Antara Aku dan Ayah

Tempat ini adalah salah satu tempat teramai di kota. Apalagi malam minggu seperti ini. Pemuda-pemudi, remaja, keluarga, pasangan-pasangan semua berbaur dalam terangnya kota ini. Rangkuman gemerlap ibukota, toko ini-toko itu, cafe, restauran, karaoke, bahkan pertunjukan air mancur pun ada di gedung megah ini. Miniatur negara-negara indah di bumi, memanjakan kemewahan dengan berbagai atribut yang memikat.

Selintas saja mata menyapu lantai demi lantai yang bertabur warna. Toko baju di ujung sana menawarkan model terbaru untuk musim gugur yang sebenarnya tak dimiliki negara ini. Toko kosmetik disana memikat dengan wajah model super cantik, impian para gadis. Patung-patung putih, tak lelah bersolek di balik kaca tebal, memamerkan baju terbaru mereka minta dibeli. Toko gadget terbaru memasang produk terbarunya, tak juga bosan padahal telah menginfeksi warga dengan virus karet gendut warna-warni yang membuat pandangan banyak orang tak lepas dari genggaman.

Sekelompok gadis tertawa gembira. Yang lain berbagi canda disabut tawa lepas membahana. Beberapa eksekutif ngobrol ringan dengan asap mengepul-ngepul di tempat duduk kafe ala kota New York. Seperti kata Eno Lerian dulu ‘mau makan nasi padang... (padang...), bukan berarti harus ke Padang’. Dan begitu lah kota ajaib ini, tak perlu kita New York untuk bisa menikmati atmosfer Times Square atau Broadway. Di seberang sana ada seorang anak di gendongan ayahnya, menunjuk-nunjuk air mancur yang dapat menari-nari riang, mengikuti musik seakan air itu hidup. Sepasang disana sedang saling cinta, berangkulan satu sama lain seakan menyesal tak terlahir kembar siam. Semua suara, musik, celoteh, tawa, pertengkaran sepasang dara, rengekan adik minta es krim, bujuk rayu gadis pada ibunya minta dibelikan sepatu, canda dan kelakar yang tak berhenti bercampur, melebur di malam minggu ini. Seakan jus aneka buah yang dipotong-potong, diblender, dicampur begitu rupa sehingga kita tak lagi tau suara siapa yang ada.

Semua orang berjalan berbeda arah, berkelompok satu sama lain, berbincang seolah hanya ada hari minggu. Senang. Dan mengantar malam pada pangkuan sunyi yang lelah berceloteh. Sementara yang lain bicara, bersamaan seperti dengung yang menderu. Ada beberapa yang masih saja terkena virus. Virus karet gendut warna-warni. Mata tak lepas dari genggaman, seakan pada tangan mereka ada dunia yang tak bosan diamati. Seakan pada ibu jari ada bulan yang terus bercerita, berceloteh lebih seru daripada semua suara di gedung itu.

Mungkin aku adalah salah satu pesakitan itu. Pesakit Karet Gendut Warna-Warni. Tapi tentu bukan saja aku, banyak orang begitu. Aku tidak sendiri dalam hal ini.

“Mau makan dimana, Yah?” tanyaku sambil memandang keramaian sekekeliling.

“Di Sunda aja deh, udah lama” sambil juga mencari restoran kesukaannya.

“Oke” dan genggamanku kembali lebih menarik daripada keramaian yang sering kulihat ini.

Aku berjalan otomatis, sepertinya kakiku punya auto –pilot, tahu kemana harus melangkah. Membelok di rumah makan yang tepat, di samping kedai es krim, ala saung Sunda lengkap dengan jerami dan bambu. Pramusaji berseragam hijau menyambut, “Smoking” sahutku tanpa ditanya. Kami duduk di tempat biasa, diujung kanan dekat wastafel.

“Pesen apa Kak?” Sambil melihat menu yang disodorkan.

“Gurame aja deh” kataku tanpa ikut tertarik pada buku daftar hijau yang kuhafal isinya.

“Yaudah, gurame, tempe nya dua, ayam bakarnya satu aja deh, Kakak mau ayam bakar juga?”
Disambut gelengku tanpa mengangkat kepala.

“... terus kangkungnya deh mba, sambel...” Lanjut Ayah memesan tanpa kudengarkan lagi.

Aku terhanyut. Dalam sebuah percakapan yang mengelana jauh, jauh dari meja ini, dari gedung ini. Pada seseorang yang juga pun jauh dari sini. Percakapan yang melantur, entah pula bicara apa. Kadang kelakar-kelakar konyol, kadang gosip, kadang tentang Mbah Surip, lalu beralih tentang kue brownies, pindah ke Nurdin M Top dan berlanjut ke puisi. Bicara apapun asal membawaku pergi jauh dari sini, terbang dengan sekumpulan orang yang beberapa dari mereka tak pernah kulihat wajahnya.

Makanan datang. Pramusaji menata mejanya. Tik..tik..tik.. bunyi ritmis samar dari biji-biji berwarna hitam yang kutekan-tekan cepat.

Minuman datang. Pramusaji menggeser piring kangkung dan menaruh minuman yang
kupesan.Tik...tik..tik.. bunyi ritmis bersautan dari biji-biji berwarna abu-abu yang ditekan Ayah cepat-cepat.

Tik..tik..tik.. tik..tik..tik... suara tombol-tombol ditekan tak henti.

“Wow” kataku perlahan mengomentari percakapan di layar.

Tik..tik..tik..

“Ck..” decak Ayahku pada sesuatu di layarnya.

Tik..tik..tik.. “Makan Kak” kata Ayahku tanpa mengangkat kepala.

“Hm” Sahutku sambil masih mengetik.

Tik..tik..tik.. Aku menaruh karet gendut biruku hari ini. Dan mulai makan.

Gurame gorengnya enak, kering seperti kerupuk. Sambalnya pedas, karena tak suka aku tak ambil banyak.

“Makan,Yah” sambil menyendok kankung.

“He-eh, he-eh” balasnya sambil lalu menaruh benda karet hitamnya dan mulai makan.

Ayah mengambil guramenya, kangkungnya, dan tentu saja banyak sambal karena ia suka pedas. Tepatnya ia pencinta pedas. Dia tak bisa makan apapun tanpa sambal.

“Krauuuuk...” suara gigitan pada kerupuk kampung.

“Ting.. “ Suara denting sendok bertemu dengan piring kadang-kadang.

Aku mengambil cumi goreng dan tempe yang khas dari restoran ini. Ayah meminum teh botolnya. Ayahku itu salah satu penganut iklan teh dalam botol itu. Kemanapun ia makan, kalau emang menjual teh botol, pasti itu yang akan diminumnya. Ayah mencabiki daging gurame yang kering, tangannya berlumur sambel.

“Criiiiiiiiiing...” suara karet biruku memanggil. Salah satu kawan mayaku bicara. Lampu merah diujungnya menyala-nyala minta diperhatikan.

Aku dan Ayah makan dengan lahap. Sampai akhirnya piring tandas dan kini tinggal asap mengepul-ngepul dari mulut Ayah.

“Criiiiiiiing...” sekali lagi bunyi lonceng nyaring dari karet biruku. Disambut bunyi tik..tik..tik.. dari tombol-tombol yang kutekan.

“Wah ini Minggu ya?” komentar Ayah sambil membaca sesuatu di layarnya.

“Sabtu” Kataku datar sambil terus mengetik.

“Oh iya Sabtu” sahutnya sambil menggeser-geser bola kecil di tengah karet hitamnya.

Pramusaji datang menawarkan berbagai es tradisional. Aku kenyang dan pula batuk. Ayah memesan es doger.

Tik..tik..tik.. Tik..Tik..tik..

Pramusaji datang membawa es doger Ayah. Sambil menghisap batang putihnya yang menyala jingga di ujungnya, disesapnya es merah jambu itu.

Tik..tik..tik..tik.. tik..tik..

“Mau kemana abis ini?”

“Aku mau ke toko buku”

“Yaudah”

Tik..tik..tik..tik..tik..

“Anaknya Tante Silvi keterima chemical engineering di Amerika”

“Oh ya?” Sahutku masih sambil mengetik.

“Makanya harus dapet A semua Kak di GPAnya nanti. Beli buku boleh sih, baca juga bagus. Tapi
kamu harus kasih prioriti sekarang. You cannot be fail for this, remember?”

Aku mengangguk tanpa mengangkat wajah dari layar.

“Biar bisa dapet universitas bagus juga nanti. Kan gampang kalo nilainya bagus, masuk mana aja enak. Ayah enggak apa-apa sih bayar mahal asal kamunya serius”

“Iya” Sahutku singkat.

“Nanti emang mau ambil apa disana?”

“Double Degree. Belom tahu deh”

“Apa lagi double degree. Ya terserah sih yang penting suka”

“Hm”

“Mas minta bill” Katanya sambil melambai pada seorang pramusaji.

Aku mengangkat wajah menatap pada toko di seberang sana yang menjual sari tebu dan sari buah-buahan. Aku tak begitu suka manis. Ayah memandang kosong pada meja kosong dekat meja kami. Vas bunga berisi yang bunga kuning entah apa. Gedung ini masih dan tambah ramai. Celoteh dan tawa, orang-orang berseliweran. Bersatu dalam warna yang menjadi satu di mata dan telingaku.

Yah, andai saja kita bisa menebar-nebar warna di atas meja kita ini, diantara tulang-tulang gurame kering. Andai saja meja ini cukup luas untuk menampung cerita yang ingin kususun, kuceritakan. Andai saja diantara kita tidak ada meja yang memberi jarak, yang ada hanya meja yang menampung warna yang ingin kubagi. Dengar Yah... Sekeliling kita ramai, bahkan bising sampai di tengah-tengah meja ini. Tapi andai saja, keramaian itu bukan hanya dengung, tapi suara hati kita yang berceloteh.

Tahukah kau Yah? Kemarin aku dapat nilai A untuk essay legal-ku. Aku senang karena sedikit anak yang mendapatkannya. Oh iya, Yah... tahu tidak bahwa Rendra, penyair itu meninggal. Aku jadi merasa ikut kehilangan sebagai seorang pencinta sastra. Ayah tahu profil siapa yang terakhir kutulis? Tahu tidak semalam aku posting apa di blogku yang baru direnovasi? Apa Ayah tahu aku punya blog warna-warni? Yah.. Aku sedang membaca banyak tentang kasus-kasus pers di Indonesia. Apa sebaiknya aku ambil hukum dan jurnalistik ya Yah? Menurutku itu sangat menarik. Bagaimana menurut Ayah tentang mengambil jurusan hukum? Kan Ayah orang hukum. Yah, ada ayam panggang baru di PI, katanya enak lho. Kapan-kapan kita coba yuk... Eh kenapa sih Yah Mbah Surip meninggal? Memang benar gara-gara minum kopi?

Oh iya Yah, gimana kerjaan Ayah? Apa Bos India yang pernah kudengar itu masih menyebalkan? Adakah meeting yang harus Ayah datangi senin nanti? Gimana tuh soal rencana kepindahan Ayah ke Vietnam? Jadi kah? Yah.. ternyata biaya kuliah di luar itu mahal sekali ya. Mungkin sebaiknya aku ambil Maqcuarie saja daripada maksa ke UNSW, 1 milyar yah... belum untuk kebutuhan yang lain-lain. Aku tidak tega mintanya. Apa Ayah tidak keberatan membiayainya? Mungkin Ayah akan jawab ‘Enggak apa-apa asal kamu suka dan mau serius.’ Tapi tetap saja aku tak tega. Gimana kantor Ayah? Parkiran Ayah masih disitu? Ayah masih sering bangun siang enggak? Siapa yang bangunin Ayah sih pagi-pagi ke kantor? Di kantor Ayah food courtnya bagus nggak? Di gedung kampusku jelek...

Yah, banyak sekali warna dan suara yang bisa kita susun, kita bagi, kita kisahkan di meja bersama tulang-tulang gurame kering ini. Sayangnya meja ini terlalu sempit untuk cerita-cerita yang ingin kubagi. Dan mungkin pula meja ini yang paling patut disalahkan, disembelih jadi kambing hitam. Meja ini telah memberi jarak pada kita. Sehingga suaramu tak begitu jelas kudengar Yah.

Atau mungkin kita salahkan saja karet gendut warna-warni ini Yah... Karet-karet biadab ini telah mengalihkan perhatian kita satu sama lain. Terus memanggil-manggil setiap kali ada warna yang ingin kita bagi berdua, seolah kawan-kawan maya di luar sana lebih menarik daripada matamu, Yah.

Atau mungkin keramaian ini yang patut kita kambing hitamkan. Keramaian ini yang salah dan terlampau bising dan menimbulkan kesunyian di antara kita. Bukankah kita sepakat kalau tak akan ada sepi bila tak ada bising. Mungkin kesepian lari dari ruang bising ini, mencari tempat aman di antara meja di depan kita, dan bersemayam disana.

“Pak, Billnya” Pramusaji menyodorkan nampan kayu kecil.

Dengan seulas tanda tangan kita bisa membeli seisi gedung. Ayah meninggalkan lembaran uang pada tutupan kulit hitam.

“Yuk...” ajak Ayah.

Aku berdiri dan mengikutinya keluar restoran.

Mungkin tidak ada lagi meja yang membuat jarak diantara kita namun sepertinya hati kita masih berjarak. Atau kesunyian masih melekat erat mengikuti kita. Sehingga kita kesepian di tengah keramaian.

Mungkin masing-masing kita hilang berbaur jadi cahaya. Hilang dalam makna. Mungkin kita harus mencari di ruang Jingga, kata yang hilang tentang kita. Karena kita seperti kehabisan kata untuk saling mewarnai.

Pernahkah kau rindu Ayahmu yang telah tiada?
Aku tidak pernah, karena aku selalu rindu Ayahku yang duduk di depanku.






0 komentar:

Posting Komentar