The Day You Will Ask Me

Because the day I'm done with boys, I'm start looking for a man... And that day you came...

Hari dimana kamu akan memintaku adalah hari yang biasa saja, bukan hari yang begitu spesial. Kita berdua duduk di sebuah taman yang ramai akan anak-anak kecil. Aku bilang, kalau aku punya anak perempuan aku akan mendandani rambutnya, membawanya ke les piano dan mengajarnya melukis. Kamu bilang, kalau kamu punya anak laki-laki, kamu akan membawanya ke pertandingan sepak bola, kamu akan mengajaknya memancing dan membuatkannya rumah pohon. Kita akan tersenyum, saat seorang bocah lewat dengan mulut penuh es krim coklat, lalu kita akan berjalan pulang, melewati pasar dan membeli bahan-bahan makanan, karena hari itu adalah hari masak bersama untuk kita.

Ya, Ini Untuk Kamu


Malam dan teman-temannya. Seperti biasa, malam-malam musim gugur, langit bertahan di atas lima derajat. Malam lain dengan lantunanan lagu-lagu D’cinammons, Tika and The dissident, Efek Rumah Kaca.. ah, para dewi tak mampu membuat malam yang lebih indah daripada malam ini...

Ring, ring it's you again heart pops

I loved to hear you

It's been all day

I've been waiting for you

Yeah, mungkin ini terlalu malam untuk roman picisan. Tapi sumpah! Rasanya aku bisa gila kedinginan. Di kejauhan, menara gereja masih menyala, sebelas seperapat, disana pukul berapa?

‘lima seperempat’, jawabmu.

Loving you it hurt sometimes

I'm standing here you just don't bye

I'm always there you just don't feel

Or you just don't wanna feel

Don't wanna be hurt that way

It doesn't mean I'm givin' up

I wanna give you more

And more and more'

Lalu?

Curhat Dengan Si Layar Putih

Hmpph.. okey. Tulisan berbau personal selalu dimulai dengan tarikan napas panjang. Kenapa? Karena tidak gampang untuk memulai membuka sebuah topik, mendeskripsikan kejadian yang bisa saja terjadi hanya di dalam hati. ‘Okey.. jadi yakin nih mau cerita?’ “Nggak..” ‘Yaudah?’ “Oke-oke saya cerita deh..” dan begitulah, seperti semua rahasia yang terungkap di depan pendengar yang baik. Layar putih ini, menjadi pendengar terbaik saya malam ini.



‘Jadi kita mulai dari mana?’

Bermimpilah! Karena Mimpi Aku Ada

Suara jarum jam tertatih-tatih merangkak naik dan meluncur turun, suara dengung laptop yang kepanasan seharian nyala, suara bangku-bangku diseret di Irish Pub di bawah kamar baruku, suara celoteh sayup-sayup dalam bahasa yang asing bagiku di seberang jalan, bunyi tak-tik-tak-tik melodis. Dan tak ada suara lain selain itu.



Bagaimana ya aku akan mulai bercerita? Kalau kuceritakan tentang cuaca, makanan, orang-orang, tempat, bahasa, pasti kau sudah bisa menduganya. Ya, disini dingin sepanjang hari, disini orang-orang berbau keju bukan mau matahari seperti yang biasa akrab di hidungku di kopaja 502, disini pejalan kaki adalah raja bukan seperti di kotaku dimana orang mencari tempat untuk jalan kaki di antara mobil-mobil yang mengantri berantakan di jalanan, disini tidak ada mall luar biasa besar seperti Gran Indonesia, rumah keduaku. Disini, setelah jam 6 semua toko tutup dan semua orang bergegas pulang, tidak seperti di kotaku yang hingar bingar sampai larut malam.



~



Ini malam kedua aku harus tidur dalam hening yang menimbulkan dengung berdentuman di telingamu. Ini minggu kedua aku mencoba berdamai dengan angin yang mengginggil dan mencoba berkawan dengan bahasa yang masih terdengar seperti orang sakit tenggorokan di telingaku.

‘Tuhan, Bantu Aku Agar Tetap Gila’

‘Topik hari ini.. Konservasi’ kata guruku sambil menulis sebuah kata di papan.

‘Bagaimana menurut kalian tentang konservasi di Indonesia?’ tanyanya pada seluruh kelas.

‘Buruk!’ kata seseorang.

‘Enggak guna’, sahut yang lain.

Aku diam saja.

‘Eh, nanti Ivy marah lhooo!’ canda seseorang.

Guruku tersenyum dan melanjutkan, ‘Tapi bagaimana menurut kalian dengan upaya yang sudah dilakukan pemerintah atau organisasi-organisasi lingkungan?’

‘Enggak ada bedanya kan, Miss? Mereka enggak mengubah apa-apa kok. Kurang kerjaan aja tuh Miss, orang gila kali’, celetuk temanku.

‘Heh.. heh! Entar kita dimakan lho sama Ivy’ dan sekelas tertawa terbahak-bahak.

‘Halah dunia emang tuh udah rusak. Kan udah mau kiamat. Ngapain juga diurusin, mendingan memuji tuhan, biar ada rumah di surga tuh, biar kalau kiamat kita punya rumah’ sahut seorang dari tengah kelas.

‘Tapi bagaimana kalau nanti tiba-tiba udara jadi sangat kotor, air sangat tercemar, apa kalian tidak takut?’ pancing guruku sekali lagi.

Di Pinggir Jalan


Seperti biasa pagi itu aku tergesa-gesa mengurai kabel merah muda dari kantongku. Segera setelah terulur, kusumpal kedua kepalanya ketelingaku. Semua aktifitas itu kulakukan sambil berjalan di trotoar jalanan Cikditiro, menghadap Diponogoro, menantang Sudirman. Telat sedetik dua detik jadinya runyam. Busku datang sekitar 15 menit sekali, kalau telat mencegat harus menunggu lama, lalu terlambat masuk kelas jam pertama yang biasanya matematika lanjut. Pagi sudah bangun benar, orang-orangnya masih mengulet.

Sebelum perempatan menuju muka jalan, ada sebuah halte sederhana yang tidak besar. Hanya ada dua jajar tempat duduk dari besi dan sepotong papan plastik sebagai atap. Pagi ini, seorang ibu duduk di situ, berwajah baik hati, bersih dengan baju berwarna merah model lama dan tas-tasnya yang besar ditata rapih di bawah bangku. Aku tersenyum melewatinya, menyapa dengan mata. Ia pun tersenyum mengangguk, mengucap salam dengan tatap.

Rumahku terletak hanya beberapa ratus meter dari muka jalan, sore selalu bersahabat di daerahku. Ada rumah sakit, ada Taman Kanak-Kanak, ada restauran mewah dan banyak tukang makanan berjualan rapih di kanan-kirinya. Siang harinya,pulang dari kampus, kulewati halte kecil itu lagi. Ibu itu masih duduk disana, ketika kulewat, siap memberikan senyum. Matanya menatap jalanan, mengamati mobil-mobil yang lewat.

Begitupun keesokan paginya, Ibu itu sudah ada lagi di halte ketika kulalui tubuhnya yang tidak lagi duduk tegak. Kini menatap entah apa. Dan begitu juga sore harinya lagi, tapi kini ia memejam, mungkin kelelahan.

Esok paginya lagi, kupikir ia telah pulang. Nyatanya ia masih duduk disana, pagi ini rambutnya dikepang jadi dua. Baju merahnya yang belum ganti dari dua hari yang lalu kini ditumpuk baju hijau. Barang-barangnya masih rapih di bawah bangku. Ketika kulewat, ia sibuk memelintir rambutnya, mencari entah apa di ujung rambut. Dan seperti yang kuduga, begitu juga sorenya, ia bergumam-gumam ketika kulalui. Seperti bernyanyi, tapi aku tak bisa dengar apa itu.

Malam harinya aku mengajak si dia berjalan malam-malam. Melihat apakah benar Ibu itu tidur di halte. Ternyata benar, ia meringkuk di bangku halte yang sempit berselempang baju-bajunya. “Mas, beliin makanan yuk’ kataku. ‘Besok pagi saja, dia sudah tidur malam ini.’ Sahutnya. Aku jadi berpikir, darimana ia makan setiap harinya, di mana kira-kira ia mandi, atau buang air, atau cuci muka. Di mana rumahnya, mengapa tidak pulang saja, mungkin tak punya ongkos.

Pagi ini, pagiku seperti biasa. Si Ibu itu masih disitu, tapi hari ini ia komat kamit sendiri seperti marah-marah pada tiang halte yang membisu. Dingin memantulkan bayangannya sendiri. Aku berjanji dalam hati, nanti sore, kubawakan makanan untuknya.

Sore ini aku pulang melenggang. Melihat halte kosong, kutanya sekelompok kecil satpam gedung terdekat yang sedang berbincang-bincang. “Pak, si Ibu yang biasa disitu mana?”

Chiken Soup for The Toilet Eater

"Yuk makan" mungkin kata itu adalah kata yang paling mengerikan yang pernah kudengar. Pernah lihat kios permen dengan gulali warna-warni? Atau Istana Kembang Gula yang menjual coklat dan makanan aneka rasa-aneka bentuk? Pernahkah kau lewat sebuah kios makan dengan aroma masakan yang memanggil-manggil riang? Atau hanya sekedar mengecek dapur dan kau temukan Bolu Cinammon buatan Ibumu masih mengepul di atas meja? Mungkin bagimu itu adalah deskripsi yang indah, aroma yang lezat. Bagiku itu bahaya datang.

Dalam pandanganku, warna-warni yang bagimu menyenangkan adalah pelangi terburuk yang pernah kulihat, di mataku toko itu hitam putih. Di hidungku, aroma yang memanggil-manggil adalah aroma racun yang sedang di aduk penyihir koki jahat dengan spatula. Di mataku, bolu-bolu coklat terang itu mengepulkan cacing-cacing menjijikan yang menghamburkan bau busuk.

Malam Yang Tepat

"bagaimana kalau malam ini?"

"kamu yakin?"

"aku selalu yakin, kamu yang selalu bimbang."

"ohiya?"

"ya, tapi malam ini aku punya perasaan yang kuat untuk ini."

"......."

Tentang Seorang Lelaki Yang Biasa Saja

Dari balik asap-asap tembakau beracun yang kuhirup sore tadi, seorang lelaki berperawakan biasa saja, dengan kependekan yang agak diatas rata-rata, dengan kulit sawo matang yang membaur dengan lampu sorot yang menerawang malu-malu, melangkah naik ke atas panggung. Bajunya kemeja hijau-merah dengan celana jeans hitam belel. Sepatunya coklat kulit multiguna dan rambutnya yang ikal lebat lepek karena baru saja dilepasnya topi putih, entah dia dapat dari mana. Lelaki itu memegang gitar bertangkai panjang, dihadapannya sebuah mic siap dilahap di depan mulutnya. Tam-tam-tam dum-dum-dum. Jamal mulai menghitung dengan tongkat kayunya.

Senar-senar gitar tak berdosa itu mulai dipetiknya tanpa ampun, digesek kanan-kiri,atas-bawah seakan sinar-senar itu adalah menyebab dari ketidakadilan yang dialami Prita, yang dibencinya. Lagu-lagu dramatis dengan efek meraung-raung, setidaknya di telingaku yang buta nada dan gelap musik, bunyinya cukup garang.

Jangan tertipu tampangnya yang manis dan tanpa dosa. Dia seorang pedofil yang memilih anak berumur 17 tahun menjadi kekasihnya. Padahal, yang siap dipetik bertebaran dimana-mana.