
Beranjak dari Luwes sore itu, aku menghela napas. Lampu ruangan perlahan menyala, ternyata di luar masih sore. Aku menyusuri Cikini sore yang lenggang, gerobak-gerobak merapat, siap-siap mencari sereceh dua receh untuk anak-istri di rumah. Tangis Ipeh masih terngiang di telingaku, ratap Mimih dan Babah masih menganggu telingaku. Kupapasi satu-dua pengamen cilik dengan gitar kecil dan botol berisi beras.
Ipeh, Saripeh orang tuanya hanyalah gelandangan yang sehari-harinya mengutuki hidup yang begitu berat. Mimih dan Babah menyesal punya anak banyak, karena tak bisa menahan napsu, karena melihara anak tak seperti melihara bebek. Kalau banyak tak bisa dipotong, yang ada memeras nadi. Suatu hari Ipeh datang, minta pada Mimih dan Babah agar dapat sekolah. Melihat anaknya yang tidak jelek, Babah punya ide, yang akan menjadi solusi semua masalah. Ipeh dijual, diberi uang dan dijanjikan jadi artis, tapi tentu saja tidak gratis. Keluarga mereka memang kaya mendadak. Beli apa saja bisa, pakai apa saja mampu, makan apa saja boleh. Persis seperti yang mereka impikan dulu. Dari kehidupan jamban ke speed tank, kehidupan mereka berubah. Tapi apakah itu yang benar-benar mereka ingini?
Setelah segalanya ada di atas telapak tangan mereka. Segalanya ada di dalam trolley belanja mereka, apa lagi yang kurang? Babah bilang mereka butuh status. Maka pegilah mereka mencari sebuah bentuk status yang dapat dibeli. Yang ditawarkan penuh lumpur di kursi-kursi bertoga palsu. Setelah segalanya dimiliki, apa lagi yang kurang? Mereka telah mengorbankan segalanya demi mimpi, demi cita-cita yang tak pernah berdosa.
Pertunjukan dari jam ban ke speedtank memberikan refleksi yang cukup terang dari realitas yang ada di jaman ini. Frase ‘dari jam ban ke speedtank’ itu sendiri adalah semacam tempat dimana sesuatu yang abstrak terpendam, semacam jarak yang jauh membentang dengan loncatan yang mematikan. Banyak masyarakat yang tenggelam dalam cita-citanya yang mematikan. Sebuah cita-cita tanpa rencana yang didominasi dan sudah disabotase oleh berbagai iming-iming kaum urban modern yang termakan hidup-hidup oleh globalisasi kapitalis. Segala bentuk iming-iming kemewahan, kemudahan teknologi, kekuatan industri yang mengubah banyak persepsi dan poros dalam kehidupan kita. Sementara roh-roh besar globalisasi itu terus gemuk dan kuat, orang-orang pinggir yang belum mendapat tempatnya atas segala keterbasan tenggelam, termakan oleh mimpi mereka sendiri. Pasar-pasar kemewahan dan strata sosial dengan derajat-derajat pengakuannya adalah sesuatu yang harus ditebus oleh mereka yang tersingkir, yang bermimpi untuk menjadi manusia yang digambarkan iklan-iklan, bahkan dengan cara apapun. Tapi apakah itu semua? Kalau hanya sebuah perjalanan singkat yang tidak merubah apa-apa. Loncatan sementara yang hanya melambungkan mimpi dan harapan. Tapi lalu terperosok lagi, bahkan lebih hina daripada sebelumnya.
Ipeh, di atas panggung menangis sejadi-jadinya. Merasa hina akan setiap inci kulitnya. Ketika menemukan segala yang ia miliki tidak dapat mengembalikan nilai dirinya. Segala harta dan uang yang ia impikan, status dan pengakuan yang Babah ingini, makanan dan sepatu tinggi yang Mimih maui, semuanya tak dapat membeli kebahagiaan. Semua itu tidak membawa mereka kemana-mana. Ipeh bahkan berniat membunuh Babah dan Mimih yang ia anggap telah menjerumuskannya, melucuti satu per satu harga dirinya, nilai akan jiwanya yang sebenarnya jauh lebih berharga daripada apapun. Sekali lagi mereka mengisi trolley mereka dengan barang-barang bergelimang, sampai akhirnya troley-troley belanja itu yang menyerang mereka sendiri. Lampu panggung padam, mengiringi senandung lirih Mimih dari dalam troley, meratapi diri yang telah kehilangan nilai. Dan beberapa orang datang memasang kotak raksasa disekitar mereka, seperti dalam atalase toko.
Duduk di dipan Teater Luwes sore itu membuatku menghela napas. Banyak dari kita yang mengira bisa memberi kebahagiaan seperti memilih baju di dalam etalase toko. Semua baju cantik-cantik dipakai patung-patung pucat yang bergaya gemulai, tapi belum tentu baju itu pas di tubuhku yang penuh lemak. Banyak dari kita yang memimpikan barang-barang berkilau yang terpampang anggun di billboard-billboard raksasa di tepi jalan, memimpikan kemudahan dan kemewahan yang ditawarkan para kapitalis, yang ditenun oleh keringat murah para buruh yang bekerja dari pagi sampai malam. Para buruh yang termakan mimpi akan ribuan arang dengan muak mereka pasangi kancing, mereka pasangin tombol, mereka bungkus, mereka jual, mereka terima uang pembayarannya, yang tak sepeserpun masuk ke dalam kantung mereka, bahkan memberikan kembaliannya, receh-receh yang tidak kau hargai. Padahal mungkin saja kita semua hanyalah orang-orang penuh lumpur yang berenang-renang riang dari jamban ke septi tank.
Bagiku sendiri, menonton teater dengan lakon yang kebetulan memiliki nama panggilan yang sama denganku, menjadi pengalaman yang mempunyai makna sendiri. Sepertinya pertunjukan Ghanta kemarin sore telah mengklik kanan dan menekan tombol refresh dalam kepalaku. Setiap orang punya mimpi dan tidak ada cita-cita yang berdosa. Tapi sore itu aku diingatkan, merenung sepanjang jalan penuh keringat di cikini.Masih banyak Ipeh-Ipeh lain, termasuk Ipehku yang berada dalam jerat geligi mimpi. Aku selalu bermimpi menjadi sukses seperti ibuku. Yang bisa melakukan apa saja yang ingini, tak dijerat keterbasan. Tapi aku juga harus ingat bahwa ketidakterbatasan tak dapat dibeli oleh uang, seperti kebahagiaan yang tak dijual di toko. Aku mau makmur, sejahtera, itu cukup. Dan tentu saja bahagia. Aku tidak ingin seperti Ipeh, Mimih dan Babah yang berakhir dalam troley belanja mereka dalam etalase toko yang justru memenjarakan.
Neng Ipee,
17 Desember 2009
Sinopsis Naskah Teater : Dari Jam Ban ke Speed Tank
Karya : Yustiansyah Lesmana
Sutradara : Yustiansyah Lesmana
Group Teater : Teater Ghanta
Pementasan : Festival Teater Jakarta, Teater Luwes, 16 Desember 2009.
GLobalisasi modern industri telah masuk kedalam mimpi mereka terbawa ke alam sadar, dan memaksa untuk mendapatkannya dengan cara yang sangat obsesif. Mereka memilih cara-cara mereka sendiri. Memakai jalur yang menerobos semua nilai. menerobos norma danmenjadi liar. Merkea mendapatkan dan menikmati mimpi nyata mereka. Tapi tiba-tiba mereka justru tak mendapatkan tempat mereka. Semua menolak. Mereka mempertanyakan diri mereka. Dan tiba-tiba tubuh mereka berbau busuk.
0 komentar:
Posting Komentar