Sepotong Kue untuk Mimpi Ipeh


Beranjak dari Luwes sore itu, aku menghela napas. Lampu ruangan perlahan menyala, ternyata di luar masih sore. Aku menyusuri Cikini sore yang lenggang, gerobak-gerobak merapat, siap-siap mencari sereceh dua receh untuk anak-istri di rumah. Tangis Ipeh masih terngiang di telingaku, ratap Mimih dan Babah masih menganggu telingaku. Kupapasi satu-dua pengamen cilik dengan gitar kecil dan botol berisi beras.

Ipeh, Saripeh orang tuanya hanyalah gelandangan yang sehari-harinya mengutuki hidup yang begitu berat. Mimih dan Babah menyesal punya anak banyak, karena tak bisa menahan napsu, karena melihara anak tak seperti melihara bebek. Kalau banyak tak bisa dipotong, yang ada memeras nadi. Suatu hari Ipeh datang, minta pada Mimih dan Babah agar dapat sekolah. Melihat anaknya yang tidak jelek, Babah punya ide, yang akan menjadi solusi semua masalah. Ipeh dijual, diberi uang dan dijanjikan jadi artis, tapi tentu saja tidak gratis. Keluarga mereka memang kaya mendadak. Beli apa saja bisa, pakai apa saja mampu, makan apa saja boleh. Persis seperti yang mereka impikan dulu. Dari kehidupan jamban ke speed tank, kehidupan mereka berubah. Tapi apakah itu yang benar-benar mereka ingini?