
Seperti biasa pagi itu aku tergesa-gesa mengurai kabel merah muda dari kantongku. Segera setelah terulur, kusumpal kedua kepalanya ketelingaku. Semua aktifitas itu kulakukan sambil berjalan di trotoar jalanan Cikditiro, menghadap Diponogoro, menantang Sudirman. Telat sedetik dua detik jadinya runyam. Busku datang sekitar 15 menit sekali, kalau telat mencegat harus menunggu lama, lalu terlambat masuk kelas jam pertama yang biasanya matematika lanjut. Pagi sudah bangun benar, orang-orangnya masih mengulet.
Sebelum perempatan menuju muka jalan, ada sebuah halte sederhana yang tidak besar. Hanya ada dua jajar tempat duduk dari besi dan sepotong papan plastik sebagai atap. Pagi ini, seorang ibu duduk di situ, berwajah baik hati, bersih dengan baju berwarna merah model lama dan tas-tasnya yang besar ditata rapih di bawah bangku. Aku tersenyum melewatinya, menyapa dengan mata. Ia pun tersenyum mengangguk, mengucap salam dengan tatap.
Rumahku terletak hanya beberapa ratus meter dari muka jalan, sore selalu bersahabat di daerahku. Ada rumah sakit, ada Taman Kanak-Kanak, ada restauran mewah dan banyak tukang makanan berjualan rapih di kanan-kirinya. Siang harinya,pulang dari kampus, kulewati halte kecil itu lagi. Ibu itu masih duduk disana, ketika kulewat, siap memberikan senyum. Matanya menatap jalanan, mengamati mobil-mobil yang lewat.
Begitupun keesokan paginya, Ibu itu sudah ada lagi di halte ketika kulalui tubuhnya yang tidak lagi duduk tegak. Kini menatap entah apa. Dan begitu juga sore harinya lagi, tapi kini ia memejam, mungkin kelelahan.
Esok paginya lagi, kupikir ia telah pulang. Nyatanya ia masih duduk disana, pagi ini rambutnya dikepang jadi dua. Baju merahnya yang belum ganti dari dua hari yang lalu kini ditumpuk baju hijau. Barang-barangnya masih rapih di bawah bangku. Ketika kulewat, ia sibuk memelintir rambutnya, mencari entah apa di ujung rambut. Dan seperti yang kuduga, begitu juga sorenya, ia bergumam-gumam ketika kulalui. Seperti bernyanyi, tapi aku tak bisa dengar apa itu.
Malam harinya aku mengajak si dia berjalan malam-malam. Melihat apakah benar Ibu itu tidur di halte. Ternyata benar, ia meringkuk di bangku halte yang sempit berselempang baju-bajunya. “Mas, beliin makanan yuk’ kataku. ‘Besok pagi saja, dia sudah tidur malam ini.’ Sahutnya. Aku jadi berpikir, darimana ia makan setiap harinya, di mana kira-kira ia mandi, atau buang air, atau cuci muka. Di mana rumahnya, mengapa tidak pulang saja, mungkin tak punya ongkos.
Pagi ini, pagiku seperti biasa. Si Ibu itu masih disitu, tapi hari ini ia komat kamit sendiri seperti marah-marah pada tiang halte yang membisu. Dingin memantulkan bayangannya sendiri. Aku berjanji dalam hati, nanti sore, kubawakan makanan untuknya.
Sore ini aku pulang melenggang. Melihat halte kosong, kutanya sekelompok kecil satpam gedung terdekat yang sedang berbincang-bincang. “Pak, si Ibu yang biasa disitu mana?”
“Kena tantib tadi siang” sahut satpam itu menjelaskan.
“Oh iya? Kasihan. Lalu bagaimana?” tanyaku masih penasaran.
“Heboh. Orang stress kayanya.” Si satpam menambahkan. Dari hasil wawancara singkatku dengan si satpam yang sehari-hari di gedung depan halte. Si ibu itu berasal dari Medan, ia merantau mencari suaminya. Tapi tak kunjung ketemu. Setelah istirahat beberapa hari di halte itu, akhirnya tantib datang membawanya. Tentu saja, pikirku. Daerah rumahku adalah salah satu daerah baik dan besih di kota. Apalagi dekat taman kota, tentu saja kerapihan dan ketertibannya dijaga lebih ketat. Cepat atau lambat, ia pasti kena Tantib.
Aku termenung, sambil meneruskan jalan pulang. Kasihan Ibu itu, dengan keadaannya yang setengah stress dan tak punya siapa-siapa. Lembaga Pembinaan Masyrakat pastilah menjadi neraka untuknya.
Aku pernah diceritakan temanku yang ‘beruntung’ sekali dapat masuk ke sana. Ia bilang bentuk bangunannya layaknya penjara, bersel-sel, terpisah antara wanita dan pria. Tapi para waria sering disatukan dengan para perempuan, sehingga kadang pelecehan terjadi di dalam sel oleh sesama penghuni, maupun sipir penjaga. Banyak ibu hamil yang melahirkan di dalam sel tanpa pertolongan tenaga medis profesional, bayi-bayinya pun kadang mati dan dikubur di halaman belakang. Tidak ada air bersih untuk mandi, air yang adapun bau besi dan tidak disediakan baju ganti. Jadi biasanya baju penghuni baru yang baru dapat baju bersih, direbut oleh penghuni lama yang lebih berkuasa. Perempuan-perempuan yang sedang datang bulan, tidak ada pembalut. “boro-boro pembalut, air aja susah”, kata temanku yang sekarang tinggal di Rumah Singgah Anak Jalanan ‘Sanggar Akar’. Makanannya pun hanya nasi sedikit dengan kuah labu, kadang dengan sepotong tempe atau tahu, atau cah-cah sayuran. Dan kalau ada yang dikunjungi dan dibekali makanan, makanannya pasti dirampas bulat-bulat. Intinya menurut, Desboy, si kawanku itu, keadaan di dalam gedung yang katanya tempat pembinaan masyarakat adalah penjara yang sadis sebetulnya. Dan boro-boro dibina, yang ada masuk kesana malah makin berbahaya dan rusak. Pelecehan, perkosaan, minimnya higenitas dan makanan yang sangat tidak layak.
Aku jadi berpikir tentang Si Ibu di halte itu. Dibawa kemana dia? Apakah ke tempat seperti yang dideskripsikan kawanku itu? Baru saja aku bermaksud memberinya makanan atau uang sekedarnya, tapi dia terpaksa pergi.
UUD 1945 Pasal 34 ayat 1 :
“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara…”
Aku jadi menduga-duga, apa si Ibu tahu pasal itu?
1 komentar:
tulisan yang berhasil adalah tulisan yang bisa menggugah pembacanya. ini yang para pakar bilang tentang warna tulisan dalam human interest. yang jadi masalah, kadang penulisnya kerap bingung, apakah ia cukup menjadi pengamat atau sebetulnya bisa mengubah keadaan yang ada. nice job, great essay!
tapi juga turut bersedih buat si ibu :(
Posting Komentar