Bermimpilah! Karena Mimpi Aku Ada

Suara jarum jam tertatih-tatih merangkak naik dan meluncur turun, suara dengung laptop yang kepanasan seharian nyala, suara bangku-bangku diseret di Irish Pub di bawah kamar baruku, suara celoteh sayup-sayup dalam bahasa yang asing bagiku di seberang jalan, bunyi tak-tik-tak-tik melodis. Dan tak ada suara lain selain itu.



Bagaimana ya aku akan mulai bercerita? Kalau kuceritakan tentang cuaca, makanan, orang-orang, tempat, bahasa, pasti kau sudah bisa menduganya. Ya, disini dingin sepanjang hari, disini orang-orang berbau keju bukan mau matahari seperti yang biasa akrab di hidungku di kopaja 502, disini pejalan kaki adalah raja bukan seperti di kotaku dimana orang mencari tempat untuk jalan kaki di antara mobil-mobil yang mengantri berantakan di jalanan, disini tidak ada mall luar biasa besar seperti Gran Indonesia, rumah keduaku. Disini, setelah jam 6 semua toko tutup dan semua orang bergegas pulang, tidak seperti di kotaku yang hingar bingar sampai larut malam.



~



Ini malam kedua aku harus tidur dalam hening yang menimbulkan dengung berdentuman di telingamu. Ini minggu kedua aku mencoba berdamai dengan angin yang mengginggil dan mencoba berkawan dengan bahasa yang masih terdengar seperti orang sakit tenggorokan di telingaku. Dan rasanya waktu berlari tersendat-sendat, aku di antaranya tergopoh-gopoh mengikuti setiap hentakannya. Banyak muka baru, nama-nama baru, tempat baru, kebiasaan baru yang semakin memisahkan aku yang lama di sudut kamar, semakin jauh dari kehidupan rumahku, teman-temanku, keluargaku, kotaku. Kereta waktu membawaku lari, warna hijau di padang rumput menyatu, terpisah dengan warna lain yang biru sempurna di batas cakrawala



Suara statis di speaker membuyarkan lamunanku, aku berdiri di peron, dihempas angin kereta yang berlari tak sabaran, lagu elegi tentang hujan di bulan desember melantun di telingaku. ‘Dames en Heren... naar Den Haag Central... spoor zes’ suara statis perempuan itu membahana. Hanya beberapa kata-kata itu yang bisa kumengerti. Dan setelah melodi efek rumah kaca kembali mendominasi pendengaranku, aku baru sadar aku sendirian sejak tadi, aku baru saja benar-benar sendirian, pesawat ibuku sudah terbang kembali pulang ke rumah. Dan teringat akan setiap malam-malam yang kuhabiskan untuk bermimpi punya kehidupanku sendiri, aku akhirnya mendapatkanya, segalanya ada di genggagam tanganku.



Dan setelah segenggam kebebasan itu ada di tanganku, aku takut, aku menciut, aku ragu. Tiba-tiba, aku merasa seperti aku berada di ujung tebing, siap loncat, siap terbang. Seperti semua orang meneriakiku ‘Ayo terbang Ivy!, Ayo bentangkan sayapmu!’. Tapi lalu aku melihat ke bawah, dibawah terjal dan sangat tinggi, seketika sayapku seperti kaku, kakiku menyantol, aku diujung tebing, seperti merpati yang memimpikan angkasa tempat ia terbang, tapi ketika ia hampir terbang, ia sadar ia takut ketinggian.



Di kotaku aku selalu mencuri-curi waktu untuk dapat sendirian, dan aku menikmatinya. Aku selalu suka waktu sendiri, tapi aku benci kesepian. Dan di kehidupanku sebelumnya, kata itu lumayan jarang kugunakan.



~



Aku duduk di kamar berkarpet merah ini, memandangi sebuah kain lebar yang kugantungkan di atas meja belajarku. Kain penuh corat-coret, pesan-pesan dari sahabatku, ‘Ipeeeh selamat sukses ya!’, ‘Dont forget me’, ‘I love you, Ivy’ dan pesan-pesan lainnya. Aku rindu kalian.



Di kehidupanku yang kemarin, teman dan sahabat bagiku adalah hal yang tercecer di seluruh tempat. Sahabat-sahabat yang kukenal bertahun-tahun, tawa yang akrab di telingaku dan kawan-kawan merah yang satu hati. Aku rindu kalian. Bukan artinya disini aku tidak berkawan. Tapi ada banyak hal, banyak kata, banyak ekspresi yang tak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lain selain bahasa ibu kita sendiri. Dan bukan pula juga artinya aku tidak bersyukur, aku bertemu banyak orang baik dan teman yang menyenangkan disini, teman-teman senegri yang berusaha kusayangi, karena siapa lagi yang kupunya di kampung orang ini. Tapi butuh waktu, waktu yang cukup lama untuk membangun ikatan, mengerti tawa, menerima pandangan, dan rasa memiliki satu sama lain. Dan rasanya, waktu berjalan sangat super lambat untuk yang satu ini.



Dan juga butuh waktu untuk kota ini dapat menerima seorang bocah keriting yang gemar berceloteh sepertiku. Aku rindu. Aku rindu tertawa-tawa mengobrol sambil merendam kaki di lantai atas bersama kawan-kawan merah yang selalu punya cerita, aku kangen mengobrol bersama sahabat-sahabatku yang harum rambutnya kuhafal di luar kepala, aku rindu keluarga kecilku yang kadang saling bertengkar, pada adikku yang selalu berebut remote tv, pada ibuku yang kadang cerewet, pada kakak-kakakku yang baru saja kembali. Aku rindu kamarku, tidur di ranjangku sendiri, menatap langit-langit berkelambu marun di atas kepalaku, mendengarkan sayup-sayup suara kartun yang diputar adikku keras-keras di ruang tamu depan kamar.



Aku rindu naik bus, berjubel-jubel dengan keringat dan bau matahari, melihat banyak kehidupan ajaib di dalamnya, terlempar-lempar dalam bus yang melaju tanpa belas kasih. Aku rindu jalan-jalan malam di sekitaran cikini, di bawah rel kereta api yang menjadi rumah bagi banyak keluarga gerobak. Aku rindu makan baso, makan cireng, makan pisang goreng, makanan-makanan di sekitaran rumahku, yang dibuat bercampur keringat, yang tiap mangkuknya adalah biaya sekolah bagi anak-anak penjualnya. Aku rindu duduk diam di taman kota, di mall megah ibukota, di halte pinggir jalan, sambil memandangi orang-orang yang lalu lalang, yang masing-masing punya cerita yang dapat kutulis di rumah. Disini, kehidupan rasanya datar, semua orang berpakaian kurang lebih sama, bus-bus mengantri terlalu teratur, berhenti pelan-pelan, orang-orang berbaris teratur, tak ada pengemis tidur di pinggir rel kereta, tidak ada bau matahari. Semuanya satu garis, dan aku rindu melihat garis kehidupan tumpang tindih yang semerawut di kotaku sendiri.



~



Aku menemukan diriku setengah tertidur di antara ratusan kursi aula yang penuh kepala manggut-manggut. Berusaha sekuat tenaga untuk menangkap setiap kata dalam bahasa yang bukan bahasa ibuku, mencerna materi berat yang berusaha dijejalkan dosen beruban di depan podium. Kadang kepalaku menoleh kanan-kiri mengikuti perdebatan dari ujung satu ke ujung yang lain, sedangkan satu sama lain mereka mendebat, mengutarakan pendapat yang rumit, aku semakin ciut, berusaha sekuat tenaga tidak terintimidasi dengan keadaan.



Aku ingat sebuah percakapan tak lama setelah aku tiba, ‘Setelah dari sini kamu mau apa? Mau kemana?’. Aku jawab, ‘Aku mau pulang, aku harus pulang, Indonesia butuh aku. Kita harus pulang membangun negri, Kak’.



Tapi seharian berada di ruangan oval, tertatih-tatih mengikuti mereka, aku jadi bertanya-tanya, apa yang dapat kubawakan untuk negriku kalau aku pulang nanti? Mimpi mana yang dapat kuwujudkan dari segenap mimpi yang dititipkan ibuku? Aku merasa kecil, merasa sendiri, merasa tenggelam di antara kepala-kepala yang berat mau tumpah.



Mungkin memang terlalu dini untuk bilang tak mampu, terlalu mudah untuk bilang menyerah, dan masih terlalu awal untuk bilang ini sulit. Tapi langkah awal ini membuatku sadar, aku butuh dobel standar untuk bisa menyamakan langkah dengan mereka, aku butuh hal lain untuk dijual untuk dapat menjadikan aku berbeda. Mereka bisa 2 bahasa eropa, sedangkan aku satu saja masih tertatih-tatih. Mereka belajar sejarah eropa sejak SD, aku sejarah Indonesia sudah lupa. Mereka rata-rata sudah pernah belajar di universitas lain beberapa tahun sebelumnya, bahkan beberapa sudah sarjana, aku? Aku baru saja menyamakan frekuensi dengan kehidupan mahasiswa.



Fiuh... “sudah cukup Vy, unek-uneknya? “



“belum...”



~



Menyusuri jalanan yang kosong dari sekolah ke kamarku membuatku berpikir, kini aku bertanggung jawab sepenuhnya atas hidupku, kini seluruh pilihan ada di tanganku, dan seluruh mimpi menungguku untuk dipilih.



Mungkin hari ini aku merasa kecil, merasa bukan apa di antara gilang gemilangnya kawan-kawan baruku. Tapi aku nggak mau terus menjadi kecil. Aku harus tumbuh! Aku harus jadi sama bercahayanya dengan mereka, bahkan lebih! Aku harus terus maju, biar aku perlu tiga kali usaha lebih berat daripada mereka, aku mau terus punya mimpi. Aku mau terus mengejar bintangku, mimpiku, harapanku untuk bisa manjadi sebuah perubahan. Aku mau terus bermimpi bahwa aku dapat menjadikan dunia lebih baik, negriku lebih bahagia, bumi yang lebih sehat, kehidupan yang lebih adil. Aku mau terus punya mata yang ‘melihat’, hati yang ‘merasa’ dan telinga yang ‘mendengar’, seperti yang selalu ia katakan padaku dulu ‘Lihatlah sekelilingmu, jangan hanya pada jalan didepanmu, lihatlah kanan-kirimu, lihat kehidupan lain di sekitarmu, lihatlah dengan hatimu dan biarkan mereka menuntun kemana kamu akan mewujudkan mimpimu’.



Dan dalam kedinginan yang menusuk setiap pagi, dalam intimidasi intelektual yang menyerangku di siang hari, lalu kesendirian dan kesepian yang menyergap setiap malam, aku mengingat kotaku,nergiku, ibuku, sahabat-sahabatku, pejuang-pejuang merahku, kakak-kakakku yang menungguku pulang dengan sekarung oleh-oleh mimpi yang telah kuwujudkan. Aku mengingat wajah mereka satu persatu dalam tidurku, aku mengingat hangat dan harum negriku dalam langkahku. Bahwa untuk mereka, aku harus bisa menjadi besar dan bercahaya. Mungkin tidak pagi ini, belum minggu depan... tapi nanti, selama aku masih punya mimpi.



Nanti kalau aku pulang, kubawakan sekuntum tulip untukmu, Bu. Tulip keberhasilan, tulip kebanggaan yang dapat kau pajang di mejamu seumur hidup.



Nanti kalau aku pulang, kubawakan ribuan foto untukmu, Kak. Foto-foto angkasa yang telah kujelajahi dengan sayapku.



Nanti kalau aku pulang, kubawakan sepotong stroop waffle untukmu, teman. Sepotong waffle termanis yang dan kisah-kisah hidupku yang kau lewatkan. Akan kita nikmati bersama dengan segelas kopi susu nikmat sambil memandangi kota yang kelap-kelip dari atas rumahku. Berjanjilah kau juga akan bercerita tentangmu, sayang.



Nanti kalau aku pulang, kubawakan segenggam semangat dan tawa hangatku, warriors-ku. Kuharap tanpaku, kalian tetap merah merona. Seperti aku disini menjaga merahku untuk sang bumi.



Nanti kalau aku pulang, kubawakan sekeping perubahan, merah putihku. Yang dapat membuatmu tanahmu tersenyum dan angkasamu harum menawan.



Seorang pernah bilang ‘Percayalah pada mimpi-mimpimu, karena mimpimu lebih cerdas daripada dirimu sendiri’. Dan bagiku, mimpi-mimpiku untuk kalian membawaku pulang setiap malam dan mengantarkan hatiku lebih dekat pada rumahku. Dan kalian, adalah alasan untukku terus bermimpi.



Not enough hugs and kisses,

your Ipeh always :)

I miss you like damn hell :'(

0 komentar:

Posting Komentar