‘Topik hari ini.. Konservasi’ kata guruku sambil menulis sebuah kata di papan.
‘Bagaimana menurut kalian tentang konservasi di Indonesia?’ tanyanya pada seluruh kelas.
‘Buruk!’ kata seseorang.
‘Enggak guna’, sahut yang lain.
Aku diam saja.
‘Eh, nanti Ivy marah lhooo!’ canda seseorang.
Guruku tersenyum dan melanjutkan, ‘Tapi bagaimana menurut kalian dengan upaya yang sudah dilakukan pemerintah atau organisasi-organisasi lingkungan?’
‘Enggak ada bedanya kan, Miss? Mereka enggak mengubah apa-apa kok. Kurang kerjaan aja tuh Miss, orang gila kali’, celetuk temanku.
‘Heh.. heh! Entar kita dimakan lho sama Ivy’ dan sekelas tertawa terbahak-bahak.
‘Halah dunia emang tuh udah rusak. Kan udah mau kiamat. Ngapain juga diurusin, mendingan memuji tuhan, biar ada rumah di surga tuh, biar kalau kiamat kita punya rumah’ sahut seorang dari tengah kelas.
‘Tapi bagaimana kalau nanti tiba-tiba udara jadi sangat kotor, air sangat tercemar, apa kalian tidak takut?’ pancing guruku sekali lagi.
‘Makanya Miss.. kita belajar bisnis nih. Biar punya banyak duit, ya beli aja oksigen banyak kok di Rumah Sakit. Beli aja Evian, jernih dari luar negri tuh’ timbal seseorang lagi dengan nada mengejek.
‘Kita nih Miss... generasi Redpeace, lebih keren!’ sahut temanku sambil memutar-memutar kunci mobilnya. ‘Eh ati-ati kita abis ini dibunuh nih sama anggota Greenpeace’, tambahnya disambut tawa gempita dari teman-teman yang lain.
Aku diam saja, menekuni bukuku. Dalam kepalaku banyak kata, banyak bantahan, banyak argumen, tapi kutelan satu-satu.
‘Wah.. gawat oi gawat! Si Ivy diem aja tuh. Lagi menyusun mosi tuh dia.. lagi mikir mau ngejawab apa’, sekali lagi tawa membahana.
Aku mengangkat kepala dan berkata ‘ Ada sebuah kalimat yang sangat terkenal di antara para pejuang lingkungan. Ketika pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah ditangkap, sungai dan udara sudah tercemar, kita akan sadar bahwa kita tak akan bisa memakan uang’ Dan aku diam, kelas hening sebentar.
‘Yaudah, mati aja. Ribet banget?’ celetuk seseorang. Kelas tertawa lagi.
Aku diam, guruku melanjutkan pelajarannya.
Siang itu sambil menekuni buku aku berdoa, ‘ tuhan, mereka tertawa, mereka bilang aku gila. Tolong jaga kegilaanku sampai aku besar nanti. Supaya aku tetap melekat pada bumi, supaya akhirnya mereka tahu bahwa kita tidak berbisnis denganmu untuk membeli tanah di surga, tapi bagaimana kita menjaga tanah yang sedang kau pinjamkan pada kami. Amin.’
Hari itu pun berlalu, setiap hari aku dikuatkan. Salah satunya yang membuat aku semakin mantap di jalan ini adalah mereka yang menertawakanku.
note : percakapan diadaptasi dan ditranslate dari bahasa asing.
‘Tuhan, Bantu Aku Agar Tetap Gila’
Diposting oleh
Si Jingga
on Rabu, 21 April 2010
Label:
bincang-bincang
0 komentar:
Posting Komentar