“Kenapa sih harus selalu laki-laki yang kerja keras?” tanya temanku frustasi.
“Karena begitulah yang tertulis dalam kisah penciptaan di seluruh kitab di dunia” sahutku ringan sambil melihat lagu-lagu yang ia berikan tadi siang.
“Kalo kaya gitu, berarti cewe tuh harus tinggal di rumah, ngurus anak, masak! Enggak begitu dong...” sanggahnya tak setuju.
“Ya enggaklah, peran perempuan itu berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Sedangkan laki-laki ya tetap saja sama, harus berkerja keras dan berusaha” sanggahku balik tak mau kalah.
“Enggak adil! Semua orang harus berusaha untuk apa yang ingin ia dapatkan” sahutnya kesal.
“Mungkin karena itu lah Tuhan selalu diidentikan pada laki-laki. Mungkin karena laki-laki itu statis, ga berubah dari dulu hingga sekarang” Pikirku sambil melayang, terbayang beberapa laki-laki yang pernah ada di hidupku, tak ada satupun dari mereka yang berubah.
“Tuhan tuh selalu diidentikan dengan laki-laki karena laki-laki yang butuh Tuhan” tiba-tiba katanya mengejutkan.
“Kalau laki-laki yang butuh Tuhan, Tuhan akan diidentikan pada perempuan. Karena laki-laki sukanya perempuan” sahutku cepat disusul keheningan yang ramai tanda tanya.
“Ada bagusnya juga mungkin Tuhan itu laki-laki...” sambungku perlahan. “Kalau Tuhan perempuan, laki-laki akan sulit menyembahNya dengan khusuk. Karena 80% otak laki-laki itu sex...”
Tuhan. tuhan...
Siapa sih sebenarnya dia? Haruskah ditulis dengan T atau t, d atau D, Nya atau nya... Aku punya seribu tanya tentangnya. Dan punya sejuta untukNya. Salah satu pertanyaan besar terangkum dalam film yang baru saja kutonton sendirian di bioskop, cin(t)a.
why did God creating us differently, if He only wants to be worshiped in one way? Is that why God created love? So all the differences could be united..
Kenapa tuhan ciptakan kita berbeda-beda, bila Ia hanya ingin disembah dengan satu cara? Karena itukah tuhan menciptakan cinta? Agar yang berbeda-beda bisa menyatu... tanya seorang tokoh dalam flm indie yang mengangkat tema tentang cinta antar agama dan ras ini dengan lantang.
tuhan. Tuhan. Apakah dia sampai sebagian dari kita takut, sebagian lagi menyembah tak henti, sebagian lagi menghujat. Apakah wujud tuhan itu? Jangan-jangan Ia hanya buatan kita, wujud dari ketidakmampuan manusia, sesuatu yang kita ciptakan untuk menutupi sesuatu diluar kemampuan kita. Seperti yang pernah disebut-sebut beberapa kawanku.
Atau mungkin status seorang kawan ini benar? Being weak doesn't mean surrender to god. I prefer rotten in hell as king than to be embrace in the heavens of slaves.Atau mungkin pernyataan kedua dalam awal film cin(t)a itu benar? In my arrogancy, i’m questioning Your mighty. Ketika aku mulai mengetik tulisan ini, aku sadar akan menulis tanpa menjawab apapun. Bahkan menanyakan pertanyaan yang mungkin tak akan bisa dijabwab sampai ketika aku bertemu denganNya langsung. Kalau dia benar ada.
“Agama itu bukan cara mencapai Tuhan, agama adalah ekspresi manusia dalam pencarian menuju Tuhan.” kata temanku. “Agama itu nggak lebih dari bisnis” kataku. Tapi aku tidak mempertanyakan tentang agama disini. Buatku agama tidak lebih dari sekedar doktrin. Sebuah pagar yang membatasi cara berpikir kita. Terserah ibuku mau bilang apa, terserah kalian yang percaya agama adalah jalan mau bilang apa. Aku lebih memilih dilahirkan tanpa mengenal agama, tapi mengenal Tuhanku, maka kupikir konsep kita tentang manusia, tuhan dan agama akan jadi lebih sederhana tanpa batas. Tapi di satu sisi, aku percaya hidup butuh pagar. Manusia butuh batas untuk menentukan mana yang benar dan salah. Dan salah satu caranya dengan agama. Tapi itu bukan satu-satu caranya. Karena pada dasarnya, tuhan yang katanya arsitek dan sutradara paling hebat itu telah memberikan kita nurani.
Aku percaya ada tuhan atau Tuhan, atau apapun lah kita sebut. Aku percaya ada tangan tak terlihat yang menuntun planet-planet untuk tidak saling bertabrakan. Ada sesuatu yang mendampingi tiap proses morulla menjadi glastula dan lalu menjadi fetus dan akhirnya menjadi manusia. Ada sesuatu yang entah apa wujudnya dalam molekul tiap benda, partikel dan atom-atom yang coba dibelah oleh para nihilis. Aku bisa melihat sesuatu ada disana yang disebut para nihilis dengan nihilisme, kekosongan. Aku melihat ada tuhan disana.
Aku melihat Tuhan dalam banyak hal di hidupku. Tapi tetap bertanya siapa dan apa tuhan itu. Bagian dari kesombongan atau kebodohan kah itu?
Memikirkan tentang tuhan membuatku berakhir pada sesuatu di luar kemampuanku. Disaat seperti inilah aku mengakui Tuhan. Mungkin benar kata mereka, kita menciptakan Tuhan sebagai ekspresi ketidakmampuan kita. Tapi buatku, siapa dan apapun tuhan itu. Aku mungkin tak akan tahu. Dan aku bahagia, karena hal itu telah menjawab salah satu pertanyaanku untuk Tuhan, Mengapa aku diciptakan sebagai manusia?
tuhan..Tuhan..
Diposting oleh
Si Jingga
on Jumat, 28 Agustus 2009
Label:
sekedar tanda tanya
/
Comments: (0)
Antara Aku dan Ayah
Diposting oleh
Si Jingga
on Sabtu, 08 Agustus 2009
Label:
kepada awan-awan,
prosa
/
Comments: (0)
Tempat ini adalah salah satu tempat teramai di kota. Apalagi malam minggu seperti ini. Pemuda-pemudi, remaja, keluarga, pasangan-pasangan semua berbaur dalam terangnya kota ini. Rangkuman gemerlap ibukota, toko ini-toko itu, cafe, restauran, karaoke, bahkan pertunjukan air mancur pun ada di gedung megah ini. Miniatur negara-negara indah di bumi, memanjakan kemewahan dengan berbagai atribut yang memikat.
Selintas saja mata menyapu lantai demi lantai yang bertabur warna. Toko baju di ujung sana menawarkan model terbaru untuk musim gugur yang sebenarnya tak dimiliki negara ini. Toko kosmetik disana memikat dengan wajah model super cantik, impian para gadis. Patung-patung putih, tak lelah bersolek di balik kaca tebal, memamerkan baju terbaru mereka minta dibeli. Toko gadget terbaru memasang produk terbarunya, tak juga bosan padahal telah menginfeksi warga dengan virus karet gendut warna-warni yang membuat pandangan banyak orang tak lepas dari genggaman.
Sekelompok gadis tertawa gembira. Yang lain berbagi canda disabut tawa lepas membahana. Beberapa eksekutif ngobrol ringan dengan asap mengepul-ngepul di tempat duduk kafe ala kota New York. Seperti kata Eno Lerian dulu ‘mau makan nasi padang... (padang...), bukan berarti harus ke Padang’. Dan begitu lah kota ajaib ini, tak perlu kita New York untuk bisa menikmati atmosfer Times Square atau Broadway. Di seberang sana ada seorang anak di gendongan ayahnya, menunjuk-nunjuk air mancur yang dapat menari-nari riang, mengikuti musik seakan air itu hidup. Sepasang disana sedang saling cinta, berangkulan satu sama lain seakan menyesal tak terlahir kembar siam. Semua suara, musik, celoteh, tawa, pertengkaran sepasang dara, rengekan adik minta es krim, bujuk rayu gadis pada ibunya minta dibelikan sepatu, canda dan kelakar yang tak berhenti bercampur, melebur di malam minggu ini. Seakan jus aneka buah yang dipotong-potong, diblender, dicampur begitu rupa sehingga kita tak lagi tau suara siapa yang ada.
Semua orang berjalan berbeda arah, berkelompok satu sama lain, berbincang seolah hanya ada hari minggu. Senang. Dan mengantar malam pada pangkuan sunyi yang lelah berceloteh. Sementara yang lain bicara, bersamaan seperti dengung yang menderu. Ada beberapa yang masih saja terkena virus. Virus karet gendut warna-warni. Mata tak lepas dari genggaman, seakan pada tangan mereka ada dunia yang tak bosan diamati. Seakan pada ibu jari ada bulan yang terus bercerita, berceloteh lebih seru daripada semua suara di gedung itu.
Mungkin aku adalah salah satu pesakitan itu. Pesakit Karet Gendut Warna-Warni. Tapi tentu bukan saja aku, banyak orang begitu. Aku tidak sendiri dalam hal ini.
“Mau makan dimana, Yah?” tanyaku sambil memandang keramaian sekekeliling.
“Di Sunda aja deh, udah lama” sambil juga mencari restoran kesukaannya.
“Oke” dan genggamanku kembali lebih menarik daripada keramaian yang sering kulihat ini.
Aku berjalan otomatis, sepertinya kakiku punya auto –pilot, tahu kemana harus melangkah. Membelok di rumah makan yang tepat, di samping kedai es krim, ala saung Sunda lengkap dengan jerami dan bambu. Pramusaji berseragam hijau menyambut, “Smoking” sahutku tanpa ditanya. Kami duduk di tempat biasa, diujung kanan dekat wastafel.
“Pesen apa Kak?” Sambil melihat menu yang disodorkan.
“Gurame aja deh” kataku tanpa ikut tertarik pada buku daftar hijau yang kuhafal isinya.
“Yaudah, gurame, tempe nya dua, ayam bakarnya satu aja deh, Kakak mau ayam bakar juga?”
Disambut gelengku tanpa mengangkat kepala.
“... terus kangkungnya deh mba, sambel...” Lanjut Ayah memesan tanpa kudengarkan lagi.
Aku terhanyut. Dalam sebuah percakapan yang mengelana jauh, jauh dari meja ini, dari gedung ini. Pada seseorang yang juga pun jauh dari sini. Percakapan yang melantur, entah pula bicara apa. Kadang kelakar-kelakar konyol, kadang gosip, kadang tentang Mbah Surip, lalu beralih tentang kue brownies, pindah ke Nurdin M Top dan berlanjut ke puisi. Bicara apapun asal membawaku pergi jauh dari sini, terbang dengan sekumpulan orang yang beberapa dari mereka tak pernah kulihat wajahnya.
Makanan datang. Pramusaji menata mejanya. Tik..tik..tik.. bunyi ritmis samar dari biji-biji berwarna hitam yang kutekan-tekan cepat.
Minuman datang. Pramusaji menggeser piring kangkung dan menaruh minuman yang
kupesan.Tik...tik..tik.. bunyi ritmis bersautan dari biji-biji berwarna abu-abu yang ditekan Ayah cepat-cepat.
Tik..tik..tik.. tik..tik..tik... suara tombol-tombol ditekan tak henti.
“Wow” kataku perlahan mengomentari percakapan di layar.
Tik..tik..tik..
“Ck..” decak Ayahku pada sesuatu di layarnya.
Tik..tik..tik.. “Makan Kak” kata Ayahku tanpa mengangkat kepala.
“Hm” Sahutku sambil masih mengetik.
Tik..tik..tik.. Aku menaruh karet gendut biruku hari ini. Dan mulai makan.
Gurame gorengnya enak, kering seperti kerupuk. Sambalnya pedas, karena tak suka aku tak ambil banyak.
“Makan,Yah” sambil menyendok kankung.
“He-eh, he-eh” balasnya sambil lalu menaruh benda karet hitamnya dan mulai makan.
Ayah mengambil guramenya, kangkungnya, dan tentu saja banyak sambal karena ia suka pedas. Tepatnya ia pencinta pedas. Dia tak bisa makan apapun tanpa sambal.
“Krauuuuk...” suara gigitan pada kerupuk kampung.
“Ting.. “ Suara denting sendok bertemu dengan piring kadang-kadang.
Aku mengambil cumi goreng dan tempe yang khas dari restoran ini. Ayah meminum teh botolnya. Ayahku itu salah satu penganut iklan teh dalam botol itu. Kemanapun ia makan, kalau emang menjual teh botol, pasti itu yang akan diminumnya. Ayah mencabiki daging gurame yang kering, tangannya berlumur sambel.
“Criiiiiiiiiing...” suara karet biruku memanggil. Salah satu kawan mayaku bicara. Lampu merah diujungnya menyala-nyala minta diperhatikan.
Aku dan Ayah makan dengan lahap. Sampai akhirnya piring tandas dan kini tinggal asap mengepul-ngepul dari mulut Ayah.
“Criiiiiiiing...” sekali lagi bunyi lonceng nyaring dari karet biruku. Disambut bunyi tik..tik..tik.. dari tombol-tombol yang kutekan.
“Wah ini Minggu ya?” komentar Ayah sambil membaca sesuatu di layarnya.
“Sabtu” Kataku datar sambil terus mengetik.
“Oh iya Sabtu” sahutnya sambil menggeser-geser bola kecil di tengah karet hitamnya.
Pramusaji datang menawarkan berbagai es tradisional. Aku kenyang dan pula batuk. Ayah memesan es doger.
Tik..tik..tik.. Tik..Tik..tik..
Pramusaji datang membawa es doger Ayah. Sambil menghisap batang putihnya yang menyala jingga di ujungnya, disesapnya es merah jambu itu.
Tik..tik..tik..tik.. tik..tik..
“Mau kemana abis ini?”
“Aku mau ke toko buku”
“Yaudah”
Tik..tik..tik..tik..tik..
“Anaknya Tante Silvi keterima chemical engineering di Amerika”
“Oh ya?” Sahutku masih sambil mengetik.
“Makanya harus dapet A semua Kak di GPAnya nanti. Beli buku boleh sih, baca juga bagus. Tapi
kamu harus kasih prioriti sekarang. You cannot be fail for this, remember?”
Aku mengangguk tanpa mengangkat wajah dari layar.
“Biar bisa dapet universitas bagus juga nanti. Kan gampang kalo nilainya bagus, masuk mana aja enak. Ayah enggak apa-apa sih bayar mahal asal kamunya serius”
“Iya” Sahutku singkat.
“Nanti emang mau ambil apa disana?”
“Double Degree. Belom tahu deh”
“Apa lagi double degree. Ya terserah sih yang penting suka”
“Hm”
“Mas minta bill” Katanya sambil melambai pada seorang pramusaji.
Aku mengangkat wajah menatap pada toko di seberang sana yang menjual sari tebu dan sari buah-buahan. Aku tak begitu suka manis. Ayah memandang kosong pada meja kosong dekat meja kami. Vas bunga berisi yang bunga kuning entah apa. Gedung ini masih dan tambah ramai. Celoteh dan tawa, orang-orang berseliweran. Bersatu dalam warna yang menjadi satu di mata dan telingaku.
Yah, andai saja kita bisa menebar-nebar warna di atas meja kita ini, diantara tulang-tulang gurame kering. Andai saja meja ini cukup luas untuk menampung cerita yang ingin kususun, kuceritakan. Andai saja diantara kita tidak ada meja yang memberi jarak, yang ada hanya meja yang menampung warna yang ingin kubagi. Dengar Yah... Sekeliling kita ramai, bahkan bising sampai di tengah-tengah meja ini. Tapi andai saja, keramaian itu bukan hanya dengung, tapi suara hati kita yang berceloteh.
Tahukah kau Yah? Kemarin aku dapat nilai A untuk essay legal-ku. Aku senang karena sedikit anak yang mendapatkannya. Oh iya, Yah... tahu tidak bahwa Rendra, penyair itu meninggal. Aku jadi merasa ikut kehilangan sebagai seorang pencinta sastra. Ayah tahu profil siapa yang terakhir kutulis? Tahu tidak semalam aku posting apa di blogku yang baru direnovasi? Apa Ayah tahu aku punya blog warna-warni? Yah.. Aku sedang membaca banyak tentang kasus-kasus pers di Indonesia. Apa sebaiknya aku ambil hukum dan jurnalistik ya Yah? Menurutku itu sangat menarik. Bagaimana menurut Ayah tentang mengambil jurusan hukum? Kan Ayah orang hukum. Yah, ada ayam panggang baru di PI, katanya enak lho. Kapan-kapan kita coba yuk... Eh kenapa sih Yah Mbah Surip meninggal? Memang benar gara-gara minum kopi?
Oh iya Yah, gimana kerjaan Ayah? Apa Bos India yang pernah kudengar itu masih menyebalkan? Adakah meeting yang harus Ayah datangi senin nanti? Gimana tuh soal rencana kepindahan Ayah ke Vietnam? Jadi kah? Yah.. ternyata biaya kuliah di luar itu mahal sekali ya. Mungkin sebaiknya aku ambil Maqcuarie saja daripada maksa ke UNSW, 1 milyar yah... belum untuk kebutuhan yang lain-lain. Aku tidak tega mintanya. Apa Ayah tidak keberatan membiayainya? Mungkin Ayah akan jawab ‘Enggak apa-apa asal kamu suka dan mau serius.’ Tapi tetap saja aku tak tega. Gimana kantor Ayah? Parkiran Ayah masih disitu? Ayah masih sering bangun siang enggak? Siapa yang bangunin Ayah sih pagi-pagi ke kantor? Di kantor Ayah food courtnya bagus nggak? Di gedung kampusku jelek...
Yah, banyak sekali warna dan suara yang bisa kita susun, kita bagi, kita kisahkan di meja bersama tulang-tulang gurame kering ini. Sayangnya meja ini terlalu sempit untuk cerita-cerita yang ingin kubagi. Dan mungkin pula meja ini yang paling patut disalahkan, disembelih jadi kambing hitam. Meja ini telah memberi jarak pada kita. Sehingga suaramu tak begitu jelas kudengar Yah.
Atau mungkin kita salahkan saja karet gendut warna-warni ini Yah... Karet-karet biadab ini telah mengalihkan perhatian kita satu sama lain. Terus memanggil-manggil setiap kali ada warna yang ingin kita bagi berdua, seolah kawan-kawan maya di luar sana lebih menarik daripada matamu, Yah.
Atau mungkin keramaian ini yang patut kita kambing hitamkan. Keramaian ini yang salah dan terlampau bising dan menimbulkan kesunyian di antara kita. Bukankah kita sepakat kalau tak akan ada sepi bila tak ada bising. Mungkin kesepian lari dari ruang bising ini, mencari tempat aman di antara meja di depan kita, dan bersemayam disana.
“Pak, Billnya” Pramusaji menyodorkan nampan kayu kecil.
Dengan seulas tanda tangan kita bisa membeli seisi gedung. Ayah meninggalkan lembaran uang pada tutupan kulit hitam.
“Yuk...” ajak Ayah.
Aku berdiri dan mengikutinya keluar restoran.
Mungkin tidak ada lagi meja yang membuat jarak diantara kita namun sepertinya hati kita masih berjarak. Atau kesunyian masih melekat erat mengikuti kita. Sehingga kita kesepian di tengah keramaian.
Mungkin masing-masing kita hilang berbaur jadi cahaya. Hilang dalam makna. Mungkin kita harus mencari di ruang Jingga, kata yang hilang tentang kita. Karena kita seperti kehabisan kata untuk saling mewarnai.
Pernahkah kau rindu Ayahmu yang telah tiada?
Aku tidak pernah, karena aku selalu rindu Ayahku yang duduk di depanku.
Selintas saja mata menyapu lantai demi lantai yang bertabur warna. Toko baju di ujung sana menawarkan model terbaru untuk musim gugur yang sebenarnya tak dimiliki negara ini. Toko kosmetik disana memikat dengan wajah model super cantik, impian para gadis. Patung-patung putih, tak lelah bersolek di balik kaca tebal, memamerkan baju terbaru mereka minta dibeli. Toko gadget terbaru memasang produk terbarunya, tak juga bosan padahal telah menginfeksi warga dengan virus karet gendut warna-warni yang membuat pandangan banyak orang tak lepas dari genggaman.
Sekelompok gadis tertawa gembira. Yang lain berbagi canda disabut tawa lepas membahana. Beberapa eksekutif ngobrol ringan dengan asap mengepul-ngepul di tempat duduk kafe ala kota New York. Seperti kata Eno Lerian dulu ‘mau makan nasi padang... (padang...), bukan berarti harus ke Padang’. Dan begitu lah kota ajaib ini, tak perlu kita New York untuk bisa menikmati atmosfer Times Square atau Broadway. Di seberang sana ada seorang anak di gendongan ayahnya, menunjuk-nunjuk air mancur yang dapat menari-nari riang, mengikuti musik seakan air itu hidup. Sepasang disana sedang saling cinta, berangkulan satu sama lain seakan menyesal tak terlahir kembar siam. Semua suara, musik, celoteh, tawa, pertengkaran sepasang dara, rengekan adik minta es krim, bujuk rayu gadis pada ibunya minta dibelikan sepatu, canda dan kelakar yang tak berhenti bercampur, melebur di malam minggu ini. Seakan jus aneka buah yang dipotong-potong, diblender, dicampur begitu rupa sehingga kita tak lagi tau suara siapa yang ada.
Semua orang berjalan berbeda arah, berkelompok satu sama lain, berbincang seolah hanya ada hari minggu. Senang. Dan mengantar malam pada pangkuan sunyi yang lelah berceloteh. Sementara yang lain bicara, bersamaan seperti dengung yang menderu. Ada beberapa yang masih saja terkena virus. Virus karet gendut warna-warni. Mata tak lepas dari genggaman, seakan pada tangan mereka ada dunia yang tak bosan diamati. Seakan pada ibu jari ada bulan yang terus bercerita, berceloteh lebih seru daripada semua suara di gedung itu.
Mungkin aku adalah salah satu pesakitan itu. Pesakit Karet Gendut Warna-Warni. Tapi tentu bukan saja aku, banyak orang begitu. Aku tidak sendiri dalam hal ini.
“Mau makan dimana, Yah?” tanyaku sambil memandang keramaian sekekeliling.
“Di Sunda aja deh, udah lama” sambil juga mencari restoran kesukaannya.
“Oke” dan genggamanku kembali lebih menarik daripada keramaian yang sering kulihat ini.
Aku berjalan otomatis, sepertinya kakiku punya auto –pilot, tahu kemana harus melangkah. Membelok di rumah makan yang tepat, di samping kedai es krim, ala saung Sunda lengkap dengan jerami dan bambu. Pramusaji berseragam hijau menyambut, “Smoking” sahutku tanpa ditanya. Kami duduk di tempat biasa, diujung kanan dekat wastafel.
“Pesen apa Kak?” Sambil melihat menu yang disodorkan.
“Gurame aja deh” kataku tanpa ikut tertarik pada buku daftar hijau yang kuhafal isinya.
“Yaudah, gurame, tempe nya dua, ayam bakarnya satu aja deh, Kakak mau ayam bakar juga?”
Disambut gelengku tanpa mengangkat kepala.
“... terus kangkungnya deh mba, sambel...” Lanjut Ayah memesan tanpa kudengarkan lagi.
Aku terhanyut. Dalam sebuah percakapan yang mengelana jauh, jauh dari meja ini, dari gedung ini. Pada seseorang yang juga pun jauh dari sini. Percakapan yang melantur, entah pula bicara apa. Kadang kelakar-kelakar konyol, kadang gosip, kadang tentang Mbah Surip, lalu beralih tentang kue brownies, pindah ke Nurdin M Top dan berlanjut ke puisi. Bicara apapun asal membawaku pergi jauh dari sini, terbang dengan sekumpulan orang yang beberapa dari mereka tak pernah kulihat wajahnya.
Makanan datang. Pramusaji menata mejanya. Tik..tik..tik.. bunyi ritmis samar dari biji-biji berwarna hitam yang kutekan-tekan cepat.
Minuman datang. Pramusaji menggeser piring kangkung dan menaruh minuman yang
kupesan.Tik...tik..tik.. bunyi ritmis bersautan dari biji-biji berwarna abu-abu yang ditekan Ayah cepat-cepat.
Tik..tik..tik.. tik..tik..tik... suara tombol-tombol ditekan tak henti.
“Wow” kataku perlahan mengomentari percakapan di layar.
Tik..tik..tik..
“Ck..” decak Ayahku pada sesuatu di layarnya.
Tik..tik..tik.. “Makan Kak” kata Ayahku tanpa mengangkat kepala.
“Hm” Sahutku sambil masih mengetik.
Tik..tik..tik.. Aku menaruh karet gendut biruku hari ini. Dan mulai makan.
Gurame gorengnya enak, kering seperti kerupuk. Sambalnya pedas, karena tak suka aku tak ambil banyak.
“Makan,Yah” sambil menyendok kankung.
“He-eh, he-eh” balasnya sambil lalu menaruh benda karet hitamnya dan mulai makan.
Ayah mengambil guramenya, kangkungnya, dan tentu saja banyak sambal karena ia suka pedas. Tepatnya ia pencinta pedas. Dia tak bisa makan apapun tanpa sambal.
“Krauuuuk...” suara gigitan pada kerupuk kampung.
“Ting.. “ Suara denting sendok bertemu dengan piring kadang-kadang.
Aku mengambil cumi goreng dan tempe yang khas dari restoran ini. Ayah meminum teh botolnya. Ayahku itu salah satu penganut iklan teh dalam botol itu. Kemanapun ia makan, kalau emang menjual teh botol, pasti itu yang akan diminumnya. Ayah mencabiki daging gurame yang kering, tangannya berlumur sambel.
“Criiiiiiiiiing...” suara karet biruku memanggil. Salah satu kawan mayaku bicara. Lampu merah diujungnya menyala-nyala minta diperhatikan.
Aku dan Ayah makan dengan lahap. Sampai akhirnya piring tandas dan kini tinggal asap mengepul-ngepul dari mulut Ayah.
“Criiiiiiiing...” sekali lagi bunyi lonceng nyaring dari karet biruku. Disambut bunyi tik..tik..tik.. dari tombol-tombol yang kutekan.
“Wah ini Minggu ya?” komentar Ayah sambil membaca sesuatu di layarnya.
“Sabtu” Kataku datar sambil terus mengetik.
“Oh iya Sabtu” sahutnya sambil menggeser-geser bola kecil di tengah karet hitamnya.
Pramusaji datang menawarkan berbagai es tradisional. Aku kenyang dan pula batuk. Ayah memesan es doger.
Tik..tik..tik.. Tik..Tik..tik..
Pramusaji datang membawa es doger Ayah. Sambil menghisap batang putihnya yang menyala jingga di ujungnya, disesapnya es merah jambu itu.
Tik..tik..tik..tik.. tik..tik..
“Mau kemana abis ini?”
“Aku mau ke toko buku”
“Yaudah”
Tik..tik..tik..tik..tik..
“Anaknya Tante Silvi keterima chemical engineering di Amerika”
“Oh ya?” Sahutku masih sambil mengetik.
“Makanya harus dapet A semua Kak di GPAnya nanti. Beli buku boleh sih, baca juga bagus. Tapi
kamu harus kasih prioriti sekarang. You cannot be fail for this, remember?”
Aku mengangguk tanpa mengangkat wajah dari layar.
“Biar bisa dapet universitas bagus juga nanti. Kan gampang kalo nilainya bagus, masuk mana aja enak. Ayah enggak apa-apa sih bayar mahal asal kamunya serius”
“Iya” Sahutku singkat.
“Nanti emang mau ambil apa disana?”
“Double Degree. Belom tahu deh”
“Apa lagi double degree. Ya terserah sih yang penting suka”
“Hm”
“Mas minta bill” Katanya sambil melambai pada seorang pramusaji.
Aku mengangkat wajah menatap pada toko di seberang sana yang menjual sari tebu dan sari buah-buahan. Aku tak begitu suka manis. Ayah memandang kosong pada meja kosong dekat meja kami. Vas bunga berisi yang bunga kuning entah apa. Gedung ini masih dan tambah ramai. Celoteh dan tawa, orang-orang berseliweran. Bersatu dalam warna yang menjadi satu di mata dan telingaku.
Yah, andai saja kita bisa menebar-nebar warna di atas meja kita ini, diantara tulang-tulang gurame kering. Andai saja meja ini cukup luas untuk menampung cerita yang ingin kususun, kuceritakan. Andai saja diantara kita tidak ada meja yang memberi jarak, yang ada hanya meja yang menampung warna yang ingin kubagi. Dengar Yah... Sekeliling kita ramai, bahkan bising sampai di tengah-tengah meja ini. Tapi andai saja, keramaian itu bukan hanya dengung, tapi suara hati kita yang berceloteh.
Tahukah kau Yah? Kemarin aku dapat nilai A untuk essay legal-ku. Aku senang karena sedikit anak yang mendapatkannya. Oh iya, Yah... tahu tidak bahwa Rendra, penyair itu meninggal. Aku jadi merasa ikut kehilangan sebagai seorang pencinta sastra. Ayah tahu profil siapa yang terakhir kutulis? Tahu tidak semalam aku posting apa di blogku yang baru direnovasi? Apa Ayah tahu aku punya blog warna-warni? Yah.. Aku sedang membaca banyak tentang kasus-kasus pers di Indonesia. Apa sebaiknya aku ambil hukum dan jurnalistik ya Yah? Menurutku itu sangat menarik. Bagaimana menurut Ayah tentang mengambil jurusan hukum? Kan Ayah orang hukum. Yah, ada ayam panggang baru di PI, katanya enak lho. Kapan-kapan kita coba yuk... Eh kenapa sih Yah Mbah Surip meninggal? Memang benar gara-gara minum kopi?
Oh iya Yah, gimana kerjaan Ayah? Apa Bos India yang pernah kudengar itu masih menyebalkan? Adakah meeting yang harus Ayah datangi senin nanti? Gimana tuh soal rencana kepindahan Ayah ke Vietnam? Jadi kah? Yah.. ternyata biaya kuliah di luar itu mahal sekali ya. Mungkin sebaiknya aku ambil Maqcuarie saja daripada maksa ke UNSW, 1 milyar yah... belum untuk kebutuhan yang lain-lain. Aku tidak tega mintanya. Apa Ayah tidak keberatan membiayainya? Mungkin Ayah akan jawab ‘Enggak apa-apa asal kamu suka dan mau serius.’ Tapi tetap saja aku tak tega. Gimana kantor Ayah? Parkiran Ayah masih disitu? Ayah masih sering bangun siang enggak? Siapa yang bangunin Ayah sih pagi-pagi ke kantor? Di kantor Ayah food courtnya bagus nggak? Di gedung kampusku jelek...
Yah, banyak sekali warna dan suara yang bisa kita susun, kita bagi, kita kisahkan di meja bersama tulang-tulang gurame kering ini. Sayangnya meja ini terlalu sempit untuk cerita-cerita yang ingin kubagi. Dan mungkin pula meja ini yang paling patut disalahkan, disembelih jadi kambing hitam. Meja ini telah memberi jarak pada kita. Sehingga suaramu tak begitu jelas kudengar Yah.
Atau mungkin kita salahkan saja karet gendut warna-warni ini Yah... Karet-karet biadab ini telah mengalihkan perhatian kita satu sama lain. Terus memanggil-manggil setiap kali ada warna yang ingin kita bagi berdua, seolah kawan-kawan maya di luar sana lebih menarik daripada matamu, Yah.
Atau mungkin keramaian ini yang patut kita kambing hitamkan. Keramaian ini yang salah dan terlampau bising dan menimbulkan kesunyian di antara kita. Bukankah kita sepakat kalau tak akan ada sepi bila tak ada bising. Mungkin kesepian lari dari ruang bising ini, mencari tempat aman di antara meja di depan kita, dan bersemayam disana.
“Pak, Billnya” Pramusaji menyodorkan nampan kayu kecil.
Dengan seulas tanda tangan kita bisa membeli seisi gedung. Ayah meninggalkan lembaran uang pada tutupan kulit hitam.
“Yuk...” ajak Ayah.
Aku berdiri dan mengikutinya keluar restoran.
Mungkin tidak ada lagi meja yang membuat jarak diantara kita namun sepertinya hati kita masih berjarak. Atau kesunyian masih melekat erat mengikuti kita. Sehingga kita kesepian di tengah keramaian.
Mungkin masing-masing kita hilang berbaur jadi cahaya. Hilang dalam makna. Mungkin kita harus mencari di ruang Jingga, kata yang hilang tentang kita. Karena kita seperti kehabisan kata untuk saling mewarnai.
Pernahkah kau rindu Ayahmu yang telah tiada?
Aku tidak pernah, karena aku selalu rindu Ayahku yang duduk di depanku.
Kabut
Diposting oleh
Si Jingga
on Jumat, 07 Agustus 2009
Label:
kepada awan-awan
/
Comments: (0)
Sambil melayang mencari wujudmu di seberang sana...
Mas aku takut. Entah kenapa sekarang hari-hari jadi berkabut untukku. Aku seperti pergi tanpa arah. Berputar-putar di hutan yang pohonnya tumbuh lebat sampai menghalau sinar mentari masuk menyentuh tanah. Padahal kau tau di luar sangat cerah beberapa hari ini. Aku seperti kehilangan titik emasku, titik yang biasanya kupakai bertahan kalau aku lelah berjalan. Titik terang keemasan yang biasanya ada di ujung jalanku, aku tahu masih jauh, tapi karena titik itu aku tetap berjalan.
Mas, kini semuanya tidak gelap, tapi juga tidak terang. Tidak cerah, tapi juga bukan badai. Aku di berada di tengah-tengah, mengawang, melayang, entah dimana. Sudah entah kali berapa aku terbangun dari mimpi-mimpi panjang yang aneh. Yang berkisah tentang putri-putri kesepian yang mengiris-iris lengannya sendiri. Atau mimpi kemarin tentang seorang yang terjebak dalam gedung dan koridor tanpa akhir. Beberapa mimpi lagi aku bahkan tak dapat ingat, tapi semua mimpi-mimpi itu berada padai ruangan yang penuh kabut. Dimana semua hal tampak samar, blur, dingin, kaku dan aku merasa sendiri walaupun dikelilingi banyak orang.
Mas, siang ini aku bahkan tak tahu jam berapa, baru setelah kulihat layar yang tak pernah kedip di mejaku, ku tahu bahwa hari ini hari Jumat. Pukul dua belas siang. Seperti biasa tubuhku gontai, lemas tidur terlalu lama. Tapi aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan selain menonton mimpi-mimpi membosankan yang berkabut itu. Sudah berjam-jam aku duduk menghadapi layar ini, putih tak bernoda, dokumen baru. Tapi tak sepatah katapun berhasil kuketik disana. Sudah entah berapa tumpukan buku, kutelanjangi plastiknya satu per satu, kubaca ringkasan dibaliknya, kutimang-timang, kubuka dari depan ke belakang, dari belakang ke depan. Tapi tak satu barispun selesai kubaca dari bab pertamanya. Aku menyalakan TV besar di depan kamarku, membiarkannya berceloteh ramai dalam heningnya rumah sempit ini. Tapi, aku tak sanggup mencerna satu informasipun darinya, seakan segala yang diucapkannya terbang melintas di atas telingaku. Mas, kamu selalu bilang aku generasi Z, generasi yang mendewakan jaringan global tanpa akhir itu, maka kubuka berbagai informasi di layar ini, Paman Google yang kupuja, yang juga berhalamu. Tapi seperti yang kuduga, warna-warna dan tulisan-tulisan hanya menjadi samar diiringi bunyi scroll naik turun. Mas, aku semakin takut.
Beberapa kali aku ke lemari sepatu, memakai sendal dan ingin keluar. Tapi entah kenapa mentari yang dulu sahabatku menjadi sesuatu yang sangat mengancam sekarang. Seorang kawanku menelpon kemarin dan aku terkejut mendapati diriku lupa cara berkelakar! Aku lupa cara tertawa lepas, sesuatu yang sangat sering kulakukan dulu. Aku jadi meraba-raba kapan terakhir kali aku benar-benar berbincang-bincang dengan manusia sungguhan, bukan layar, bukan pula handphone, dan aku bahkan tak ingat itu. Mungkin sabtu, mungkin minggu lalu, entahlah, rasanya manusia jauh dari hidupku sekarang. Atau masihkah aku manusia, mas?
Entah kenapa dengan aku ini? Aku seperti kehilangan kemampuan untuk berinteraksi, berpikir, mengolah informasi. Aku marah sekali karena entah sudah berapa hari, aku tak juga menulis. Tulisan ini adalah hasil paksaan terhadap otak dan jemariku untuk melakukan sesuatu. Aku juga kehilangan kemampuan untuk membaca, Mas, kau tahu berapa banyak buku yang menangis-nangis diangguri di rak merahku? Bertumpuk-tumpuk! Bahkan sebagian masih dibungkus plastik.Sepertinya hanya dapat kulakukan adalah tidur dan terbenam dalam mimpi. Sering kali aku memaksa diriku untuk melakukan sesuatu, bahkan untuk makan atau mandi, tapi semua sel tubuhku berteriak minta kembali ke ranjang yang kukenal aman, bantal yang melindungi kepalaku dari hal-hal lain. Membungkus dengan kabut mimpi yang kubenci. Tubuhku benar-benar menolak melakukan apapun kecuali untuk memejamkan mata, walaupun tidak mengantuk dan lalu merasakan sensasi melayang-layang yang khas dan lalu terbang ke alam mimpi, kabut samar tak berbatas.
Aku bingung, aku sedih, aku tak tahu harus berobat kemana. Tak tahu harus katakan ini pada siapa, siapa manusia lain yang kupunya selain kamu diujung sana. Kehilangan arah kemana aku harus berjalan. Seakan aku lupa mimpi-mimpi dan tujuanku. Kehilangan minat akan semua bentuk tulisan yang dulu kupuja. Bahkan kini senja tak lagi menarik untuk kupandangi karena kini hanya semburat warna jingga yang berantakan. Mas, ingat diskusi tentang kematian kemarin malam? Aku bilang aku tak takut kematian karena aku tak tahu itu apa. Maka hari ini aku terbangun dari mimpi entah untuk keberapa kalinya dan aku merasa takut. Apakah ini adalah salah satu kematian yang kau maksud? Akhir dari segalanya, termasuk akhir dari minat terhadap aksara dan warna?
Tolong, Mas... bagaimana caranya aku dapat keluar dari lorong kematian ini, kalau memang ini adalah salah satu kematian yang kau takuti.
Mas aku takut. Entah kenapa sekarang hari-hari jadi berkabut untukku. Aku seperti pergi tanpa arah. Berputar-putar di hutan yang pohonnya tumbuh lebat sampai menghalau sinar mentari masuk menyentuh tanah. Padahal kau tau di luar sangat cerah beberapa hari ini. Aku seperti kehilangan titik emasku, titik yang biasanya kupakai bertahan kalau aku lelah berjalan. Titik terang keemasan yang biasanya ada di ujung jalanku, aku tahu masih jauh, tapi karena titik itu aku tetap berjalan.
Mas, kini semuanya tidak gelap, tapi juga tidak terang. Tidak cerah, tapi juga bukan badai. Aku di berada di tengah-tengah, mengawang, melayang, entah dimana. Sudah entah kali berapa aku terbangun dari mimpi-mimpi panjang yang aneh. Yang berkisah tentang putri-putri kesepian yang mengiris-iris lengannya sendiri. Atau mimpi kemarin tentang seorang yang terjebak dalam gedung dan koridor tanpa akhir. Beberapa mimpi lagi aku bahkan tak dapat ingat, tapi semua mimpi-mimpi itu berada padai ruangan yang penuh kabut. Dimana semua hal tampak samar, blur, dingin, kaku dan aku merasa sendiri walaupun dikelilingi banyak orang.
Mas, siang ini aku bahkan tak tahu jam berapa, baru setelah kulihat layar yang tak pernah kedip di mejaku, ku tahu bahwa hari ini hari Jumat. Pukul dua belas siang. Seperti biasa tubuhku gontai, lemas tidur terlalu lama. Tapi aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan selain menonton mimpi-mimpi membosankan yang berkabut itu. Sudah berjam-jam aku duduk menghadapi layar ini, putih tak bernoda, dokumen baru. Tapi tak sepatah katapun berhasil kuketik disana. Sudah entah berapa tumpukan buku, kutelanjangi plastiknya satu per satu, kubaca ringkasan dibaliknya, kutimang-timang, kubuka dari depan ke belakang, dari belakang ke depan. Tapi tak satu barispun selesai kubaca dari bab pertamanya. Aku menyalakan TV besar di depan kamarku, membiarkannya berceloteh ramai dalam heningnya rumah sempit ini. Tapi, aku tak sanggup mencerna satu informasipun darinya, seakan segala yang diucapkannya terbang melintas di atas telingaku. Mas, kamu selalu bilang aku generasi Z, generasi yang mendewakan jaringan global tanpa akhir itu, maka kubuka berbagai informasi di layar ini, Paman Google yang kupuja, yang juga berhalamu. Tapi seperti yang kuduga, warna-warna dan tulisan-tulisan hanya menjadi samar diiringi bunyi scroll naik turun. Mas, aku semakin takut.
Beberapa kali aku ke lemari sepatu, memakai sendal dan ingin keluar. Tapi entah kenapa mentari yang dulu sahabatku menjadi sesuatu yang sangat mengancam sekarang. Seorang kawanku menelpon kemarin dan aku terkejut mendapati diriku lupa cara berkelakar! Aku lupa cara tertawa lepas, sesuatu yang sangat sering kulakukan dulu. Aku jadi meraba-raba kapan terakhir kali aku benar-benar berbincang-bincang dengan manusia sungguhan, bukan layar, bukan pula handphone, dan aku bahkan tak ingat itu. Mungkin sabtu, mungkin minggu lalu, entahlah, rasanya manusia jauh dari hidupku sekarang. Atau masihkah aku manusia, mas?
Entah kenapa dengan aku ini? Aku seperti kehilangan kemampuan untuk berinteraksi, berpikir, mengolah informasi. Aku marah sekali karena entah sudah berapa hari, aku tak juga menulis. Tulisan ini adalah hasil paksaan terhadap otak dan jemariku untuk melakukan sesuatu. Aku juga kehilangan kemampuan untuk membaca, Mas, kau tahu berapa banyak buku yang menangis-nangis diangguri di rak merahku? Bertumpuk-tumpuk! Bahkan sebagian masih dibungkus plastik.Sepertinya hanya dapat kulakukan adalah tidur dan terbenam dalam mimpi. Sering kali aku memaksa diriku untuk melakukan sesuatu, bahkan untuk makan atau mandi, tapi semua sel tubuhku berteriak minta kembali ke ranjang yang kukenal aman, bantal yang melindungi kepalaku dari hal-hal lain. Membungkus dengan kabut mimpi yang kubenci. Tubuhku benar-benar menolak melakukan apapun kecuali untuk memejamkan mata, walaupun tidak mengantuk dan lalu merasakan sensasi melayang-layang yang khas dan lalu terbang ke alam mimpi, kabut samar tak berbatas.
Aku bingung, aku sedih, aku tak tahu harus berobat kemana. Tak tahu harus katakan ini pada siapa, siapa manusia lain yang kupunya selain kamu diujung sana. Kehilangan arah kemana aku harus berjalan. Seakan aku lupa mimpi-mimpi dan tujuanku. Kehilangan minat akan semua bentuk tulisan yang dulu kupuja. Bahkan kini senja tak lagi menarik untuk kupandangi karena kini hanya semburat warna jingga yang berantakan. Mas, ingat diskusi tentang kematian kemarin malam? Aku bilang aku tak takut kematian karena aku tak tahu itu apa. Maka hari ini aku terbangun dari mimpi entah untuk keberapa kalinya dan aku merasa takut. Apakah ini adalah salah satu kematian yang kau maksud? Akhir dari segalanya, termasuk akhir dari minat terhadap aksara dan warna?
Tolong, Mas... bagaimana caranya aku dapat keluar dari lorong kematian ini, kalau memang ini adalah salah satu kematian yang kau takuti.