalihkan perhatian kita satu sama lain. Terus memanggil-manggil setiap kali ada warna yang ingin kita bagi berdua, seolah kawan-kawan maya di luar sana lebih menarik daripada matamu, Yah.

Atau mungkin keramaian ini yang patut kita kambing hitamkan. Keramaian ini yang salah dan terlampau bising dan menimbulkan kesunyian di antara kita. Bukankah kita sepakat kalau tak akan ada sepi bila tak ada bising. Mungkin kesepian lari dari ruang bising ini, mencari tempat aman di antara meja di depan kita, dan bersemayam disana.

“Pak, Billnya” Pramusaji menyodorkan nampan kayu kecil.

Dengan seulas tanda tangan kita bisa membeli seisi gedung. Ayah meninggalkan lembaran uang pada tutupan kulit hitam.

“Yuk...” ajak Ayah.

Aku berdiri dan mengikutinya keluar restoran.

Mungkin tidak ada lagi meja yang membuat jarak diantara kita namun sepertinya hati kita masih berjarak. Atau kesunyian masih melekat erat mengikuti kita. Sehingga kita kesepian di tengah keramaian.

Mungkin masing-masing kita hilang berbaur jadi cahaya. Hilang dalam makna. Mungkin kita harus mencari di ruang Jingga, kata yang hilang tentang kita. Karena kita seperti kehabisan kata untuk saling mewarnai.

Pernahkah kau rindu Ayahmu yang telah tiada?
Aku tidak pernah, karena aku selalu rindu Ayahku yang duduk di depanku.






Kabut

Sambil melayang mencari wujudmu di seberang sana...

Mas aku takut. Entah kenapa sekarang hari-hari jadi berkabut untukku. Aku seperti pergi tanpa arah. Berputar-putar di hutan yang pohonnya tumbuh lebat sampai menghalau sinar mentari masuk menyentuh tanah. Padahal kau tau di luar sangat cerah beberapa hari ini. Aku seperti kehilangan titik emasku, titik yang biasanya kupakai bertahan kalau aku lelah berjalan. Titik terang keemasan yang biasanya ada di ujung jalanku, aku tahu masih jauh, tapi karena titik itu aku tetap berjalan.

Mas, kini semuanya tidak gelap, tapi juga tidak terang. Tidak cerah, tapi juga bukan badai. Aku di berada di tengah-tengah, mengawang, melayang, entah dimana. Sudah entah kali berapa aku terbangun dari mimpi-mimpi panjang yang aneh. Yang berkisah tentang putri-putri kesepian yang mengiris-iris lengannya sendiri. Atau mimpi kemarin tentang seorang yang terjebak dalam gedung dan koridor tanpa akhir. Beberapa mimpi lagi aku bahkan tak dapat ingat, tapi semua mimpi-mimpi itu berada padai ruangan yang penuh kabut. Dimana semua hal tampak samar, blur, dingin, kaku dan aku merasa sendiri walaupun dikelilingi banyak orang.

Mas, siang ini aku bahkan tak tahu jam berapa, baru setelah kulihat layar yang tak pernah kedip di mejaku, ku tahu bahwa hari ini hari Jumat. Pukul dua belas siang. Seperti biasa tubuhku gontai, lemas tidur terlalu lama. Tapi aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan selain menonton mimpi-mimpi membosankan yang berkabut itu. Sudah berjam-jam aku duduk menghadapi layar ini, putih tak bernoda, dokumen baru. Tapi tak sepatah katapun berhasil kuketik disana. Sudah entah berapa tumpukan buku, kutelanjangi plastiknya satu per satu, kubaca ringkasan dibaliknya, kutimang-timang, kubuka dari depan ke belakang, dari belakang ke depan. Tapi tak satu barispun selesai kubaca dari bab pertamanya. Aku menyalakan TV besar di depan kamarku, membiarkannya berceloteh ramai dalam heningnya rumah sempit ini. Tapi, aku tak sanggup mencerna satu informasipun darinya, seakan segala yang diucapkannya terbang melintas di atas telingaku. Mas, kamu selalu bilang aku generasi Z, generasi yang mendewakan jaringan global tanpa akhir itu, maka kubuka berbagai informasi di layar ini, Paman Google yang kupuja, yang juga berhalamu. Tapi seperti yang kuduga, warna-warna dan tulisan-tulisan hanya menjadi samar diiringi bunyi scroll naik turun. Mas, aku semakin takut.

Beberapa kali aku ke lemari sepatu, memakai sendal dan ingin keluar. Tapi entah kenapa mentari yang dulu sahabatku menjadi sesuatu yang sangat mengancam sekarang. Seorang kawanku menelpon kemarin dan aku terkejut mendapati diriku lupa cara berkelakar! Aku lupa cara tertawa lepas, sesuatu yang sangat sering kulakukan dulu. Aku jadi meraba-raba kapan terakhir kali aku benar-benar berbincang-bincang dengan manusia sungguhan, bukan layar, bukan pula handphone, dan aku bahkan tak ingat itu. Mungkin sabtu, mungkin minggu lalu, entahlah, rasanya manusia jauh dari hidupku sekarang. Atau masihkah aku manusia, mas?

Entah kenapa dengan aku ini? Aku seperti kehilangan kemampuan untuk berinteraksi, berpikir, mengolah informasi. Aku marah sekali karena entah sudah berapa hari, aku tak juga menulis. Tulisan ini adalah hasil paksaan terhadap otak dan jemariku untuk melakukan sesuatu. Aku juga kehilangan kemampuan untuk membaca, Mas, kau tahu berapa banyak buku yang menangis-nangis diangguri di rak merahku? Bertumpuk-tumpuk! Bahkan sebagian masih dibungkus plastik.Sepertinya hanya dapat kulakukan adalah tidur dan terbenam dalam mimpi. Sering kali aku memaksa diriku untuk melakukan sesuatu, bahkan untuk makan atau mandi, tapi semua sel tubuhku berteriak minta kembali ke ranjang yang kukenal aman, bantal yang melindungi kepalaku dari hal-hal lain. Membungkus dengan kabut mimpi yang kubenci. Tubuhku benar-benar menolak melakukan apapun kecuali untuk memejamkan mata, walaupun tidak mengantuk dan lalu merasakan sensasi melayang-layang yang khas dan lalu terbang ke alam mimpi, kabut samar tak berbatas.

Aku bingung, aku sedih, aku tak tahu harus berobat kemana. Tak tahu harus katakan ini pada siapa, siapa manusia lain yang kupunya selain kamu diujung sana. Kehilangan arah kemana aku harus berjalan. Seakan aku lupa mimpi-mimpi dan tujuanku. Kehilangan minat akan semua bentuk tulisan yang dulu kupuja. Bahkan kini senja tak lagi menarik untuk kupandangi karena kini hanya semburat warna jingga yang berantakan. Mas, ingat diskusi tentang kematian kemarin malam? Aku bilang aku tak takut kematian karena aku tak tahu itu apa. Maka hari ini aku terbangun dari mimpi entah untuk keberapa kalinya dan aku merasa takut. Apakah ini adalah salah satu kematian yang kau maksud? Akhir dari segalanya, termasuk akhir dari minat terhadap aksara dan warna?

Tolong, Mas... bagaimana caranya aku dapat keluar dari lorong kematian ini, kalau memang ini adalah salah satu kematian yang kau takuti.

Kapsul Waktu



Kapsul waktu adalah sebuah kardus atau apapun bentuknya sebuah tempat yang isinya adalah barang-barang dari masa lalu yang ingin kita simpan. Fungsi dari kapsul waktu ini adalah untuk menyimpan serpihan-serpihan kenangan dari masa-masa hidup kita untuk dapat dilihat lagi oleh diri kita di masa depan. Berbeda dengan album yang hanya memuat gambar-gambar kaku, kapsul waktu bisa menyimpan lebih dari gambar. Kapsul waktu menyimpan tekstur yang dapat dipegang, wewangian, barang dan juga foto yang dapat mengingatkan kita pada kenangan atau pada suatu masa dalam kehidupan kita.

Saya sendiri punya kapsul waktu sekitar dari umur 8 tahun. Sejak saat itu saya menyimpan semua benda-benda yang ingin saya tunjukan kepada saya di masa depan, benda yang saat itu saya anggap bermakna. Kapsul waktu saya berisi berbagai peninggalan karya, dari puisi, tulisan, surat, lukisan, foto dan hadiah-hadiah yang saya siapkan untuk saya di masa depan.

Di dalam kapsul waktu juga saya menyimpan berbagai macam postcard, brosur, perangko hasil perjalanan saya ke berbagai tempat di dunia. Saya juga menyimpan berbagai tiket perjalanan, struk belanja, stample bus, kartu hotel, karcis bioskop dan barang-barang yang munkin dianggap sampah oleh banyak orang. Bagi saya, barang-barang kecil itu adalah tiket saya kembali ke masa dimana saya mendapatkan barang-barang itu. Walau hanya secarik kertas struk belanja, dapat mengingatkan saya pada toko yang saya hampiri di Disneyland, benda-benda unik yang saya lihat disana, barang yang akhirnya saya pilih dan beli dan berbagai kejadian unik di toko itu. Atau benda unik dalam kapsul waktu saya misalnya micropet, robot mini yang berfungsi sebagai binatang peliharaan, namanya Kuma. Benda ini adalah hadiah Natal dari sahabat saya waktu SD dan ini sangat berarti walaupun sekarang sudah tidak bisa nyala lagi. Ada juga berbagai nametag yang saya dapat dari ikut berbagai kegiatan. Spanduk “Dukung Ivy” ketika saya kampanye untuk menjadi ketua OSIS, kaos kesayangan dari seorang sahabat yang tinggal di Denmark, dan juga batu koleksi yang saya temukan di Inggris. Berbagai barang itu saya masukan dalam sebuah kotak dan lengkap dengan kenangan tertulis dan surat-surat pesan Ivy di masa kini untuk Ivy di masa depan.

Hari Minggu kemarin saya membongkar-bongkar kapsul waktu dan memindahkannnya ke peti milik Ibu saya. Petinya disebut Peti VOC, karena memang dibuat menjadi replika dari peti jaman kuno. Pindahan kapsuk waktu ini membuat saya mengaduk-ngaduk berbagai kenangan yang ada. Dan juga saya menambahkan berbagai kenangan baru, fase hidup saya dari sekitar kelas 2 SMA dan sekitaran awal berumur 17 tahun. Saya menyimpan kertas-kertas ulangan yang saya dapatkan dengan susah payah di kelas IPA, menyimpan bunga pertama yang saya dapat dari seorang pria, menyimpan berbagai undangan pesta sweet seventeen dan kartu-kartu ucapan selamat untuk saya ketika berumur 17. Menyimpan berbagai kenangan itu membuat saya merenung cukup banyak.

Banyak kenangan, serpihan yang saya coba kumpulkan. Tapi semakin banyak serpihan yang saya susun, semakin banyak pula hal yang menyadarkan saya bahwa saya berubah, saya bertumbuh, saya berjalan jauh dari titik nol. Entah di titik berapapun saya sekarang berada, entah berapa banyak kesalahan yang telah saya lakukan dengan sadar, entah berapa banyak pilihan yang saya buat sekarang dan mungkin akan saya sesali. Saya menuliskan satu surat lagi untuk saya di masa depan, bahwa sebodoh apapun pilihan dan kesalahan yang saya buat sekarang... saya minta untuk tetap dicintai seperti saya selalu mencintai dan percaya akan masa depan. Terkadang hanya itu yang dibutuhkan seseorang di hari beratnya, perasaan diterima dan dihargai oleh masa depan dan masa lalunya. Karena kadang, hanya masa depan dan masa lalu yang kita punya untuk berbagi.

Surat Untuk Sahabat Kecilku

Friday, July 3, 2009


Taken from Fecebook Notes Ivy Londa : Thursday, May 21, 2009 at 10:35pm

Untuk si sahabat kecil,

Lama sekali kamu tidak datang malam-malam ke kamarku? Mungkinkah kamu lupa alamatnya atau terlalu banyak hal untuk dikerjakan di atas sana sehingga entah purnama kamu pergi... atau mungkin.. karena malam-malam ini aku terlalu sibuk dengan kehidupanku sendiri? karena malam-malam yang dulu kita habiskan untuk mengobrol dan tertawa-tawa sampai ke mimpi, kini digantikan dia yang menemaniku tidur dari jauh sana.
Aku minta maaf, walau aku tau maaf tak ada artinya. Aku tetap ingin minta maaf karena aku telah lupa pada sahabat kecilku, sahabat yang memelukku lembut saat aku menangis dalam sunyi di lemari bertahun-tahun yang lalu, sahabat yang tumbuh bersamaku melewati setiap perang hidup yang kulalui, sahabat yang bersamaku baik di puncak podium tertinggi atau di jurang paling dalam sekalipun. Aku minta maaf...

Maaf telah melepaskanmu pergi, karena keegoisanku yang begitu rupa. Maaf karena doa malammu digantikan suaranya menemaniku tidur.. maaf karena aku tak lagi cerita padamu apa saja, karena aku ceritakan semua hal padanya, karena aku lebih menantikan dia daripada kamu dimimpiku... Maaf...

Sha, kemarin-kemarin aku menangis. Dan betapa terkejutnya aku, menyadari kamu tidak ada disampingku. Aku panggil kamu perlahan sampai setengah berteriak, tapi kamu hilang. Aku sadar, sejak aku tahu arti sahabat, kamu selalu ada disampingku. Tertawa dan menangis bersamaku. Berbagi rahasia dan canda yang hanya kita berdua yang dapat mendengarnya. Aku ingat saat sepi itu, entah berapa tahun yang lalu, ketika semua orang pergi dari pelangiku, hanya kamu yang mau menemaniku di gelap dan sunyinya lemari kamarku. Kamu tidak menangis, tidak juga menyuruhku berhenti menangis, kamu disana dan menemani aku sampai aku tertidur pulas di pelukmu. Aku ingat, saat kita menjelah benua baru, negara baru, saat itu aku tersesat dan malam telah larut, tapi kamu memegang tanganku di halte Southwick itu dan kita temukan jalan pulang. Aku ingat, saat aku dicerca puluhan orang di sekolah dulu, tapi kamu disana tersenyum dan seketika hatiku longgar. Aku ingat, saat aku lewati hari-hari kelam itu, saat aku temukan tenang dalam merah itu, kamu tidak tepiskan pisau itu, tapi kamu hanya tetap bilang 'jangan lupa, aku tetap sayang kamu'. Kata-kata itu yang membuatku tetap hidup, percaya bahwa kamu satu-satunya yang kumiliki yang tak akan meninggalkan aku. Aku ingat, saat aku jatuh cinta, kamu tersenyum yang tak dapat kumengerti artinya dan kamu disana disaat-saat aku melayang jauh..

Kamu semakin buram ketika aku tenggelam dalam dunia baru yang kutemukan, kamu tidak menuntutku marah, kamu hanya diam, berkata kamu tetap disana. Tapi aku yang membunuhmu perlahan. Aku ingat ketika dulu kita berbagi kesunyian dalam gelap, aku tanya 'kenapa kamu ada?' dan kamu jawab 'aku ada, karena kamu percaya' dan saat itu aku percaya kamu disampingku selamanya.

Aku sungguh terkejut menemukan diriku meringkuk kesakitan, menangis didekap bantal hijau kesayanganku. Aku menantikan belaianmu dipunggungku untuk membuatku reda, tapi kamu tidak datang. Aku sadar, aku telah memusnahkanmu seiring aku tidak lagi menciptakanmu dengan apa yang kupercayai. Aku sungguh takut kamu tidak kembali... Sekarang aku sendiri dan ketidakhadiranmu sungguh terasa. Malam-malam kemarin sepi tanpa seorang pun. Kamu tahu, dari kecil aku paling tidak bisa tidur sendirian. Sehingga setiap malam kamu temani aku dalam temaram lampu, mencritakan cerita-cerita dari negri seberang, memberikanku mimpi-mimpi indah dan meyakinkan aku untuk tidak pernah takut kehabisan cerita.

Jadi aku menulis surat ini sayang, semoga jauh sampai ke atas sana. Dan kembalilah disampingku... Kutunggu malam ini, kubuka jendela kamarku selebar mungkin supaya kau mudah masuk, kuletakkan lukisan-lukisan masa kecil kita agar kau tau itu jendelaku. Aku tunggu kamu, sampai kamu memaafkan aku. Aku tunggu kamu sampai kamu yakin aku berjanji. Aku sayang kamu... biar mereka bilang aku gila, biar mereka mencoba membunuhmu dengan segala macam cara, biar mereka pikir kamu telah lama pergi. Aku tetap sayang kamu.... kembalilah sahabat kecilku, aku menunggumu...


Sahabatmu,
Si keriting

***************************************************************************

kamu percaya setiap orang punya belahan jiwa?
Aku punya... dan aku percaya belahan jiwa itu diciptakan...
kamu?



Celoteh Si Bungsu Yang Terakhir

Friday, July 3, 2009

Taken from Facebook Notes Ivy Londa :

Kau tahu Kak, butuh waktu lama bagiku menatap layar putih ini. Kupikir akan kurangkai berbagai kata indah, kujadikan puisi cantik, walau ada yang bilang puisi tak selalu harus ditulis. Aku mengetik lalu menghapus, mengetik lagi beberapa kata lalu menghapus semuanya. Tak kutemukan kata yang tepat untuk memulai celoteh ini.

Kak, mungkin sudah sering kau dengar, betapa kita bersyukur dapat bergandengan rapat di pantai ini. Dan bagaimana kita berharap, bila masa ini tak akan habis. Kita tetap satu, dalam pantai kita duduk dalam diam atau tawa atau mungkin tangis. Tapi kita tetap rapat, peluk yang tak tergantikan.
Kak, ini juga sudah sering kau dengar. Bagaimana Si Bungsu ini merasa begitu beruntung memiliki keluarga yang merah merona. Bagaimana Si Bungsu ini menyayangi kalian semua, Kakak-kakaknya tercinta.

Tapi Kak... Ah... Aku ketakutan tiba-tiba. Takut keluarga ini pecah berantakan, keluarga yang kita bangun di atas pantai tanpa air laut ini, dengan mimpi dan kehampaan yang kita temukan bersama. Takut kehilangan kalian, yang pergi satu per satu seperti aku kehilangan sahabat-sahabatku dulu.Tapi kita bukan sekedar berkawan! Kita keluarga yang telah diikat oleh darah mimpi dan perasaan saling sepi yang entah mengapa dipenuhi senyummu.

Jika ada yang dari kita akhirnya harus pergi karena memang waktu yang bersabda, maka biar yang lain tetap berangkulan sama rapatnya, lebih rapat malah dari sebelumnya. Dan jika harus ada yang pergi, biarlah hanya.... hanya... hanya... karena waktu yang memang sudah habis. Hanya karena waktu, Kak... Bukan karena yang lain.

Kak, aku tentu tahu bahwa aku hanyalah Si Bungsu yang gemar berceloteh. Aku tentu tahu bahwa aku bukanlah seseorang dalam keluarga hebat ini yang dicari untuk dibagi. Tapi aku mencintai keluarga ini lebih dari apapun yang berwarna merah! Dan kujaga ini seperti sebuah batu rubi rapuh yang mempesona. Tak seorangpun... tak seorangpun, Kak, kubiarkan untuk merusaknya.
Kak, aku ketakutan. Bahkan di malam buta ini aku tak dapat terpejam menanti besok yang mungkin saja akan buruk... atau mungkin saja baik-baik saja?

Kak, ini celoteh kosong Si Bungsu yang kuyakin membosankan. Tapi andai aku bisa memeluk kalian semua di pantai malam ini, besok, lusa dan seterusnya tanpa takut kalian pergi.... Kak, kubelah-belah hatiku yang merah ini. Kutitipkan masing-masing sepotong adil di kantung kalian. Rasakan hati itu berdenyut walau lemah, rasakan hati itu ingin menghangati walau mungkin tetap dingin, dengar ia berteriak-teriak walau seperti bisikan ‘aku sayang kalian!’. Jadi jangan ada yang pergi jauh dari sini, karena sepotong hatiku di kantungmu.

Kak, kita keluarga. Dalam keluarga mungkin saja saling menyakiti. Mungkin saja ada yang jatuh. Tapi bukankah yang terutama adalah bagaimana kita mendekap yang galau,bukan mendakwa. Bukankah yang terpenting adalah menangkap yang jatuh, obati lukanya dengan senyuman.
Kak, aku hanya Si Bungsu. Mungkin lenganku tak cukup kuat menangkap yang jatuh, tanganku tak cukup panjang mendekap yang galau. Tapi Kak, aku berjanji untuk berusaha menjadi Bungsu paling manis bagi semuanya. Apapun, asal kita tetap bersama.

Kak, malam ini aku menangis khawatir sampai tertidur pulas. Besok kuharap segalanya baik-baik saja. Bukankah Ayah selalu bilang, akan ada mentari yang lebih cerah esok hari. Dan aku percaya itu. Aku percaya, matahari akan sama tingginya besok, nasi goreng akan sama nikmatnya besok, dan pantai akan tetap lenggang menanti kita. Dan kita tetap akan duduk rapat, mendekap satu sama lain dan menunjukan pada siapapun yang datang, bahwa ini bukan keluarga sembarangan yang dapat semudah itu dipecah belah.

*dan setelah ini... aku janji ini akan menjadi celoteh yang terakhir dari si bungsu yang gemar berceloteh.


Kalau Suatu Hari Aku Lupa


Sunday, July 5, 2009

“Pak, maaf numpang tanya.. Ini 67 bukan? Yang ke arah Sudirman?” Kutanya sambil tersenyum pada seorang bapak yang duduk di pinggiran tembok jalan. Bapak itu mengangguk. Kuucapkan terima kasih dan kulambaikan tangan pada kuda besi yang tak berhenti kentut. Kunaikan satu kaki diatasnya dan bus itu melaju, kulempar badanku kedalam sambil merasakan sensasi aneh yang kurasakan, takut sekaligus senang-semangat menyambut pagi.
Bayanganku akan pagi yang kusambut dengan senyum di dibuyar oleh kocokan receh yang digoyang di depan wajahku. Oh... minta ongkos, sahutku dalam hati. Kubayarkan 5000 dan aku lihat apakah ia berikan kembalian. Ternyata kudapatkan kembali 3 lembar ribuan, wah.. cukup murah. Aku meneliti jalan dengan seksama, takut gedungnya terlewat. Sang Jendral kulewati dengan tersenyum, namun aku terhempit antara tas dan orang-orang yang berjejal keluar. Tas ransel ku yang besar kugendong saja seperti biasa, yang belakangan baru kuketahui bahwa itu sasaran empuk untuk para copet.
Gedung putih bersisik itu terlihat, kukatakan pada si penjaga pintu. Ia mengetukkan koin keras ke besi palang, aku tersentak kaget kupikir ia marah. Oh.. ternyata itu tanda untuk berhenti. Segera kulangkahkan kaki kananku keluar, aku agak limbung karena bus itu segera melaju tak mau menunggu. Kemudian hari aku baru tahu bahwa agak seimbang turunlah dengan kaki kiri terlebih dahulu. Wah.. ternyata untuk naik bus kota saja ada beberapa ilmu yang harus kumiliki. Belum lagi menghafal angka bus yang sangat menyusahkan untuk manusia dengan ingatan pendek sepertiku.
Kelasnya berbangku tak banyak, ketika ku masuk sekumpulan anak sedang bertukar nama. Beberapa dari mereka sudah saling mengenal tampaknya. Aku berusaha tidak membuat penilaian apapun pada sekumpulan gadis-gadis itu. Aku tersenyum dan memberikan namaku, sambil berusaha mengingat nama dan wajah mereka yang dikepalaku, wajahnya sama semua.
Mengapa baru seminggu kutulis tentang ini? Karena kupikir seminggu adalah waktu yang cukup pas. Aku tidak terlalu terburu-buru menilai, tapi juga belum terlalu dekat untuk menjadi subjektif. Jadi harusnya segala yang kutulis ini, kuharap menjadi sesuatu yang cukup objektif.
Gadis-gadisnya cukup ramah, beberapa dari mereka berasal dari sekolah internasional, tentu saja mereka cas-cis-cus bicara bahasa inggris. Ada yang selalu memakai heels, dan juga dipoles sedemikian rupa hingga mereka cantik-cantik. Ada yang cukup sederhana, agak pemalu dan tak banyak bicara. Ada yang gemar bicara, wajahnya bulat dan sangat gemar makan. Dan sepertinya dari tanggapanku seminggu ini mereka semua gemar sekali hidup dalam sistem komunal. Ke toilet harus bersama, makan siang diputuskan bersama, ambil air minum bersama, bahka ke loker pun bergerombol bersama. Bukan aku tak mau bersosialisasi. Namun aku cukup senang melakukan apa-apa sendiri. Jadi kadang kutolak lembut ajakan mereka pergi ke toilet dan pernah suatu kali, aku tertinggal mereka makan siang. Jadilah mereka menanyakanku, mencariku sehabis kembali makan. Aku berterimakasih, tapi kujelaskan bahwa kadang aku tidak keberatan melakukan sesuatu sendiri. Aku lebih suka makan siang sendiri si sofa sambil baca majalah, lalu menghangatkan diri di balkon. Untung saja mereka cukup mengerti.
Hampir semua dari mereka diantar dan dijemput mobil pribadi untuk pulang dan pergi. Hanya satu gadis yang kutahu juga naik angkutan umum karena rumahnya jauh di tanggeran sana. Aku pun cukup bangga dengan keputusanku naik angkutan umum untuk pulang dan pergi. Walau awalnya Ibuku agak keberatan tapi keputusanku bulat. Aku bukan lagi pelajar menengah sekarang. Disini aku belajar jadi mahasiswa, luar negri pula. Jadilah aku malu kalau masih naik-turun mobil jemputan. Pilihan yang kubuat untuk diriku sendiri adalah bawa mobil ibuku atau angkutan umum. Sedangkan pilihan membawa mobil ibu sepertinya tidak mungkin, karena sekalipun nanti aku bisa menyetir, jalan itu kena three in one di pagi hari. Dari pada repot, ada baiknya juga kupilih bus kota, aku jadi mengenal kotaku dari sisi yang lain. Di luar sisi yang selama ini kulihat dari sekolah hedon lamaku.
Pelajarannya cukup kusuka, walau pakai bahasa inggris yang membuatku berpikir ekstra. Tadinya aku pesimis aku akan jadi yang terbodoh di kelas. Tapi ternyata banyak dari mereka yang masih memiliki masalah bahasa lebih dari aku, sehingga aku cukup tenang. Kelasku sangat dingin, kadang saat pikiran-pikiranku melayang jauh, aku berpikir berapa banyak listrik yang mereka gunakan untuk mendinginkan ruangan kecil ini. Ugh... lagi-lagi global warming.
Pelajarannya pasti berkiblat pada barat, ekonomi barat, hukum negri kanguru, kebiasaan barat dan lain-lain. “Kalian akan masuk Universitas untuk menjadi accounting, bukan book keeper. Siapapun bisa melakukan pekerjaan buruh itu. Jadi kalian tak perlu pusing, akan ada orang lain yang mengerjakan bagian itu” Itu salah satu petikan omongan guru akuntansiku. Wah... Bukan main. Entah memang kami dididik dengan mental sarjana atau itu bagian dari doktrin kapitalis tinggi?
Bukan saja pelajarannya yang harus banyak-banyak kusaring dalam mengintepretasi, tapi juga lingkungan sekolahnya. Hari sebelum masuk, kukatakan pada kakak sekaligus temanku “Ah.. tik! Hedonisme macam apa yang harus gue hadapi? menghadapi satu kelas penuh anak-anak yang orang tuanya mampu membayar 100 juta per 10 bulan? Ah..pasti itu bahkan lebih parah daripada sekolah hedon lamaku kan?” Dan ia hanya menggangguk sambil tertawa ringan, lalu sambil dirangkulnya pundakku ia bilang “ Tenang saja.. it’s all gonna be fine... Masa seorang Ivy Londa tidak bisa beradaptasi pada hal kecil macam itu?” Aku tersenyum dan menggangguk lemah. Dalam hatiku, aku ingin teriak “Bukan masalah aku bisa beradaptasi atau tidak. Aku SANGAT takut kalau secara tidak sadar akhirnya aku menjadi bagian dari mereka, hedonisme menjijikan itu sendiri”
Kini sudah seminggu kuhadapi berbagai doktrin kapitalis dan lingkungan hedon yang makan siang dengan harga 50ribu sekali makan. Ah.. besok-besok aku akan bawa makanan dari rumah saja atau beli nasi bungku di depan sana. Aku masih baik-baik saja, filter di kepalaku masih berfungsi benar. Aku masih mendengar suara dalam kepalaku yang mengingatkan ‘Hei! Ingat.. kamu belajar TETAP untuk negri ini nantinya. Biar kamu belajar sampai ke ujung dunia pun, bangsa ini yang harus lebih dulu kau bangun. Jadi dengan kiblat manapun sekarang kau dididik, tetapkan kiblat bagi dirimu sendiri, paku hati disitu agak kau tak lupa, paku di tanah negri ini, untuk bangsa ini. Bangsamu sendiri.’
Dan yang membebani hatiku sekarang, kuharap sangat berharap bahwa filter di kepalaku itu tak akan rusak. Berharap bahwa kiblatku tertancap benar. Aku takut sekali kalau suatu hari kusadari diriku menjadi bagian dari semua yang kubenci sekarang. Oh.. semoga saja tidak. Tapi sampai kapan filter kepalaku sejernih semula? Setidaknya setiap kali filter kepalaku kotor, aku punya tulisan ini dan bus kota yang mengingatkanku tentang mimpi dan cita-citaku. Ya... ternyata keputusan untuk naik kuda besi kentut-kentut itu adalah keputusan yang cukup benar. Setidaknya untuk dapat berkenalan dengan kota ini yang menjadi representasi dari bangsa yang sedang merangkak bangun ini. Dan semoga saja, 4-5 tahun nanti saat aku selesai dengan urusan tanggung jawab sebagai manusia terdidik, aku masih punya waktu untuk membenahi negri ini, mungkin saja dimulai dari... kotaku dan kuda-kuda besinya. 

Ayah, Cepat Pulang


Sunday, June 28, 2009



Kak! Ayo cepat kesini... Ayah datang.
Ayah membawa mainan yang sangat menarik
Ditentengnya sebuah benda, yang paling aneh yang pernah kulihat
Kami berkumpul di ruang keluarga, mengamati dan melihat-lihat
Mainan ini sangat aneh bentuknya, lucu dan sangat pintar
Berbeda dengan segala boneka yang Ayah beli di negri kincir, negri bambu, ataupun negri 1001 malam
Berbeda dengan semua bola dan mobil balap yang Ayah beli Inggris, di Prancis atau di Amerika
Ayah memang hebat! Ayah memang sangat baik!
Kita semua bermain bersama, sibuk mengelilingi mainan menarik ini.
Kutanya Ayah ‘Yah, boleh ku memilikinya?’
Ayah bilang ‘Jangan Dik, biarkan saja disitu. Turuti kata Ayahmu ini ya, Bungsuku sayang’
Aku pun mengangguk kecil, sedih, tapi kupikir aku anak baik yang penurut.
Ayah pergi lagi, kali ini urusan pekerjaan yang tak dapat ditundanya
Ah... Ayah... Kapan pulang?
Rumah sepi Yah... kakak sibuk bermain, aku sendiri.
Rumah ramai Yah... Kakak ramai berebut, aku sedih.
Rumah jadi tak bersahabat.. Kakak saling diam, memendam amarah dan rahasia
Kasak-kusuk dimana-mana, seribu topeng, dan beberapa malam kulihat kakak menangis
Aku ikut pilu Yah... sedih tercabik-cabik... melihat kakak yang ini menangis disini, kakak yang itu menangis disana.
Tapi apa dayaku, Si Bungsu ini Yah?
Aku bukan yang mereka cari untuk berbagi.
Kucoba berlutut disamping Kakak, kukecup pipinya, kupeluk tubuhnya, ‘Kak aku mau menangkapmu’
Tapi ia tetap saja bungkam, ah.. mungkin lain kali Kakak cerita
Ingin kubuang mainanmu itu Yah... yang membuat rumahku jadi sunyi begini.
Ingin aku marah dan meledak, tapi Ayah selalu bilang untuk tenang, jangan salahkan siapapun.
Jadi kupandangi saja semua ini, dengan tangis dalam hati, takut keluargaku pecah
Keluarga manis yang kumiliki.. kini dilipus sunyi dan sendu.
Ku ingat pesanmu Yah... ‘Bungsu, jaga keluarga kita ya, selama Ayah pergi’
Kan kujaga mereka Yah... dengan segenap serpih hatiku
Yang bedenyut lemah di masing-masing kantung jubah mereka
Dan juga di kantungmu , Yah! Kau rasakan itu? Kuselipkan semalam sebelum kau pergi kerja.
Ayah cepat pulang... selesaikan semua ini.
Ajak kami bicara di ruang keluargamu yang nyaman.
Yah, kupegang janjimu ya...
Selama masih kau Ayahnya, kau jaga keluarga ini tetap utuh.
Apapun yang terjadi.

Status Update : ‘Saya Berpikir Tentang Cyber Land.’

Thursday, June 25, 2009


Cyber land telah menjadi fenomena yang menggemparkan abad ini. Bagaimana tidak? Siapa yang tidak tahu facebook, twitter, my space dan berbagai laman jejaring pertemanan di dunia maya saat ini. Berbagai jejaring pertemanan itu bagai telah menyihir jutaan manusia tanpa pandang umur. Orang tua sampai anak-anak Sekolah Dasar yang baru melek internet pun ikut dalam fenomena cyber tersebut. Dan tentu saja, kelompok masyarakat paling vital yang menjadi mayoritas penduduk komunitas cyber land itu adalah remaja dan pemuda.

Kebiasaan-kebiasaan konvensional seperti membaca koran pagi ditemani kopi, kini tak lagi asing digeser oleh aktifitas ‘update status’ ditemani kopi. Rata-rata dari remaja dan pemuda, dalam hal ini tidak menutup kemungkinan pada rentang umur yang lebih tua, menghabiskan sekitar 30 menit setiap hari dalam 24 jam yang berharga untuk singgah dan bermain-main di ranah cyber itu.Bahkan bagi beberapa orang yang di luar kebiasaan, mereka dapat menghabiskan waktu lebih lama dari 3 jam untuk sekedar berjalan-jalan di cyber land tercinta. Entah sekedar mengubah status yang akan menjadi konsumsi seluruh tetangga cyber land sedang apa-dimana kita, mengunggah foto-foto terbaru si Ini yang baru dari situ, atau pun bagi yang rajin menulis puisi atau jurnal harian untuk dikomentari para penduduk cyber land. Belum lagi fenomena smart phone yang memudahkan akses internet cepat dan fasilitas ‘berkunjung’ ke cyber land secara lebih ringkas.

Fenomena jejaring sosial yang dianggap beberapa orang malah meng-asosialkan ini memang menuai banyak pro dan kontra. Bagi beberapa orang, fenomena ini bahkan dianggap mengarah pada fenomena sosial yang mengacu pada perubahan tingkah laku masyarakat dunia. Sebagian beranggapan bahwa ini hanyalah salah satu dampak dari globalisasi yang memang begini adanya, tanpa batas ruang, jarak dan waktu. Jadi jangan diambil begitu serius, toh ini hanya dunia maya dimana siapapun dapat menjadi apapun dalam ‘negara’ dengan penduduk terbanyak nomor 3 di dunia itu.

Justru disini yang menarik, akhirnya fenomena ini bukan hanya berakhir pada perubahan tingkah laku saja. Tapi lebih dari itu, masyarakat kita, khususnya remaja dan pemuda diajak bersembunyi di balik pribadi-pribadi berfoto yang terpampang berbagai macam rupa di negri Facebook sana. Siapa yang ada di balik foto-foto tersenyum itu? Tidak ada yang tahu. Karena Facebook bisa jadi adalah representasi mimpi dari pengguna Facebook tersebut. Bagaimana di dalam Facebook, penduduk-penduduknya seakan memiki rutinitas yang dibangun dengan pola seolah mereka semua hidup dalam kehidupan nyata.

Hal ini pernah disinggung seorang filsuf post-modern asal Prancis, Jean Baudrillard dalam bukunya berjudul Simulacra And Simulation. Merasa pernah dengar? Tentu saja anda akan ingat film The Matrix, dimana Neo menyembunyikan illicit software-nya dalam buku berjudul sama. Dalam bukunya,Baudrillard menyatakan bahwa masyarakat modern telah mengganti realitas dengan makna, simbo dan tanda-tanda, dan bahwa pengalaman manusia adalah sebuah simulasi kenyataan daripada kenyataan itu sendiri. Baudrillard merujuk bahwa simularca adalah tanda-tanda budaya dan media yang membuat kenyataan itu seolah-olah dirasakan. Baudrillard percaya bahwa masyarakat telah menjadi begitu percaya pada simulacra yang telah kehilangan kontak dengan dunia nyata di mana simulacra berasal.

Lalu apa hubungannya simulacra dan fenomena sosial remaja saat ini? Tentu saja ini menjadi sesuatu untuk direnungkan, bagaimana remaja dan pemuda saat ini terjebak dalam sebuah samudera simulacra yang entah dimana tepiannya. Sesuatu yang buruk kah? Mungkin saja iya atau mungkin juga tidak. Mungkin saja akhirnya ini hanya menjadi sebuah bagian dari alur novel. Seperti yang ramai di suarakan para penduduk cyber land sendiri bahwa Facebook dan jejaring sosial lainnya adalah novel paling polifonis yang ada di dunia cyber saat ini. Dimana tokoh-tokohnya memiliki cerita sendiri yang berkembang mengikuti alurnya masing-masing tanpa siapapun yang mengarangnya.

Atau mungkin pula akhirnya Facebook hanya menjadi salah satu bukti yang membenarkan anggapan bahwa masyarakat kita telah begitu kehilangan identitas dalam realitas yang sesungguhnya. Banyak dari kita yang merasa lebih leluasa dan menjadi dirinya sendiri dalam topeng atau bisa dibilang dalam sebuah selubung identitas lain yang dianggap seolah-olah nyata. Ingat karya Shakespeare ‘As You Like It’, dimana Rosalind dalam penyamarannya sebagai laki-laki dapat lebih leluasa menyatakan cintanya pada Orlando. Seperti itu lah fenomena selubung identitas begitu menjadi tren dalam masyarakat sosial kita. Manusia bertopeng yang hidup antara simbol dan pengalaman yang dianggap nyata, lebih dari realitas itu sendiri. Dan semua ini benar-benar terjadi dalam cyber land tercinta.

Jadi mungkin Peterpan benar menciptakan lagu “Buka dulu topengmu.. biar kulihat wajahmu...”. Mungkin terlalu banyak orang dan yang menyedihkan adalah orang-orang itu adalah pemuda yang harusnya menjadi pegangan untuk masa depan, yang terjebak dalam lautan simulacra, antara realitas dan teks yang diciptakan. Jadi sebenarnya siapa kita? Bukankah pertanyaan ini memberikan tanda tanya sekaligus pembenaran besar. Bahwa yang kita hadapi bukanlah sekedar dampak dari globalisasi besar-besaran dan postmodernisasi. Melainkan sebuah krisis identitas sosial dalam fenomena cyber ini, dimana sekali lagi, seperti banyak masalah lainnya, pemuda dan remaja dibebani tanda tanya dan tanggung jawab paling besar sebagai ujung tombak perubahan dan masa depan.


Aku percaya ada malaikat...

Monday, May 11, 2009

Aku percaya Dia mengirimkan malaikatNya. Yang aku tak habis pikir... sebesar itukah cintaNya padaku? Sampai bahkan, ketika Ia tahu aku akan terluka, ia menyiapkan morfin untuk pereda, tidak untuk menyelsaikan tapi paling tidak untuk membuatku tenang.
Aku gak peduli, sahabat-sahabatku bilang aku mulai gila. Bilang kalau mungkin morfin itu berbahaya, bilang kalau morfin itu hanya sementara. Aku tidak peduli. Yang aku tahu, dia datang dari angkasa memberikanku bunga-bungaan yang aku tahu akan layu, tapi cukup untuk membuatku tidak menangis malam itu.
***

Malam datang, aku patah hati. Seberapa pun aku coba untuk menyambungnya kembali, patahan itu patah lagi dan lagi. Semakin mengeluarkan darah yang merembes melalui tulang-tulang dadaku. Aku kesakitan, sampai aku tidak lagi dapat menangis. Segalanya terulang di kepalaku seperti sebuah film yang tak dapat kuhentikan, suara pertamanya, genggaman tanganya, kecupan pertamanya, tatapannya, dan segalanya yang terbiasa aku rasakan di hampir purnama kelima ini.

Lalu tiba-tiba sebuah sapaan kecil membuatku terjaga dai gelapnya kamarku yang hanya diterangi lampu lava warna ungu. Tulisnya 'Apakah sebenarnya kita ini hanya ingin dicintai?'. Siapa pula orang asing yang mempertanyakan sebuah pertanyaan yang tak asing bagiku? Dia teman baruku, yang baru saja kukenal malam sebelumnya, entah siapa dia? awalnya akupun tak peduli. Tapi lalu dia menanyakan pertanyaan yang sedang kucari jawabnya.

Kujawab, 'pada dasarnya setiap orang ingin dicintai DAN disakiti'
'kenapa begitu?' tanyanya heran
"karena ketika cinta itu datang..."
"tapi cinta itu datang seperti pencuri" dia memotongku
"Ya.. cinta datang seperti pencuri, tapi kita punya hak menentukan untuk menerima atau menolak cinta itu. Ketika kita menerima cinta itu, kita tahu dengan menerima cinta kita siap untuk disakiti. Sehingga jika kita ingin dicintai,, artinya kita pun ingin disakiti" sahutku panjang lebar. Dia termenung lama.
"hahahaha sudahlah.. jangan ngomong sama gw.. gw cuma orang yang lagi patah hati. Kalo lo lagi patah hati juga, mendingan jangan ngomong sama gw, daripada ntar kita berdua bunuh diri!hahahah" aku pun tertawa renyah meledeknya.
"Kamu sedang patah hati?" tiba-tiba tanyanya mengagetkan ku.
"Yep.. tapi yaudalah yaa.. gw harus belajar ngatasin sakit hati" aku berkilah.
"Apa hati yang tertutup luka tidak bisa lagi melihat indahnya cinta?" tanyanya lagi
"Luka? cinta?" tanyaku semakin bingung "bentar deh.. elo ceritanya mau menghibur ato mengejek gw? gw perlu tau, karena gw harus nyiapin hati"
":) aku hanya mau menghibur kamu" sahutnya
"Oke. Thx hahahaa.. ngobrol sama orang yang gak dikenal dan dihibur tentang patah hati adalah hal pertama yang gw butuhin saat ini" sekali lagi sahutku asal.
"Ivy...Dunia di balik bentengmu itu indah, indah karena cinta dan bunga-bunga yang bersemi. Jadi jangan biarkan tertutup luka."
Tiba-tiba aku tersentuh oleh kata-kata sederhana itu, "You make started to cry" kataku padanya.
"Sorry... i just want to make you smile, aku akan temani kamu malam ini sampai kamu tertutup kabut mimpi. Aku akan lakukan apa saja untuk buat kamu tersenyum."
"Kenapa? kenapa ingin buat aku tersenyum? Kamu kan gak kenal aku?"
"Haruskan aku kenal kamu untuk boleh membuat kamu tersenyum. Aku gak bisa membiarkan seorang gadis ditutupin mendung. Kamu tahu? Bintang-bintang dari tempatku berasal redup karena mendungmu."
"Siapa kamu??? Kamu datang menanyakan tanya yang kucari jawabnya. Kamu datang, seolah tahu tangisku. Siapa kamu?" tanyaku semakin bingung
"Aku Doni, sudah kukenalkan namaku kemarin. Aku hanya temanmu, yang ingin membuatmu berhenti menangis. Aku hanya orang yang mencari bulan dari kehangatan malam."
"Tapi aku bukan bulan. Dan kamu bicara seperti kamu ini pernyair. Apa kamu penyair?"
"Aku bukan penyair, aku bukan siapa-siapa. Dan jangan jadi bulan, karena aku tak pernah bisa jadi bintang untuk temani kamu"
Aku termenung, bingung, bahagia, sedih, sakit dan entah apa lagi yang harus kurasakan.
"Mau kamu berbagi apa yang menghapus senyum di wajahmu? Kalau dengan begitu aku dapat menghapus air matamu?" tanya lagi setelah bermenit-menit kami lalui dalam diam. Entah apa yang mendorongku untuk bicara.
"Dari kecil aku hidup dalam benteng yang dibangun dengan tekad yang kuat, dari kecil aku belajar tahu bahwa hidup itu perang dan kita harus punya pertahanan untuk menang. Aku pun berhasil hidup tanpa pendamping. Apalagi seorang lelaki, sejak aku tahu perbedaan antara laki-laki dan perempuan, aku tahu bahwa aku tidak butuh mereka untuk melengkapi hidupku. Yang aku tahu semua makhluk berpenis itu brengsek. Tapi lalu suatu senja, sang putra langit datang tersenyum padaku. Memasuki benteng pertahanan yang entah berapa belas tahun kubangun. Dia meyakinkan aku bahwa dunia ini indah dibalik benteng itu. Dan dengan kepercayaan padanya, aku merubuhkan benteng hatiku lapis demi lapis. Dan percaya bahwa cinta itu indah di luar sana. Tapi lalu dia pergi. Aku kesakitan, Don.. lalu fakta yang kutahu, bahwa dia tidak pernah mencintaiku seperti dia mencintai perempuan sebelum aku. Bahwa cintanya tidak akan pernah untukku.."
Dia termenung lama sekali... sehingga awalnya kupikir dia telah pergi.
"Jangan menangisi laki-laki bodoh yang tega menghapus senyum dari wajahmu, Vy. Maaf mungkin aku kasar. Tapi laki-laki itu adalah laki-laki beruntung yang bodoh. Beruntung karena dicintai, tapi sangat bodoh melepaskan itu." jawabnya tiba-tiba.
"Dia tidak bodoh. Dia hanya memilih. Dan ia memilih pilihan yang menurutnya benar"
"Apa yang bisa aku lakukan untuk mengembalikan senyummu lagi?"
"Tidak ada.. aku sudah sangat bahagia kamu mau aku ajak bercerita"
"Jangan nangis lagi ya... hehehehe" sahutnya lalu lebih santai.
"Aku TIDAK menangis!"
"Kamu anak paling kecil ya?" tanyanya
"BUkan.. aku sulung malah.. kenapa memang?"
"hehehe masih kelihatan cengengnya.. :)"
" AKu enggak nangis! Aku ga cengeng! Aku gak pernah benar-benar menangis lagi sejak usiaku 8 tahun. Sejak ayah dan ibuku berpisah, aku belajar untuk menangis dalam diam di dalam lemari, karena kalau aku menangis, mamaku sedih."
"Sorry.. aku gak maksud bilang kamu cengeng. Aku bangga sama kamu, Ivy..."
Kami berdua diam tak tahu harus apa.
"Don, Aku boleh minta sesuatu?"
"Apa saja..."
"Aku mau dengar suara kamu.. supaya aku tahu kamu nyata. Aku bahkan takut aku ini gila dan semua percakapan ini hanya ada di kepalaku saja!"
"Aku masih menginjak bumi, artinya aku nyata kan?.... Suaraku tidak merdu, nanti kamu mimpi buruh mendengar suaraku.. :) "
"Aku tidak peduli suaramu jelek, aku hanya ingin dengar"
"Nanti ya.. ada waktunya.. aku belum siap. Melihat senyummu saja aku gemetar. Bagaimana aku mendengar suaramu? Aku bisa diam seribu bahasa."
"Tapi kamu kan belum pernah lihat senyumku"
"Kamu tahu? nenek moyangku bilang, wanita adalah makhluk paling indah yang ada di muka bumi. Dan itu benar"
"Bukan wanita yang paling indah di muka bumi, tapi hatinya." sahutku gusar
"Dan tahu tidak? Bahkan malaikat dan peri-peri pun tidak secantik itu"
"Memang kamu pernah lihat malaikat atau peri?"
"Belum, aku belum pernah melihat mereka. Tapi aku sedang memandangi senyum seorang gadis di layarku. Dan hatinya begitu indah, aku percaya dia lebih indah dari malaikat dan para peri"
"Kamu gombal. hahahahaha" sahutku merasa konyol. "Aku jelek.. aku tidak secantik para peri dan malaikat."
"Entah mengapa aku gak bisa percaya kamu. Dan aku gak berusaha untuk gombal, aku pun tidak berusaha untuk membuatmu percaya aku"
"Kamu aneh banget sih. hahahaha kamu lucu."
"Lucu? Lumayan cupu??"
"hahahahahaha kamu membuat aku banyak tertawa malam ini, Don"
"Berarti selesai tugasku. Tetap tersenyum seperti mentari, Ivy"
"Makasih ya.. aku pun gak pernah bertemu malaikat atau peri, tapi aku yakin salah satunya sedang duduk mengetik ucapannya di depan layar"
"Oh no.. aku bukan malaikat.. aku tidak pantas untuk itu"
" :) " entah apalagi yang harus kuketik.
"Sudah.. ayo tidur... besok kamu kesiangan.. memang kamu tidak ngantuk?"
"Besok aku libur.. dan aku pun gak akan bisa tidur dengan pikiran yang riwet begini"
"Sudah ya Ivy, aku masih harus lanjutkan besok"
"Okay.. selamat tidur ya.. mimpi indah"
"kamu juga.. jangan nangis lagi ya. Tetap tersenyum. Janji?"
"Iya.. iya.. janji... tersenyum seperti mentari kan?"
"Iya.. seperti mentari..."
"Udah sana bobo! Aku gak mau kamu telat karena aku."
"berat..."
"Apanya berat??"
"Berat untuk meninggalkan kamu malam ini"
" :) aku disini kok setiap malam, bahkan setiap hari dan setiap waktu. Aku harap kamu bisa menjadi nyata bukan saja ketika bulan bersinar"
"Aku hanya ingin jadi udara bagi setiap orang yang membutuhkan aku."
"Selamat tidur, Doni."
"Selamat tidur juga, berjanjilah untuk mimpi indah"
Klik... aku mematikan semua perangkat agar aku bisa hilang dari semua kegilaan.

Siapa sih dia? Orang sinting mana yang datang dan membawa morfin sehingga menghentikan tangisku semalam. Aku terbangun pagi ini dan merasa sangat.. sangaaat sakit. Lalu aku duduk menangis, kebetulan rumahku kosong. Kutelpon seorang sahabatku dan menangis sejadi-jadinya. Rasa sakit yang seolah hilang semu semalam, kini tiba-tiba menusuk-nusuk dadaku, badanku, tulangku. Dimana kamu pembawa morfin? Aku mau morfin itu, supaya aku tenang lagi. Tapi lalu aku berdoa, Tuhan, jika memang ini rasa sakit yang harus kuhadapi, biarkan aku menghadapinya, Tuhan. Biar ini berlalu cepat. Dan aku pun menangis lama sekali di lantai sambil memandangi tubuhku yang terisak-isak dari kaca.

Tapi lalu aku ingat, saat menangis, kita harus tahu kapan kita harus berhenti. Dan aku pun bangkit dan mulai menulis. Sambil memikirkan, siapa malaikat yang datang tadi malam.



Bromo..I'm in Love

Thursday, December 25, 2008


Probolinggo, 27 Desember 2008. 3.40 AM

Bromo sayang, kamu pasti sedang lelap saat ini. Aku gak mau bangunin kamu, tapi aku Cuma ingin bilang, langitnya indah sekali malam ini. Aku pengen banget kamu bisa disini ngeliat indahnya hamparan bintang yang bersinar terang sekali. Seperti mata kamu yang selalu membuatku jatuh cinta.
Percaya gak? Malam ini, pertama dalam hidupku yang kulewatkan sebagian besarnya di kota besar, aku melihat milky way! Galaksi kita… aku mengerti kenapa itu disebut tumpahan susu… karena memang bintang-bintangnya indah begitu banyak seperti tumpah dari dada seorang ibu yang tulus memberikan napas kehidupan. Indah sekali.
Aku juga bisa melihat merkurius di bagian selatannya, karena fajar akan segera merekah. Sehingga bintang-bintang pun perlahan berlalu ke selatan. Aku naik semakin tinggi. Udaranya dingin.. tapi tenang.. aku bawa jaket kok. Gak kaya kamu yang sering lupa pake jaket, padahal di sana dingin.
Rasanya gak bosan-bosan melihat langit yang hampir luruh. Kanan kiriku masih gelap gulita, tapi aku bisa melihat matamu dalam kegelapan. Mengamati aku ketika aku akhirnya sedikit terlelap karena lelah.
Kamu tau? Jika satu bintang di atas sana bisa aku bawa pulang. Aku bawakan untuk kamu… disana.. bisa gak kamu melihat apa yang kulihat sekarang? Hamparan bintang terindah yang pernah aku lihat seumur hidupku. Aku berdoa… Tuhan bawa aku ke puncak Bromo, tunjukkan aku lagi kebesaranMu. Bintang ini belum cukup membuatku puas… dan aku pun terlelap ketika lautan bintang itu mulai tertutup cemara-cemara rapat ketika kami mulai memasuki cemoro lawang…pintu cemara yang menyembunyikan bromo di balik tirainya, menyiapkan kejutan yang indah untuk aku.

Bromo, 27 Desember 2008 4.47 AM

Kamu juga pasti masih tidur sekarang, aku baru saja terbangun lagi.. hamparan bintang telah lenyap di telan katulistiwa. Masih gelap, tapi semburat-semburat biru mulai muncul dari timur. Aku baru saja terjaga, kami berada di terminal terakhir sekarang.
Aku dalam perjalanan ke puncak Bromo sekarang. Beberapa makelar menawari ayahku Jeep. Tadinya aku mau naik ke Pananjakan, tapi jaraknya jauh sekali.. bisa-bisa kami ketinggalan fajar. Kata mereka, fajar di Bromo adalah hal yang sangat indah. Dari sana kami akan bisa juga melihat Mahameru yang sedang gonjang-ganjing marah. Beberapa hari ini Semeru mulai kentut-kentut, TV-TV mulai menyiarkan siaganya.
Akhirnya kami pun naik Jeep ke kaki Bromo. Disana aku disambut kuda-kuda. Kamu tau? Aku merasa seperti putri Mongolia di padang pasir… Menunggang kuda aku menapak padang pasir dan menanjak ke anak tangga kaki Bromo. Aku harus cepat-cepat, aku ingin melihat sang putra.

Bromo, 27 Desember 2008 5.25 AM

Sayang, kini aku berada di puncak Bromo. Tangganya tinggi sekali, tapi yang paling membuat menderita adalah bau asap belerang yang menyiksa hidung dan mata. Aku berusaha tahan, tapi aku ingin muntah sekali. Kututup mulut dan hidungku dengan selendang pashmina, berharap anak tangga ini akan segera berakhir.
Dia atas sini pemandangannya indah, aku bisa melihat samudra pasir yang terhampar di bawahku. Aku juga bisa menyanding Mahameru yang kadang berasap. Indaaaaaah sekali, aku melihat sebuah pura hindu disana, tahukah kamu sayang? Masyarakat disini adalah mayoritas hindu, seperti hindu di Bali. Mereka masyarakat pelarian dari zaman Majapahit dulu. Aku baru tau fakta itu…
Kawah Bromo mengeluarkan asap belerang yang menyiksa, aku mengambil beberapa foto ke dalam kawah. Tiba-tiba orang-orang berteriak ‘itu dia..itu dia..’ Ternyata sang putra yang ditunggu-tunggu akhirnya hadir juga. Sang putra Fajar, Mentari yang lahir dari celah antara kawah Bromo dan barisan Semeru di ufuk sana.
Sudahkah aku pernah ceritakan padamu? Aku punya kedekatan khusus dengan sang Putra… Mentari yang menjadi lambang kekuatan semesta. Bagiku, sang putra adalah inspirasi. Akan kuceritakan nanti lebih banyak tentang Surya Sang Putra ya... tapi kini aku harus bergegas, kami akan pergi ke samudra pasir. Mendengarkan pasir membisikkan pesan-pesan dari dunia angin yang tak kukenal.

Samudera Pasir , 27 Desember 2008 7.00 AM

Samudera pasir.. aku tau sekarang kenapa disebut samudera… padang pasirnya seperti tak berujung, bergelombang-gelombang ditiup angin. Aku berjalan bertelanjang kaki, merasakan kasar pasir yang menggelitik telapak kakiku. Langit biru dengan lukisan tanganNya tergambar disana dengan tinta putih, awan-awan yang ditorehkan dengan kuas surgawi.. Seandainya kamu disini… aku rindu kamu.. dan aku membiarkan bisikkanku ditiup dibawa angin yang berhembus. Membawa rinduku melintas daratan jawa.. menyusup ke dalam mimpimu yang lelap.
Aku mencari batang-batangan keras, dan berjongkok. Aku menuliskan namamu di samudera itu. Dibawa angin berhembus, pasir-pasir tertiup angin. Aku tahu, seperti pasir-pasir ini yang dimainkan angin, kita juga akan berubah. Aku akan berubah. Mungkin segalanya akan terasa berbeda besok, ya.. secepat itu berubah. Seperti samudera pasir ini yang dengan cepat sekali berubah, meniupkan namamu… tapi ajaib! Kamu harus melihatnya sayang… ketika angina itu berhembus.. pasir-pasir memang beterbangan, tetapi namamu masih terlihat cukup jelas disana.. ternyata aku menorehkannya lebih dalam dari pada apa yang kumaksud. Sehingga namamu itu akan terus disana, sampai mungkin nanti ketika aku telah melalui samudera pasir ini.
Aku harap bagitupun di hatiku. Aku harap, butuh lebih dari sekedar hembusan angin dan butuh lebih dari sekedar waktu yang singkat untuk menghapusmu dariku…

Savanna – Kaki Bromo, 27 Desember 2008 8.04 AM

Kami akan turun ke Malang, ayahku dapat informasi untuk turun melintas savanna di kaki gunung Bromo untuk turun ke desa Tumpang. Tuhanku! Indah sekali savannannya.. ternyata kita gak perlu jauh-jauh ke new zealand atau swiss untuk lihat semua pemandangan ini. Cukup di Bromo.. indah sekali pdang rumputnya, ditumbuhi pakis-pakis dengan warna padang yang khas. Jalan setapak yang berliku-liku ditutup batu-batu persegi yang kekuningan.
Bukit-bukit yang berbaris rapih, beberapa bagiannya disorot mentari pagi yang hangat, menghadirkan celah-celah kehijauan terang. Ilalang menari-nari begitu gemulai, searah kemana angin berhembus. Aku memandang lereng-lereng yang hijau diselimuti rumput dan pakis. Kamu harus liat ini, rajutan Ilahi!
Aku lihat dari dekat Semeru mengeluarkan gasnya ke angkasa, bergelung-gelung menjadi awan putih pekat yang ketika bebas langsung menjadi dirinya sendiri, jujur menjadi bentuk-bentuk yang mereka ingini. Tanpa peduli pada bumi.
Savanna ini adalah pemandangan terindah yang pernah kulihat di atas bumi. Indaaaaaah sekali. Hanya padang yang tenang dan sepi, tapi itu lebih membuatkan bergetar daripada kutatap menara angkuh Eiffel di Perancis sana atau megahnya Istana musim panas Raja di Brighton sana.. Hanya kelapangan sebuah padang yang seolah tanpa pagar, aku merasa lepas, jiwaku mengembara jauh mendahului SUV ayahku yang meluncur santai. Aku melihat jauhnya lembah-lembah dan bukit-bukit yang menyapa ramah. Ingin aku berteriak melepas segala rindu, melepas jiwaku terbang tinggi. Aku membuka jendela lebar-lebar, menyenderkan kepalaku di kaca mobil dan memandang padang yang seakan tak bertepi. Lalu aku tertidur...lelap sekali. Sungguh nyaman terlelap di buaian bumi yang hijau.. dan jiwaku yang lepas menari-nari di padang itu... aku tidur tanpa mimpi.



Si Senja


Sunday, December 21, 2008


Seperti senja yang datang dalam diam. Tiba-tiba menarik mentari turun dan lalu seketika bumi gelap. Begitulah.. irama sepi yang sama membayangi kehidupanku. Sunyi sampai telingaku bising. Entah siapa sebenarnya aku menanti. Beribu kali kutanya, beribu kali tak dapat kujawab.

Hari ini kubaca sebuah tulisan seorang sahabat. Lelah katanya, ia ingin berhenti mencari, dan berbalik. Letih katanya, tidak kunjung selesai mencari jawab yang tak terjawab. Ratapnya pada Dia, ingin ia bersandar sekali saja, duduk diam di kakiNya, sekali ini. Karena begitu lelah dirinya diombang-ambing nasib yang tak tentu dan tak mau dijawab.

Aku sendiri tak berbeda jauh dengannya. Bergulat mencari jawab yang tak kumengerti. Mencari sebuah wujud, yang tak tau wujudya apa. Bagaimana dapat kucari jika begitu? Sampai kapan akan kutemukan?

Aku mencari belahan jiwa yang dapat membuatku mengerti arti kesunyian. Dan dapat membuatku paham bahasa sepi. Aku mencari dia yang datang atas nama senja yang diam, namun darinya aku mengerti arti kegelapan yang turun. Aku mencari dia yang mengerti pikiran-pikiranku yang kelam. Yang memahami riuhnya suara dalam kepalaku dan menarikku dari kebisingan itu, menarikku ke dunianya yang sepi. Namun sepi yang menceritakan kisah-kisah merdu dan lebih mudah dipahami daripada suara-suara sumbang dalamku.

Aku ingin dia yang dapat membantuku mendefinisikan arti-arti kata yang kucari. Membuat kamus kehidupan pribadi yang tertulis dengan tulisan-tulisan lentik. Namun siapa dia? Ribuan senja kutunggu dia datang. Tapi tak seorangpun datang bersama menelan mentari...

Aku jadi tergelitik mebaca sebuah tulisan milik seorang teman, katanya 'I love being alone, but i hate being lonelly!''

Sungguh ironis! tapi perlu diakui itu benar.. namun seperti sekarang ini. Aku pun bimbang.. apakah aku sendirian atau aku kesepian???

Perasaan


Sunday, December 14, 2008


Perasaan...
Mungkin perasaan adalah hal paling absurd yang ada di muka bumi. Perasaan menjadi kamuflase, atau mungkin topeng bagi orang-orang. Atau mungkin perasaan ditutup-tutupi dan dibungkam sehingga mati. Banyak orang hidup tanpa mengerti perasaannya sendiri. Tapi bagaimanapun juga, kita tau perasaan itu ada di sana. Seperti roh yang melayang-layang di dalam tubuh kita, tanpa tahu sesungguhnya di bagian tubuh yang mana yang kita rasakan perasaan itu.

Kadang perasaan itu dituduh pengecut, dituduh tanda kelemahan. Seperti kebanyakan dari kita yang mengganggap perasaan adalah kelemahan. Dan tahukah kawan, aku termasuk orang-orang picik itu. Yang mengganggap bahwa perasaan adalah sumber kelemahan.
Seperti sekarang ini. Yang aku tau, aku sedih. Sedih sekali. Tapi tidak bisa diungkap, tidak boleh. Perasaan itu tidak bisa diubah, tapi terasa ada. Seperti yang kurasakan saat ini...

Beberapa kali kucoba untuk mengungkapkan itu, bahkan hanya dalam kepalaku saja. Mencoba menelaah perasaan apa yang sedang kurasakan. Tapi bahkan diriku, logiku, pikiranku menentangnya. Dan dengan keji memendamnya, dibunuh dengan kejam. Seberapapun dicoba, kadang perasaan itu lebih kuat dari pembunuhnya, diriku sendiri.

Seperti ada dua sisi dalam kepalaku, berkali-kali perasaan itu mencoba untuk menyuarakan keberadaannya. Dan lalu si logika dan si ego menentangnya, lalu mereka berkelahi sampai entah siapa yang menang, lebih sering kubiarkan mereka berkelahi sampai aku yang letih dan lalu jatuh tertidur tanpa mimpi. Namun pikiran yang belum ikut tidur.

Tapi terkadang aku begitu berat, karena perkelahian tak kunjung reda. Lalu kadang aku menangis, menangis sejadi-jadinya di kamarku yang kecil. Di sudut yang tertutup tirai-tirai kerang. Aku menangis untuk semua rasa yang tumpah, yang sering kali dan rasanya hampir setiap kali, akupun tidak bisa mengerti perasaan macam apa itu. Dan saat itu baik pikiran, logika, ego ataupun perasaan tidak ada yang menang. Aku memenangkan keduanya, membiarkan tangisku untuk sang perasaan, tapi tidak menerimanya di kepalaku untuk memuaskan logika dan egoku. Maka aku hanya menangis, lalu sekali jatuh tertidur tanpa mimpi.

Tapi siang kemarin aku mencoba sesuatu yang baru. Hari itu perasaanku berkecamuk, seperti minta diakui bahwa ia ada. Maka siang itu kututup pintu rumahku yang kosong dan berbaring menatap langit-langit yang penuh lampu warna-warni. Kupastikan tak ada yang datang, kukunci pintu kamar dan aku membiarkan perasaan itu mengambil alih tubuhku. Aku dapat merasakannya keluar, merembas dari atas bagian perutku, ke dada, lalu ke lenganku, lalu ke seluruh tubuh, hingga jari-jariku. Rasanya seperti disuntikkan racun arsenik yang menyebar perlahan ke seluruh tubuh, kehangatannya mengalir dan saat itu aku benar-benar tau dia ada.

Lalu saat racun itu sampai di kepalaku, dipalang angkuh oleh pikiranku. Tapi begitu kuatnya perasaan ini. Sampai bahkan sekali ini logiku menurut dan menerima. Aku mengakui semuanya. Perasaanku, kesedihanku, ketakutanku, kekecewaanku... rasa syukurku. Kepala dan hatiku berdamai, untuk pertama kalinya mereka saling mengerti dan memberikan definisi-definisi untuk setiap perasaan itu sendiri.

Aku ingat...saat sang logika berkata 'STOP merasakan. Itu hanya sebuah perasaan yang akan hilang cepat atau lambat. Kamu lemah! sangat lemah! STOP merasakannya. Mana kamu yang kuat selama ini? Apa kini kamu memilih untuk berubah menjadi perempuan lemah tolol yang cengeng?". Tapi lalu aku mendengar diriku sendiri berkata, sesuatu yang membuat sang logika menerimanya, "Aku ingin dapat menghargai perasaan orang lain, seperti setiap pelajaran moral yang selalu diajarkan. Tapi aku mau menghargai perasaanKU sendiri sebelum aku menghargai milik orang lain. Ini memang memalukan, lemah, tolol. Tapi ini perasaanKU dan aku mau menghargainya."

Maka untuk pertama kalinya aku menangis, menangis karena kali ini aku mengerti mengapa aku menangis. Menangis untuk setiap perasaan yang kurasakan dan aku mengerti. Menangis karena perasaan tak berharga yang kurasakan, menangis karena merasa tak diingini siapapun, menangis karena merasa kesepian, menangis karena merasa dia yang tak mungkin datang, menangis untuk merasa tidak dapat mengerti apa yang salah denganku. Dan menangis untuk segala yang kurasakan tentang dia dan dia dan dia yang lain.

Setelah itu perasaan ku mengalah. Lalu ia bergantian dengan logikaku yang mengambil alih untuk tetap berpikir jernih. Mereka berdua berdamai. Membiarkan aku mengambil sedikit waktu merasakan air mata yan mengering di pipiku. Lalu aku tersenyum dan jatuh tertidur tanpa mimpi. Dan percayalah kawan, rasanya jauh lebih ringan daripada yang dapat kupikir dapat kurasakan.