Tentang Seorang Lelaki Yang Biasa Saja

Dari balik asap-asap tembakau beracun yang kuhirup sore tadi, seorang lelaki berperawakan biasa saja, dengan kependekan yang agak diatas rata-rata, dengan kulit sawo matang yang membaur dengan lampu sorot yang menerawang malu-malu, melangkah naik ke atas panggung. Bajunya kemeja hijau-merah dengan celana jeans hitam belel. Sepatunya coklat kulit multiguna dan rambutnya yang ikal lebat lepek karena baru saja dilepasnya topi putih, entah dia dapat dari mana. Lelaki itu memegang gitar bertangkai panjang, dihadapannya sebuah mic siap dilahap di depan mulutnya. Tam-tam-tam dum-dum-dum. Jamal mulai menghitung dengan tongkat kayunya.

Senar-senar gitar tak berdosa itu mulai dipetiknya tanpa ampun, digesek kanan-kiri,atas-bawah seakan sinar-senar itu adalah menyebab dari ketidakadilan yang dialami Prita, yang dibencinya. Lagu-lagu dramatis dengan efek meraung-raung, setidaknya di telingaku yang buta nada dan gelap musik, bunyinya cukup garang.

Jangan tertipu tampangnya yang manis dan tanpa dosa. Dia seorang pedofil yang memilih anak berumur 17 tahun menjadi kekasihnya. Padahal, yang siap dipetik bertebaran dimana-mana.

Dia seorang pujangga yang membangunkanku dengan puisi-puisinya. Tatal, demikian ia menyebutnya. Setiap pagi, kadang pula setiap malam, teman gembulku berkelip-kelip merah, sebuah pesan masuk "Radnan Akyara Tagged You in a Note", begitu pasti bunyinya, aku hafal.

Dia seorang penyair yang melantunkan baris-baris puisi yang tak dapat diterima telingaku. Mengubah momen-momen yang mudah terlupakan menjadi abadi dalam baris-baris kata sederhana, lebih seringnya lagi rumit, yang membekukan makna dengan terjemahan tanpa batas.

Dia seorang musisi yang menyanyikan lirik kumur-kumur, memainkan musik meraung-raung yang tak dapat dimengerti telingaku. Dan lalu dengan setengah ternganga aku terpukau melihatnya melonjak-lonjak di panggung yang sempit. Jelas ia berbeda dengan dentingan gitarnya yang biasa dengan lembut ia petik di tepi kolam di atas sana. Menyanyi lagu-lagu cinta tentang bulan sabit yang tersenyum.

Dia seorang kritikus politik, yang membeberkan padaku skandal-skandal negara. Dari buku Gurita atau kasus artis dan wartawan. Ia adalah juru berita pribadiku, yang siaran beritanya dapat kuakses kapan saja.

Dia seorang sastrawan yang membuatku orgasme berulang kali membaca esay-esay panjangnya, yang sebenarnya tidak begitu menyantol di kepalaku yang rata ini. Tapi lumayanlah, esay-esaynya mampu membuatku meniru beberapa kata intelek yang kadang sok-sok kugunakan di diskusi sekolah.

Dia seorang guru yang mengkritik dan memberikan jempolnya di setiap tulisan-tulisan yang kuposting. "Mana 5 W 1 Hnya? Mana keterangan waktunya? Kamu enggak ngasih tau dimana kejadiannya terjadi. ". Dan dia pula yang menanyakanku tanpa jemu, 'Hayo, kapan nulis lagi? Mana puisinya lagi?'

Dia seorang sahabat yang mendengarkanku tanpa lelah, tapi pasti dengan banyak jemu, tentang teman-temanku di sekolah lama dan baruku. Seseorang yang memandangiku tanpa lelah, padahal pemandangan monas lebih indah, sambil mendengarkan tanpa suara, tanpa menguap, kisah tentang jalan hidupku yang memuakkan.

Dia seorang kawan yang membukakan pintu di hujan lebat yang memandikanku basah kuyup. Yang tertawa terpingkal-pingkal melihatku heboh diserang semut rang-rang, yang menertawai ketololanku berbahasa.

Dia seorang patner sempurna untuk mengkhayal. Seseorang dengan daya khayal tingat khayangan, yang menemaniku meniti tangga-tangga khayalan menuju ke khayangan. Seorang teman bermimpi yang setia menemaniku membangun kerajaanku dalam khayal. Yang bersedia bangun berjam-jam dengan telinga panas, mendengarkan atau menceritakan dunia tempat tinggalku nanti sepuluh tahun dari sekarang.

Dia seorang imam yang kukecup tangannya setiap kali waktunya pulang, seorang yang pernah kumimpikan menjadi imamku selamanya.

Dia seorang kekasih yang mengecup bahuku lembut, menggenggam tanganku tanpa melepasnya, seorang yang berdiri disamping melindungikun setiap menyebrang jalan, seorang yang mencuri ciumanku di tepi kolam bercahaya biru, seorang yang wanginya kuhafal di luar hidung.

Dia seorang pejantan biasa yang mampu menjadikanku merasa luar biasa. Dengan senyum-biasa-sajanya yang mampu mengulum senyum di bibirku. Dengan mata-sayu-biasa-saja yang mampu menawan hatiku di dadanya. Dengan suara-renyah-biasa-saja yang mampu membuatku hangat seketika.

Mungkin saja 200 hari lagi dia akan menjadi sebuah kepingan kenangan biasa saja. Yang lama-lama warnanya pudar, lapuk bersama setumpuk kenangan lain di dalam pandora usangku. Mungkin dia salah satu serpih yang akan kuingat ketika suatu hari di siang yang berdebu, di sela-sela perjalanan panjangku kunjungan ke negara-negara miskin, kutemukan fotonya atau secarik puisinya di sisipan buku-buku kecilku. Mungkin saja, lelaki biasa ini akan hidup abadi di kepalaku, seorang contoh lelaki yang akan keceritakan pada anak gadisku ketika ia berumur 17 tahun.

Lelaki biasa itu, dia pacarku.


1 komentar:

Putri mengatakan...

di mana-mana, di mana
(dialog singkat di balik layar, kira-kira bunyinya gini :
T - km kaya Antar
P - tauk, gemez gwa)

tobat tuhanku, itu dulu jaman gwa 17 taon ada di mana ngapain tauk yak? misteri, misteri... mister...us...

Posting Komentar