tuhan..Tuhan..

“Kenapa sih harus selalu laki-laki yang kerja keras?” tanya temanku frustasi.

“Karena begitulah yang tertulis dalam kisah penciptaan di seluruh kitab di dunia” sahutku ringan sambil melihat lagu-lagu yang ia berikan tadi siang.

“Kalo kaya gitu, berarti cewe tuh harus tinggal di rumah, ngurus anak, masak! Enggak begitu dong...” sanggahnya tak setuju.

“Ya enggaklah, peran perempuan itu berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Sedangkan laki-laki ya tetap saja sama, harus berkerja keras dan berusaha” sanggahku balik tak mau kalah.

“Enggak adil! Semua orang harus berusaha untuk apa yang ingin ia dapatkan” sahutnya kesal.

“Mungkin karena itu lah Tuhan selalu diidentikan pada laki-laki. Mungkin karena laki-laki itu statis, ga berubah dari dulu hingga sekarang” Pikirku sambil melayang, terbayang beberapa laki-laki yang pernah ada di hidupku, tak ada satupun dari mereka yang berubah.

“Tuhan tuh selalu diidentikan dengan laki-laki karena laki-laki yang butuh Tuhan” tiba-tiba katanya mengejutkan.

“Kalau laki-laki yang butuh Tuhan, Tuhan akan diidentikan pada perempuan. Karena laki-laki sukanya perempuan” sahutku cepat disusul keheningan yang ramai tanda tanya.

“Ada bagusnya juga mungkin Tuhan itu laki-laki...” sambungku perlahan. “Kalau Tuhan perempuan, laki-laki akan sulit menyembahNya dengan khusuk. Karena 80% otak laki-laki itu sex...”

Tuhan. tuhan...

Siapa sih sebenarnya dia? Haruskah ditulis dengan T atau t, d atau D, Nya atau nya... Aku punya seribu tanya tentangnya. Dan punya sejuta untukNya. Salah satu pertanyaan besar terangkum dalam film yang baru saja kutonton sendirian di bioskop, cin(t)a.

why did God creating us differently, if He only wants to be worshiped in one way? Is that why God created love? So all the differences could be united..

Kenapa tuhan ciptakan kita berbeda-beda, bila Ia hanya ingin disembah dengan satu cara? Karena itukah tuhan menciptakan cinta? Agar yang berbeda-beda bisa menyatu... tanya seorang tokoh dalam flm indie yang mengangkat tema tentang cinta antar agama dan ras ini dengan lantang.

tuhan. Tuhan. Apakah dia sampai sebagian dari kita takut, sebagian lagi menyembah tak henti, sebagian lagi menghujat. Apakah wujud tuhan itu? Jangan-jangan Ia hanya buatan kita, wujud dari ketidakmampuan manusia, sesuatu yang kita ciptakan untuk menutupi sesuatu diluar kemampuan kita. Seperti yang pernah disebut-sebut beberapa kawanku.

Atau mungkin status seorang kawan ini benar? Being weak doesn't mean surrender to god. I prefer rotten in hell as king than to be embrace in the heavens of slaves.Atau mungkin pernyataan kedua dalam awal film cin(t)a itu benar? In my arrogancy, i’m questioning Your mighty. Ketika aku mulai mengetik tulisan ini, aku sadar akan menulis tanpa menjawab apapun. Bahkan menanyakan pertanyaan yang mungkin tak akan bisa dijabwab sampai ketika aku bertemu denganNya langsung. Kalau dia benar ada.

“Agama itu bukan cara mencapai Tuhan, agama adalah ekspresi manusia dalam pencarian menuju Tuhan.” kata temanku. “Agama itu nggak lebih dari bisnis” kataku. Tapi aku tidak mempertanyakan tentang agama disini. Buatku agama tidak lebih dari sekedar doktrin. Sebuah pagar yang membatasi cara berpikir kita. Terserah ibuku mau bilang apa, terserah kalian yang percaya agama adalah jalan mau bilang apa. Aku lebih memilih dilahirkan tanpa mengenal agama, tapi mengenal Tuhanku, maka kupikir konsep kita tentang manusia, tuhan dan agama akan jadi lebih sederhana tanpa batas. Tapi di satu sisi, aku percaya hidup butuh pagar. Manusia butuh batas untuk menentukan mana yang benar dan salah. Dan salah satu caranya dengan agama. Tapi itu bukan satu-satu caranya. Karena pada dasarnya, tuhan yang katanya arsitek dan sutradara paling hebat itu telah memberikan kita nurani.

Aku percaya ada tuhan atau Tuhan, atau apapun lah kita sebut. Aku percaya ada tangan tak terlihat yang menuntun planet-planet untuk tidak saling bertabrakan. Ada sesuatu yang mendampingi tiap proses morulla menjadi glastula dan lalu menjadi fetus dan akhirnya menjadi manusia. Ada sesuatu yang entah apa wujudnya dalam molekul tiap benda, partikel dan atom-atom yang coba dibelah oleh para nihilis. Aku bisa melihat sesuatu ada disana yang disebut para nihilis dengan nihilisme, kekosongan. Aku melihat ada tuhan disana.

Aku melihat Tuhan dalam banyak hal di hidupku. Tapi tetap bertanya siapa dan apa tuhan itu. Bagian dari kesombongan atau kebodohan kah itu?

Memikirkan tentang tuhan membuatku berakhir pada sesuatu di luar kemampuanku. Disaat seperti inilah aku mengakui Tuhan. Mungkin benar kata mereka, kita menciptakan Tuhan sebagai ekspresi ketidakmampuan kita. Tapi buatku, siapa dan apapun tuhan itu. Aku mungkin tak akan tahu. Dan aku bahagia, karena hal itu telah menjawab salah satu pertanyaanku untuk Tuhan, Mengapa aku diciptakan sebagai manusia?

0 komentar:

Posting Komentar