Humans Accused


Seorang kawanku ber-status di Facebooknya, “pelangi, pelangi, ciptaan tuhan. tuhan, tuhan, ciptaan manusia.”.

Aku menyapanya di messenger yang berkelap-kelip oranye. “Bener, Ri! Setuju!tuhan itu ciptaan manusia atas ketidakmampuan manusia”

Agak lama sampai ia menjawab, “Heheheh... Oh iya gimana premier film kemaren?”

“Begitulah, berhenti di tengah gara-gara hujan.” Sahutku sambil mengetik kurang bersemangat.

“Berhenti di tengah jalan? Gimana?” Tanyanya lagi.

“Yah gitu deh. Habis. Selesai gara-gara langit”

“Hm... “

“Naaah... saat kita enggak mampu menyetop hijan, kita bilang itu karena tuhan. Jadi tuhan kita yang nyiptain kan? Atas ketidakmampuan kita menyetop hujan.”

“Tuhan memenuhi semua yang kita enggak ngerti”

“Setuju.” Sahutku sahutku.

Aku ingat semalam, di tengah hujan lebat yang tiba-tiba tumpah membasuh keringatku setelah seharian lari kesana-kemari menyiapkan acara. Acara yang berjalan hebat harus berhenti. Menyisakan wajah Pete Postlethwaite yang membatu di layar tancap. Setengah berteduh, aku bertanya pada koordinator acaranya, “Jadi apa keputusannya?”

“Keputusan apa sayang? Keputusannya ya ini. Langit yang memutuskan.”

Saat kita enggak mampu memutuskan, saat semua keputusan berada jauh di luar gapaian kita. Saat itu kita bilang, langit yang memutuskan. Dan kita menyiptakan Tuhan sebagai empunya langit. Sehingga ada seseorang yang bisa bertanggung jawab atas ketidakmampuan kita.

Mungkin karena itu kita disebut manusia, makhluk berbeda dari semua yang diciptakan, karena hanya manusia yang dapat menciptakan tuhan. Karena hanya manusia yang bisa saling menyalahkan, karena hanya manusia yang mencari kambing hitam. Sedangkan segala kambing dan segala mahkluk ciptaan lainnya tak akan mampu menyalahkan siapapun.

Kambing tak akan menyalahkan langit kalau semua rumput di padang kering. Rumput tak akan menyalahkan kambing, kalau rumput dimakan habis. Cacing tak akan menyalahkan ayam dan burung-burung kalau mereka ditarik putus dari tubuhnya, dan ayam pun tak menyalahkan manusia jika ia diberi makan banyak sampai gemuk dan lalu dimakan. Tapi kita menyalahkan tuhan, menyalahkan langit, menyalahkan kambing, ayam, bahkan cacing bila kita tak bisa makan.

Mungkin karena kita manusia. Sehingga bahkan alam dan ciptaan lainnya pun muak menyalahkan kita. Karena mungkin sebenarnya, hanya manusialah yang seharusnya disalahkan.

Lihat! Aku baru saja menyalahkan. Tapi bukankah aku manusia? Jadi aku menyalahkan.

Gimana kalo ‘Culpo Ergo Sum’ ? kira-kira artinya... ‘ I accuse therefore i am’

NB :
Tulisan ngaco dikala panas 39 derajat! gara2 ngojek payung kemaren.. :D
Thx to R.A., status lo inspiratif. hehehe

Crash



Ting Tong

Kedua pintu lift yang berwarna keperakan hampir tertutup.

“Tunggu!” Teriak tertahan seorang gadis membuatku spontan menahan pintu yang hampir rapat.
Gadis itu berkaos putih, dengan rambut kuda dan celana pendek, ia memanggul raket tenis bersarung hitam. Seharusnya umurnya tak jauh beda dariku. Sepantar. Kulihat dia menekan lantai G. Lantaiku rumahku.

“Tinggal di G juga?” tanyaku sambil menunggu lift naik ke lantaiku yang hanya satu lantai di atas.

“Lantai 2 sih tepatnya, tapi ini kekunci” sahutnya sambil tersenyum ramah.

“Oh... kok bisa?”

“Biasalah lupa..” jawabnya sambil tertawa.

“Baru ya tinggal disini?” tanyaku penasaran. Aku tak pernah melihat dia sebelumnya.

“Enggak juga sih. Dari tahun lalu.”

Lalu pintu lift terbuka dan kami pun bertukar senyum dan berpisah. Aku mendekatkan kartu rumahku pada alat sensor. Dan alat itu berdering sebentar, sebelum pintu kayunya menjeglek terbuka. Bagian dalam luar rumahku yang menyambung dengan lift pribadi memang selalu gelap. DI lorong itu ibuku meletakkan sebuah unta kayu besar dan guci-guci. Belum lagi koleksi barang-barang antik yang sebenarnya tidak punya fungsi.

Aku masih terbayang gadis itu. Sudah setahun berarti aku tinggal hanya berbatas 5 - 6 meter tingginya dan dipisahkan 1 meter semen dan lantai keramik. Ia tinggal persis di atasku, tapi aku bahkan baru sekali ini melihatnya ada di gedung ini. Padahal paling tidak seminggu sekali aku berenang dan olahraga di private gym. Mungkin saja dia juga jarang berenang dan olahraga. Tapi pastilah setiap pagi ia sekolah. Aku juga. Harusnya ada satu waktu kami bisa saja berpapasan seperti malam ini. Atau mungkin bila ia selalu menggunakan lift pribadinya, pastilah ada satu waktu selama setahun kami sama-sama keluar dan naik mobil di parkiran bersamaan.

Memasuki kamarku yang selalu remang-remang. Aku jadi ngeri membayangkannya. Bagaimana salah satu simbol masyarakat modern yaitu semi private residence atau apartemen atau apa pun itu namanya, telah membunuh sinergi di antara masyarakat itu sendiri. Padahal kami tinggal berdampingan, tidur berdekatan. Tapi jangankan namanya, wajahnya pun baru kulihat satu kali.

Bukan melebihkan-lebihkan atau bagaimana. Aku cuma sedang berusaha merefleksikan masalah kecil ini. Apakah aku yang kurang sedikit peduli atau memang hanya misteri waktu yang kebetulan saja selalu menyalip jarak antara manusia satu ke manusia lain. Tapi tinggal satu tahun dalam jarak kurang dari 10 meter, tapi selama 12 bulan itu tidak pernah bertemu muka. Aku merasa seperti orang-orang gua plato yang duduk berdampingan, namun saling terbelenggu bertolak belakang, sehingga mereka tak pernah bisa saling melihat.

Aku jelas bukanlah ahli sosial atau kajian budaya atau semacamnya. Sunggu sok tahu bila aku mencoba menguraikan itu dari pandangan-pandangan teori sosiologi atau apa lah semacamnya yang bagiku saat ini masih rumit. Aku cuma ingin menjadi seorang tetangga biasa saja yang terkejut mendapat tetangga baru yang ternyata sebenarnya tidak baru. Dan seorang pengamat masyarakat pemula, yang terheran-heran pada individualitas yang secara tak sengaja terbangun begitu menjarak satu sama lain. Atau kepada modernitas yang memisahkan setiap orang, kita dipenjara oleh teknologi-teknologi memudahkan, lift pribadi yang membuat kita tak pernah bersinggungan satu sama lain, kartu pintu rumah yang membuat keamanan akan privasi kita terbungkus rapih.

Aku jadi ingat pernah nonton film Crash. Film tentang rasisme dan interaksi masyarakat di Amerika, khususnya LA. Tapi hal kecil barusan hanya sekedar kejadian pendek yang terjadi di lift sebuah private residence di bilangan Menteng, pastinya tidak bisa dibandingkan. Tapi ada sebuah kalimat di awal film itu. Kalimat yang sepertinya baru benar-benar kumengerti artinya malam ini, “In L.A., nobody touches you. We're always behind this metal and glass. I think we miss that touch so much, that we crash into each other, just so we can feel something.”

Mungkin ada benarnya. Kita yang selama ini tidak pernah ‘bersentuhan’, yang terpenjara dalam penjara yang kita buat masing-masing atas nama privatisasi, dan individualisme yang memerdekakan kita dari segala hal, termasuk masyarakat. Kita rindu ‘bersentuhan’, rindu saling bertubrukan,saling kena satu sama lain, hanya agar kita bisa merasakan sesuatu. Mungkin agar kita bisa merasakan, bahwa sesungguhnya kita masih bagian dari manusia yang adalah mahkluk sosial.

Saling bersentuhan. Sepertinya setiap manusia masih butuh itu.