
Ting Tong
Kedua pintu lift yang berwarna keperakan hampir tertutup.
“Tunggu!” Teriak tertahan seorang gadis membuatku spontan menahan pintu yang hampir rapat.
Gadis itu berkaos putih, dengan rambut kuda dan celana pendek, ia memanggul raket tenis bersarung hitam. Seharusnya umurnya tak jauh beda dariku. Sepantar. Kulihat dia menekan lantai G. Lantaiku rumahku.
“Tinggal di G juga?” tanyaku sambil menunggu lift naik ke lantaiku yang hanya satu lantai di atas.
“Lantai 2 sih tepatnya, tapi ini kekunci” sahutnya sambil tersenyum ramah.
“Oh... kok bisa?”
“Biasalah lupa..” jawabnya sambil tertawa.
“Baru ya tinggal disini?” tanyaku penasaran. Aku tak pernah melihat dia sebelumnya.
“Enggak juga sih. Dari tahun lalu.”
Lalu pintu lift terbuka dan kami pun bertukar senyum dan berpisah. Aku mendekatkan kartu rumahku pada alat sensor. Dan alat itu berdering sebentar, sebelum pintu kayunya menjeglek terbuka. Bagian dalam luar rumahku yang menyambung dengan lift pribadi memang selalu gelap. DI lorong itu ibuku meletakkan sebuah unta kayu besar dan guci-guci. Belum lagi koleksi barang-barang antik yang sebenarnya tidak punya fungsi.
Aku masih terbayang gadis itu. Sudah setahun berarti aku tinggal hanya berbatas 5 - 6 meter tingginya dan dipisahkan 1 meter semen dan lantai keramik. Ia tinggal persis di atasku, tapi aku bahkan baru sekali ini melihatnya ada di gedung ini. Padahal paling tidak seminggu sekali aku berenang dan olahraga di private gym. Mungkin saja dia juga jarang berenang dan olahraga. Tapi pastilah setiap pagi ia sekolah. Aku juga. Harusnya ada satu waktu kami bisa saja berpapasan seperti malam ini. Atau mungkin bila ia selalu menggunakan lift pribadinya, pastilah ada satu waktu selama setahun kami sama-sama keluar dan naik mobil di parkiran bersamaan.
Memasuki kamarku yang selalu remang-remang. Aku jadi ngeri membayangkannya. Bagaimana salah satu simbol masyarakat modern yaitu semi private residence atau apartemen atau apa pun itu namanya, telah membunuh sinergi di antara masyarakat itu sendiri. Padahal kami tinggal berdampingan, tidur berdekatan. Tapi jangankan namanya, wajahnya pun baru kulihat satu kali.
Bukan melebihkan-lebihkan atau bagaimana. Aku cuma sedang berusaha merefleksikan masalah kecil ini. Apakah aku yang kurang sedikit peduli atau memang hanya misteri waktu yang kebetulan saja selalu menyalip jarak antara manusia satu ke manusia lain. Tapi tinggal satu tahun dalam jarak kurang dari 10 meter, tapi selama 12 bulan itu tidak pernah bertemu muka. Aku merasa seperti orang-orang gua plato yang duduk berdampingan, namun saling terbelenggu bertolak belakang, sehingga mereka tak pernah bisa saling melihat.
Aku jelas bukanlah ahli sosial atau kajian budaya atau semacamnya. Sunggu sok tahu bila aku mencoba menguraikan itu dari pandangan-pandangan teori sosiologi atau apa lah semacamnya yang bagiku saat ini masih rumit. Aku cuma ingin menjadi seorang tetangga biasa saja yang terkejut mendapat tetangga baru yang ternyata sebenarnya tidak baru. Dan seorang pengamat masyarakat pemula, yang terheran-heran pada individualitas yang secara tak sengaja terbangun begitu menjarak satu sama lain. Atau kepada modernitas yang memisahkan setiap orang, kita dipenjara oleh teknologi-teknologi memudahkan, lift pribadi yang membuat kita tak pernah bersinggungan satu sama lain, kartu pintu rumah yang membuat keamanan akan privasi kita terbungkus rapih.
Aku jadi ingat pernah nonton film Crash. Film tentang rasisme dan interaksi masyarakat di Amerika, khususnya LA. Tapi hal kecil barusan hanya sekedar kejadian pendek yang terjadi di lift sebuah private residence di bilangan Menteng, pastinya tidak bisa dibandingkan. Tapi ada sebuah kalimat di awal film itu. Kalimat yang sepertinya baru benar-benar kumengerti artinya malam ini, “In L.A., nobody touches you. We're always behind this metal and glass. I think we miss that touch so much, that we crash into each other, just so we can feel something.”
Mungkin ada benarnya. Kita yang selama ini tidak pernah ‘bersentuhan’, yang terpenjara dalam penjara yang kita buat masing-masing atas nama privatisasi, dan individualisme yang memerdekakan kita dari segala hal, termasuk masyarakat. Kita rindu ‘bersentuhan’, rindu saling bertubrukan,saling kena satu sama lain, hanya agar kita bisa merasakan sesuatu. Mungkin agar kita bisa merasakan, bahwa sesungguhnya kita masih bagian dari manusia yang adalah mahkluk sosial.
Saling bersentuhan. Sepertinya setiap manusia masih butuh itu.
0 komentar:
Posting Komentar